Momentum Genjot Kinerja Ekspor
Jum'at, 14 Agustus 2020 - 06:38 WIB
SELAMA ini ekspor Indonesia masih terkonsentrasi pada sejumlah negara yang disebut sebagai pasar tradisional. Negara tujuan ekspor utama meliputi China, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam suasana pandemi korona (Covid-19), tidak ada jalan lain pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus fokus pada diversifikasi ekspor ke luar negara tujuan utama atau nontradisional. Dengan menjajal pasar baru ekspor, peluang mendongkrak kinerja ekspor masih terbuka lebar. Memang tantangannya tidak mudah, dibutuhkan kerja ekstrakeras dalam kondisi perekonomian global yang melesu. Namun bukan berarti tanpa jalan untuk menembus pasar ekspor ke negara-negara yang selama ini belum tersentuh.
Merujuk pada data Kemendag yang telah dipublikasi belum lama ini, sebenarnya upaya diversifikasi tujuan ekspor mulai berjalan. Hasilnya tak mengecewakan. Misalnya ekspor tujuan Mongolia mencatat pertumbuhan signifikan hingga mencapai sekitar 450,29%, begitu pula ekspor ke Zimbabwe dengan pertumbuhan 353,73%, Afrika Tengah sekitar 315,9%, dan Bulgaria 222,27% semenjak digarap dalam dua tahun terakhir ini. Jadi terbukti bahwa sejumlah negara yang selama ini tidak dilirik memberi kontribusi pertumbuhan ekspor yang signifikan.
Namun harus disadari bahwa menggenjot pasar ekspor sebagai bagian upaya dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) tidak cukup hanya dengan program diversifikasi tujuan ekspor. Berbagai upaya lain harus menyertainya. Kali ini gayung bersambut, Lembaga Pembiayaan Ekspor Pemerintah (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) ditugasi oleh pemerintah untuk memberikan penjaminan kredit kepada usaha berskala korporasi padat karya. Tugas LPEI dan PII memberikan penjaminan kepada perbankan yang mengucurkan pembiayaan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur pemerintah.
Ruang gerak LPEI berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat melakukan penjaminan bagi bank dengan ketentuan antara lain pembobotan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) sebesar 0%. Selain itu aset yang dijamin berkualitas lancar dan pengecualian perhitungan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Melalui skema tersebut bank dalam menyalurkan kredit ekspor punya keleluasaan untuk ekspansi dan meminimalkan risiko kredit sekaligus. Di sisi lain para eksportir, terutama yang memiliki karyawan banyak, aman untuk beroperasi karena tetap mendapat dukungan pembiayaan dari perbankan.
Meski suasana pendemi korona masih menjadi hantu menakutkan, sejumlah negara telah melonggarkan kebijakan lockdown. Artinya ini sebuah pertanda baik untuk kembali menggerakkan roda kinerja ekspor yang selami ini melambat signifikan. Pihak LPEI menyebut sebanyak 86 negara mitra dagang Indonesia mulai membuka pasar secara pelan-pelan sehingga memungkinkan keran ekspor bisa dibuka kembali.
Program penjaminan yang melibatkan dua lembaga yang ditunjuk pemerintah ditujukan untuk korporasi terdampak Covid-19 yang berorientasi ekspor dengan minimal 300 karyawan dan non-Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu kriteria korporasi yang bisa mengikuti program tersebut adalah nasabah eksisting bank pemberi kredit yang memerlukan tambahan modal kerja sebesar Rp10 miliar hingga Rp1 triliun. Pihak LPEI telah menggandeng 15 bank.
Lalu mengapa selama ini kinerja ekspor Indonesia selalu tertinggal jauh bila dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara walau tanpa pendemi korona? Jawabannya, sebagaimana dibeberkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian, karena Indonesia memiliki strategi perdagangan internasional yang jelas sehingga fokus orientasinya tidak jelas. Dia mencontohkan, Jepang dan Jerman memilih strategi perdagangan dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor. Kedua negara maju itu mendorong pelaku usaha membidik pasar luar negeri. Celakanya, sekian lama perdagangan didominasi komoditas barang mentah dengan nilai tambah yang rendah.
Saat ini kondisi perdagangan internasional semakin sulit di tengah gejolak serangan virus korona. Hal itu diakui sendiri oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto yang menilai terdapat empat kendala besar. Pertama, perubahan perilaku konsumen. Pola perdagangan berubah karena permintaan konsumen yang mengarah pada perdagangan digital. Kedua, meningkatnya praktik proteksionisme sejumlah negara di masa Covid-19. Ketiga, perjanjian dagang yang dalam proses bisa mengalami hambatan. Keempat, adanya potensi defisit dan resesi ekonomi akibat ketegangan ekonomi global yang disebabkan perang dagang AS dan China yang tak kunjung usai.
Percayalah, sesulit apa pun kondisi, selalu ada jalan sepanjang terus berupaya. Pandemi korona telah membuka momentum bagi pemerintah untuk lebih fokus membuka pasar baru ekspor dengan segala perangkat pendukungnya. Ingat, kinerja ekspor senantiasa harus berefek terhadap pemulihan ekonomi nasional yang kini di ambang resesi.
Merujuk pada data Kemendag yang telah dipublikasi belum lama ini, sebenarnya upaya diversifikasi tujuan ekspor mulai berjalan. Hasilnya tak mengecewakan. Misalnya ekspor tujuan Mongolia mencatat pertumbuhan signifikan hingga mencapai sekitar 450,29%, begitu pula ekspor ke Zimbabwe dengan pertumbuhan 353,73%, Afrika Tengah sekitar 315,9%, dan Bulgaria 222,27% semenjak digarap dalam dua tahun terakhir ini. Jadi terbukti bahwa sejumlah negara yang selama ini tidak dilirik memberi kontribusi pertumbuhan ekspor yang signifikan.
Namun harus disadari bahwa menggenjot pasar ekspor sebagai bagian upaya dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) tidak cukup hanya dengan program diversifikasi tujuan ekspor. Berbagai upaya lain harus menyertainya. Kali ini gayung bersambut, Lembaga Pembiayaan Ekspor Pemerintah (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) ditugasi oleh pemerintah untuk memberikan penjaminan kredit kepada usaha berskala korporasi padat karya. Tugas LPEI dan PII memberikan penjaminan kepada perbankan yang mengucurkan pembiayaan bagi pelaku usaha sebagaimana diatur pemerintah.
Ruang gerak LPEI berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat melakukan penjaminan bagi bank dengan ketentuan antara lain pembobotan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) sebesar 0%. Selain itu aset yang dijamin berkualitas lancar dan pengecualian perhitungan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Melalui skema tersebut bank dalam menyalurkan kredit ekspor punya keleluasaan untuk ekspansi dan meminimalkan risiko kredit sekaligus. Di sisi lain para eksportir, terutama yang memiliki karyawan banyak, aman untuk beroperasi karena tetap mendapat dukungan pembiayaan dari perbankan.
Meski suasana pendemi korona masih menjadi hantu menakutkan, sejumlah negara telah melonggarkan kebijakan lockdown. Artinya ini sebuah pertanda baik untuk kembali menggerakkan roda kinerja ekspor yang selami ini melambat signifikan. Pihak LPEI menyebut sebanyak 86 negara mitra dagang Indonesia mulai membuka pasar secara pelan-pelan sehingga memungkinkan keran ekspor bisa dibuka kembali.
Program penjaminan yang melibatkan dua lembaga yang ditunjuk pemerintah ditujukan untuk korporasi terdampak Covid-19 yang berorientasi ekspor dengan minimal 300 karyawan dan non-Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu kriteria korporasi yang bisa mengikuti program tersebut adalah nasabah eksisting bank pemberi kredit yang memerlukan tambahan modal kerja sebesar Rp10 miliar hingga Rp1 triliun. Pihak LPEI telah menggandeng 15 bank.
Lalu mengapa selama ini kinerja ekspor Indonesia selalu tertinggal jauh bila dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara walau tanpa pendemi korona? Jawabannya, sebagaimana dibeberkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian, karena Indonesia memiliki strategi perdagangan internasional yang jelas sehingga fokus orientasinya tidak jelas. Dia mencontohkan, Jepang dan Jerman memilih strategi perdagangan dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor. Kedua negara maju itu mendorong pelaku usaha membidik pasar luar negeri. Celakanya, sekian lama perdagangan didominasi komoditas barang mentah dengan nilai tambah yang rendah.
Saat ini kondisi perdagangan internasional semakin sulit di tengah gejolak serangan virus korona. Hal itu diakui sendiri oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto yang menilai terdapat empat kendala besar. Pertama, perubahan perilaku konsumen. Pola perdagangan berubah karena permintaan konsumen yang mengarah pada perdagangan digital. Kedua, meningkatnya praktik proteksionisme sejumlah negara di masa Covid-19. Ketiga, perjanjian dagang yang dalam proses bisa mengalami hambatan. Keempat, adanya potensi defisit dan resesi ekonomi akibat ketegangan ekonomi global yang disebabkan perang dagang AS dan China yang tak kunjung usai.
Percayalah, sesulit apa pun kondisi, selalu ada jalan sepanjang terus berupaya. Pandemi korona telah membuka momentum bagi pemerintah untuk lebih fokus membuka pasar baru ekspor dengan segala perangkat pendukungnya. Ingat, kinerja ekspor senantiasa harus berefek terhadap pemulihan ekonomi nasional yang kini di ambang resesi.
(ras)
tulis komentar anda