Suara Waria untuk Siapa?
Senin, 25 September 2023 - 17:23 WIB
Adapun gerakan yang lumayan menonjol pernah dilakukan di Surabaya pada 1999. Perwakos bersama Gaya Nusantara dan Pusat Kebudayaan Perancis menyelenggarakan Gay Pride Parade di Surabaya pada Juni 1999. Ini merupakan Gay Pride Parade pertama di Indonesia. Ini sebuah tanda bahwa kaum waria, gay, lesbian menguatkan kerjasama secara kelembagaan dan bersama-sama menuntut hak azasi manusia secara terbuka. Mereka mendukung Megawati Sukarnoputri menjadi presiden pertama di era Reformasi. Bahkan ada sekitar 200-an waria yang tergabung di dalam Perwakos di Surabaya melakukan aksi cap jempol darah pada Juli 1999.
“Ini adalah aksi dukungan kami buat Mbak Mega yang terus diganjal oleh penguasa. Kami siap jika harus di-dar dor polisi," kata Pangky. Menurutnya, dukungan itu tidak bisa dipisahkan dengan status Mega sebagai perempuan yang "sama" dengan status mereka. "Aksi ini didasari oleh rasa kemanusiaan. Kami punya perasaan wanita dan tidak rela bila wanita disia-siakan," tambah Pangky Kenthut, Ketua Perwakos.
Namun, merasa kecewa karena merasa tak dihargai dan nasib mereka juga tidak berubah, maka ajakan tim sukses Megawati-Hasyim Muzadi pada 2004 untuk membentuk Barisan Komitmen Pendukung Megawati di Surabaya untuk merangkul kaum minoritas seperti mantan penderita kusta, pengamen jalanan dan para waria, tidak disambut dengan antusias oleh Pangky.
Singkat cerita, kini muncul Yulianus Ratublaut (Yuli) dari Merauke, Papua. Setelah lebih dari 17 tahun menjalani kehidupan malam, kini dia menjadi ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI). Tujuan FKWI adalah untuk membantu kehidupan waria dan memperjuangkan hak-hak waria. Yuli bahkan konon pernah mencoba mencalonkan diri sebagai calon komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2007, tetapi tidak lolos fit and proper test oleh DPR.
Rasa kecewa dan ditinggalkan seperti yang pernah dialami Pangky di Surabaya itu rupanya kini juga dialami oleh Yuli di Jakarta. Itu sebabnya, ketika saya tanya, hingga September 2023, mereka belum terpikir untuk melakukan gerakan deklarasi untuk mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. “Kita sebenarnya senang dengan Pak Ganjar dan Pak Prabowo. Tapi untuk melakukan deklarasi resmi, kita lihat aja dulu,” katanya
“Ini adalah aksi dukungan kami buat Mbak Mega yang terus diganjal oleh penguasa. Kami siap jika harus di-dar dor polisi," kata Pangky. Menurutnya, dukungan itu tidak bisa dipisahkan dengan status Mega sebagai perempuan yang "sama" dengan status mereka. "Aksi ini didasari oleh rasa kemanusiaan. Kami punya perasaan wanita dan tidak rela bila wanita disia-siakan," tambah Pangky Kenthut, Ketua Perwakos.
Namun, merasa kecewa karena merasa tak dihargai dan nasib mereka juga tidak berubah, maka ajakan tim sukses Megawati-Hasyim Muzadi pada 2004 untuk membentuk Barisan Komitmen Pendukung Megawati di Surabaya untuk merangkul kaum minoritas seperti mantan penderita kusta, pengamen jalanan dan para waria, tidak disambut dengan antusias oleh Pangky.
Singkat cerita, kini muncul Yulianus Ratublaut (Yuli) dari Merauke, Papua. Setelah lebih dari 17 tahun menjalani kehidupan malam, kini dia menjadi ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia (FKWI). Tujuan FKWI adalah untuk membantu kehidupan waria dan memperjuangkan hak-hak waria. Yuli bahkan konon pernah mencoba mencalonkan diri sebagai calon komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2007, tetapi tidak lolos fit and proper test oleh DPR.
Rasa kecewa dan ditinggalkan seperti yang pernah dialami Pangky di Surabaya itu rupanya kini juga dialami oleh Yuli di Jakarta. Itu sebabnya, ketika saya tanya, hingga September 2023, mereka belum terpikir untuk melakukan gerakan deklarasi untuk mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. “Kita sebenarnya senang dengan Pak Ganjar dan Pak Prabowo. Tapi untuk melakukan deklarasi resmi, kita lihat aja dulu,” katanya
(wur)
tulis komentar anda