Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kamis, 02 Mei 2024 - 06:00 WIB
Wakil Ketua Umum Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji. FOTO/IST
Indra Charismiadji

Wakil Ketua Umum Vox Point Indonesia

NELSON Mandela, seorang tokoh peraih nobel perdamaian dunia dari Afrika Selatan menyatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia. Menurutnya, pendidikan adalah kunci untuk menghilangkan ketidaksetaraan gender, untuk mengurangi kemiskinan, untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan, untuk mencegah kematian dan penyakit yang tidak perlu, dan untuk memupuk perdamaian. Pendidikan merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa dan negara.



Judul dari esai ini mengambil sebagian kutipan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, hukum dasar tertulis dan konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia. Seharusnya program mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi prioritas bagi siapa pun yang ditunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan. Tulisan ini ingin mengupas sejauh mana keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menjalankan program tersebut terlepas dari rezim mana yang berkuasa.

Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan jumlahnya terus meningkat. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp665 triliun pada 2024. Walaupun demikian, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan kita seperti yang sudah dikaji oleh Bank Dunia sejak tahun 2013 dalam sebuah tulisan berjudul Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia.

Di tingkat internasional, pendidikan Indonesia menempati sejumlah posisi buncit. Peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional tahun 2022, Indonesia berada di urutan 69 dari 77 negara. PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains, dan membaca bagi siswa yang berusia 15 tahun, sayangnya skor PISA Indonesia semakin turun untuk ketiga kemampuan tersebut.

Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains di level internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) menempati posisi 40 dari 42 negara. Kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga kita. Laporan dari badan pendidikan, sains dan budaya Perhimpunan Bangsa-bangsa (PBB) yakni UNESCO menyebutkan hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius yang berakibat di tingkat literasi bangsa Indonesia yang menduduki peringkat 60 dari 61 negara menurut kajian dalam World Literacy yang dibuat oleh Central Connecticut State University. Di pendidikan tinggi, peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar, data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi di Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan Universitas21 di peringkat 50 dari 50 negara.

Beberapa artikel tentang pendidikan Indonesia cukup menyayat hati seperti: Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka; Ternyata 42% Anak Indonesia Tidak Ada Gunanya; Indonesia Negara Kumpulan Anak Dungu, yang merupakan tulisan Elizabeth Pisani seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Kajian dari Centre for Education Economics dari Inggris yang dipublikasikan tahun 2018 yang lalu juga menyatakan bahwa anak Indonesia siap menghadapi abad 21 di abad 31 karena adanya komplasensi artinya menganggap semua baik-baik saja alias adanya kepuasan diri yang tinggi dengan kondisi yang ada dan program pemerintah bidang pendidikan yang itu-itu saja, istilah mereka BAUWMM (Business as Usual with More Money) alias programnya sama tapi anggarannyat ditambah terus, hanya nama saja diubah.

Data yang terpampang dalam situs web Rapor Pendidikan yang dibuat oleh Pusat Asesmen Pendidikan (Pusmendik) - Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dari hasil Asesmen Nasional (AN) atau Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tahun 2022 menyebutkan bahwa kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca di tingkat SD dan SMP secara nasional, sementara di level SMA/K sebagian besar siswa telah mencapai batas kompetensi minimum untuk literasi membaca namun perlu upaya mendorong lebih banyak siswa menjadi mahir. Untuk numerasi, kurang dari 50% siswa telah mencapai batas kompetensi minimum pada tingkat SD, SMP, dan SMA/K secara nasional. Hasil capaian tersebut sungguh ironis apabila dibandingkan dengan puluhan ribu triliun uang rakyat yang telah digelontorkan sejak adanya UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More