Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia: Tantangan dalam Era Demokrasi
Sabtu, 30 Desember 2023 - 20:11 WIB
Indonesia akan menggelar pemilihan presiden yang kelima pada tanggal 14 Februari 2024. Dari perspektif politik, ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi Indonesia telah stabil, dan kemungkinan kembalinya ke model politik otoriter terbilang kecil.
Pilpres 2024 memiliki keunikan tersendiri, dengan kandidat yang sebelumnya berada dalam kubu berlawanan, kini bersatu dalam satu barisan. Prabowo Subianto, yang sebelumnya merupakan lawan politik Jokowi, mencalonkan diri bersaing dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Menariknya, dalam pemilihan sebelumnya, Prabowo merupakan pesaing utama Jokowi, namun pada pemilu 2024 ini, Jokowi justru memberikan dukungan penuh kepada Prabowo Subianto, bahkan meninggalkan partai yang membesarkannya, PDIP.
Pertanyaannya kini adalah, siapa yang akan memenangkan kursi kepresidenan? Apakah Prabowo, mantan jenderal militer dari era "Orde Baru" di bawah pemerintahan Soeharto, dan mantan menantu Soeharto?
Atau Anies Baswedan, yang meskipun memiliki keturunan asing, mengklaim dirinya sebagai pribumi Indonesia? Ataukah Ganjar Pranowo, yang dikenal sebagai sosok tegas tanpa keterlibatan langsung dengan Orde Baru?
Pemilu presiden Indonesia pada bulan Februari tahun ini memang memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Secara jelas, PDIP tampaknya telah kehilangan sebagian pendukungnya yang lebih mendukung dan merasa puas selama kepemimpinan Presiden Jokowi.
Selain itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berhasil memenangkan simpati sebagian masyarakat dengan memainkan peran seolah-olah PSI adalah partai baru yang tidak dianggap oleh partai besar. PSI juga berhasil mendapatkan dukungan dengan menunjuk Kaesang Pangarep, putra kedua Jokowi, sebagai pemimpin partai.
Kedua, perbedaan politik antara Prabowo, Anies, dan Ganjar telah sangat jelas tergambar. Pada tahun 2019, Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, dengan tujuan mempertahankan garis pembangunan yang bersifat sekuler, demokratis, dan mengedepankan hak asasi manusia.
Model pembangunan yang bersifat top-down pun dijunjung tinggi, dengan keyakinan bahwa Indonesia dapat mencapai kemajuan lebih lanjut jika Jokowi terpilih sebagai presiden. Lima tahun lalu, Prabowo juga berkomitmen untuk mengubah citranya yang sebelumnya dianggap penuh kekerasan, dengan mendukung penuh proses pembangunan hak asasi manusia, dan mempromosikan pembangunan yang merata serta lebih fokus pada nasionalisme daripada aspek agama, yang kala itu menjadi pembeda dari calon yang berbasis agama.
Pada pemilihan ini, Prabowo juga menunjukkan keterbukaannya dalam menghadapi berbagai serangan, termasuk peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang selalu dihidupkan kembali ketika Prabowo maju sebagai calon presiden. Meskipun Prabowo telah berubah, dari yang militer menjadi sipil, dari seorang tentara yang hanya tau perang menjadi seorang pemimpin yang lebih humanis, namun sayangnya, orang-orang dekat Prabowo yang duduk di badan legislatif cenderung menunjukkan sikap berseberangan dengan Prabowo.
Pilpres 2024 memiliki keunikan tersendiri, dengan kandidat yang sebelumnya berada dalam kubu berlawanan, kini bersatu dalam satu barisan. Prabowo Subianto, yang sebelumnya merupakan lawan politik Jokowi, mencalonkan diri bersaing dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Menariknya, dalam pemilihan sebelumnya, Prabowo merupakan pesaing utama Jokowi, namun pada pemilu 2024 ini, Jokowi justru memberikan dukungan penuh kepada Prabowo Subianto, bahkan meninggalkan partai yang membesarkannya, PDIP.
Pertanyaannya kini adalah, siapa yang akan memenangkan kursi kepresidenan? Apakah Prabowo, mantan jenderal militer dari era "Orde Baru" di bawah pemerintahan Soeharto, dan mantan menantu Soeharto?
Atau Anies Baswedan, yang meskipun memiliki keturunan asing, mengklaim dirinya sebagai pribumi Indonesia? Ataukah Ganjar Pranowo, yang dikenal sebagai sosok tegas tanpa keterlibatan langsung dengan Orde Baru?
Pemilu presiden Indonesia pada bulan Februari tahun ini memang memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Secara jelas, PDIP tampaknya telah kehilangan sebagian pendukungnya yang lebih mendukung dan merasa puas selama kepemimpinan Presiden Jokowi.
Selain itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berhasil memenangkan simpati sebagian masyarakat dengan memainkan peran seolah-olah PSI adalah partai baru yang tidak dianggap oleh partai besar. PSI juga berhasil mendapatkan dukungan dengan menunjuk Kaesang Pangarep, putra kedua Jokowi, sebagai pemimpin partai.
Kedua, perbedaan politik antara Prabowo, Anies, dan Ganjar telah sangat jelas tergambar. Pada tahun 2019, Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, dengan tujuan mempertahankan garis pembangunan yang bersifat sekuler, demokratis, dan mengedepankan hak asasi manusia.
Model pembangunan yang bersifat top-down pun dijunjung tinggi, dengan keyakinan bahwa Indonesia dapat mencapai kemajuan lebih lanjut jika Jokowi terpilih sebagai presiden. Lima tahun lalu, Prabowo juga berkomitmen untuk mengubah citranya yang sebelumnya dianggap penuh kekerasan, dengan mendukung penuh proses pembangunan hak asasi manusia, dan mempromosikan pembangunan yang merata serta lebih fokus pada nasionalisme daripada aspek agama, yang kala itu menjadi pembeda dari calon yang berbasis agama.
Pada pemilihan ini, Prabowo juga menunjukkan keterbukaannya dalam menghadapi berbagai serangan, termasuk peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang selalu dihidupkan kembali ketika Prabowo maju sebagai calon presiden. Meskipun Prabowo telah berubah, dari yang militer menjadi sipil, dari seorang tentara yang hanya tau perang menjadi seorang pemimpin yang lebih humanis, namun sayangnya, orang-orang dekat Prabowo yang duduk di badan legislatif cenderung menunjukkan sikap berseberangan dengan Prabowo.
Lihat Juga :
tulis komentar anda