Suara Waria untuk Siapa?
Senin, 25 September 2023 - 17:23 WIB
Identitas gender adalah bagian penting dari seseorang yang mereka rasakan dalam dirinya dan mungkin berbeda dari konsep gender yang masyarakat berikan padanya. Identitas gender seseorang dapat mencakup bagaimana mereka memilih untuk mengenakan pakaian, berbicara, dan berperilaku.
Sebagai individu, semua orang berhak untuk dihormati dan diakui identitas gender mereka. Diskriminasi terhadap seorang transgender adalah masalah serius yang bisa memengaruhi banyak aspek, termasuk kesejahteraan mereka. Sudah banyak negara yang telah memiliki undang-undang untuk melindungi hak-hak orang transgender dan mendorong penerimaan serta inklusi dalam masyarakat.
Sedangkan transeksual adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks kesehatan dan identitas gender yang merujuk kepada seseorang yang mengalami disforia gender atau ketidakcocokan antara identitas gender mereka dengan jenis kelamin ketika dilahirkan. Kedua istilah (transgender dan transeksual) sering dipakai secara bergantian. Namun, kini kata transgender lebih umum dipakai.
Kemudian “waria” adalah istilah khas Indonesia yang merupakan gabungan dari kata “wanita” dan “pria”. Istilah ini baru muncul pada 1980-an. Sebelumnya, ada istilah bencong, banci, wadam (hawa adam) atau wandu (wanita dudu/bukan wanita) di dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang, istilah “becong” dan “banci” kadang masih tetap dipakai, tetapi terkesan merendahkan keberadaan waria.
Sejarah waria di Jakarta, terutama yang di jalan-jalan, memang lumayan panjang. Sebagian mereka datang dari daerah karena melarikan diri dari kota asalnya, atau mereka yang terusir dari keluarga. Menurut dua dedengkot waria di Jakarta, yaitu Netty dan Etty, ketika mereka mulai dipanggil oleh pemain orkes untuk ikut menyanyi atau sekadar berjoget pada tahun 1957, belum banyak waria yang melacurkan diri di jalan. “Itu anak-anak Gang Kancil, Kota, sana. Di jalan-jalan sih masih sedikit. Ketika Hotel Indonesia akan dibangun, kira-kira masih tahun lima tujuh-lima delapan, ya, mulai ada satu dua di situ.”
Selanjutnya, waria mulai bertebaran di tempat-tempat strategis seperti di Lawan Plein (sekarang Taman Lawang), atau di Jalan Diponegoro. Akhirnya, pada tahun 1968 waria-waria mendapat tempat berkumpul di salah satu stand di dalam lokasi Djakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) yang diselenggarakan pada tahun 1968 di Monas. Di situ lahirlah Paradise Hall, semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola waria. Pada acara Djakarta Fair pertama itu diadakan pula pemilihan Ratu Waria yang diikuti 151 waria.
Kebebasan berkumpul dan melakukan aktivitas seni bagi waria dimungkinkan karena Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1976), peduli pada nasib waria di Jakarta. Beberapa kali ia mengadakan tatap muka dengan mereka. Tampaknya dia berusaha menyelami persoalan serta berupaya membimbing dan menyalurkan bakat-bakat para waria.
“Sebagai gubernur, saya merasa ikut bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada warga saya. Saya berusaha menghayati bagaimana kehidupan dan penghidupan warga saya, siapa pun mereka. Saya kemudian melihat golongan ini (waria) dianggap seolah-olah tidak memiliki hak hidup. Mereka dijauhi masyarakat. Pemerintah waktu itu pasif saja. Masa bodoh. Kaum ini dianggap bukan permasalahan. Nah, saya kemudian sadar bahwa mereka juga warga kota. Lalu saya berusaha menghayati permasalahan mereka dan mencoba untuk memperbaiki keadaan,” kata Ali Sadikin kepada saya dalam suatu wawancara pada pertengahan 1980-an..
“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya melihat banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik. Urusan Pemerintah memang banyak, tapi itu sudah menjadi kewajibannya. Mereka jangan dianggap sampah terus-menerus, sebagai warga kota, sebagai warga Negara. Jadi, harus ada langkah-langkah yang diambil,” kata Ali Sadikin lagi.
Paradise Hall terpaksa ditutup karena kurang pengunjung. Setelahnya, beberapa waria mendirikan Wadam All Stars, grup penghibur yang beranggotakan waria-waria berbakat seni. Tapi ini pun tidak lama berjalan. Salah satu anggota dari Wadam All Stars, Myrna, mendirikan grup band, Bambang Brothers bersama saudara kembarnya. Grup band ini cukup sukses.
Sebagai individu, semua orang berhak untuk dihormati dan diakui identitas gender mereka. Diskriminasi terhadap seorang transgender adalah masalah serius yang bisa memengaruhi banyak aspek, termasuk kesejahteraan mereka. Sudah banyak negara yang telah memiliki undang-undang untuk melindungi hak-hak orang transgender dan mendorong penerimaan serta inklusi dalam masyarakat.
Sedangkan transeksual adalah istilah yang sering digunakan dalam konteks kesehatan dan identitas gender yang merujuk kepada seseorang yang mengalami disforia gender atau ketidakcocokan antara identitas gender mereka dengan jenis kelamin ketika dilahirkan. Kedua istilah (transgender dan transeksual) sering dipakai secara bergantian. Namun, kini kata transgender lebih umum dipakai.
Kemudian “waria” adalah istilah khas Indonesia yang merupakan gabungan dari kata “wanita” dan “pria”. Istilah ini baru muncul pada 1980-an. Sebelumnya, ada istilah bencong, banci, wadam (hawa adam) atau wandu (wanita dudu/bukan wanita) di dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang, istilah “becong” dan “banci” kadang masih tetap dipakai, tetapi terkesan merendahkan keberadaan waria.
Sejarah waria di Jakarta, terutama yang di jalan-jalan, memang lumayan panjang. Sebagian mereka datang dari daerah karena melarikan diri dari kota asalnya, atau mereka yang terusir dari keluarga. Menurut dua dedengkot waria di Jakarta, yaitu Netty dan Etty, ketika mereka mulai dipanggil oleh pemain orkes untuk ikut menyanyi atau sekadar berjoget pada tahun 1957, belum banyak waria yang melacurkan diri di jalan. “Itu anak-anak Gang Kancil, Kota, sana. Di jalan-jalan sih masih sedikit. Ketika Hotel Indonesia akan dibangun, kira-kira masih tahun lima tujuh-lima delapan, ya, mulai ada satu dua di situ.”
Selanjutnya, waria mulai bertebaran di tempat-tempat strategis seperti di Lawan Plein (sekarang Taman Lawang), atau di Jalan Diponegoro. Akhirnya, pada tahun 1968 waria-waria mendapat tempat berkumpul di salah satu stand di dalam lokasi Djakarta Fair (sekarang Pekan Raya Jakarta) yang diselenggarakan pada tahun 1968 di Monas. Di situ lahirlah Paradise Hall, semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola waria. Pada acara Djakarta Fair pertama itu diadakan pula pemilihan Ratu Waria yang diikuti 151 waria.
Kebebasan berkumpul dan melakukan aktivitas seni bagi waria dimungkinkan karena Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1976), peduli pada nasib waria di Jakarta. Beberapa kali ia mengadakan tatap muka dengan mereka. Tampaknya dia berusaha menyelami persoalan serta berupaya membimbing dan menyalurkan bakat-bakat para waria.
“Sebagai gubernur, saya merasa ikut bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada warga saya. Saya berusaha menghayati bagaimana kehidupan dan penghidupan warga saya, siapa pun mereka. Saya kemudian melihat golongan ini (waria) dianggap seolah-olah tidak memiliki hak hidup. Mereka dijauhi masyarakat. Pemerintah waktu itu pasif saja. Masa bodoh. Kaum ini dianggap bukan permasalahan. Nah, saya kemudian sadar bahwa mereka juga warga kota. Lalu saya berusaha menghayati permasalahan mereka dan mencoba untuk memperbaiki keadaan,” kata Ali Sadikin kepada saya dalam suatu wawancara pada pertengahan 1980-an..
“Apa pun penyebabnya, waria harus ditolong. Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya melihat banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga baik-baik. Urusan Pemerintah memang banyak, tapi itu sudah menjadi kewajibannya. Mereka jangan dianggap sampah terus-menerus, sebagai warga kota, sebagai warga Negara. Jadi, harus ada langkah-langkah yang diambil,” kata Ali Sadikin lagi.
Paradise Hall terpaksa ditutup karena kurang pengunjung. Setelahnya, beberapa waria mendirikan Wadam All Stars, grup penghibur yang beranggotakan waria-waria berbakat seni. Tapi ini pun tidak lama berjalan. Salah satu anggota dari Wadam All Stars, Myrna, mendirikan grup band, Bambang Brothers bersama saudara kembarnya. Grup band ini cukup sukses.
Lihat Juga :
tulis komentar anda