Janji Kemerdekaan dan Pembangunan Kebudayaan
Senin, 07 Agustus 2023 - 16:40 WIB
Cita-cita mulia itu dalam manifestasinya dalam kehidupan keseharian menemui jalan kendala yang meruyak banyak. Desain kebijakan UU Pemajuan Kebudayaan belum menempatkan masyarakat sipil (civil society)—seniman, ilmuwan, ulama dan para professional pun akademisi dan pelaku/praktisi budaya sebagai ujung tombak kebudayaan.
Partisipasi masyarakat adalah kunci utama dan syarat mutlak dalam terwujudnya empat langkah strategis perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
Saat ini tak ada sistem dan data infomasi terpadu juga sumber daya manusia yang handal dan memungkinkan pembagian kerja yang efektif dan efisien diantara elemen pemajuan kebudayaan di seluruh pelosok Tanah Air yang mana pemerintah hanya sebagai fasilitator dan publik sebagai inti dari gerakan empat langkah strategi itu. Keterlibatan semata-mata hanya prosedural dan mengalir top-down dari pusat, yakni Kemendikbud.
Hal ini tak menjawab dinamika manusia-manusia unggul dan kompetitif di dunia yang mengglobal, sinergitas-kolaboratif dan peran keaktifan seluruh lapisan masyarakat belum termanifestasikan di UU Pemajuan Kebudayaan. Disanalah adanya peran lowong seorang pemimpin bangsa dalam Kepemimpinan Nasional di wilayah Kebudayaan diperlukan pada hajatan Pemilu 2024.
Jika Tan Malaka, dalam kalimat awal di esai ini menyampaikan tentang penderitaan-penderitaan untuk melahirkan pikiran demi perubahan, yakni: dari era kolonial ‘Menuju Indonesia Merdeka’. Maka, sewajarnya di tahun ke-78 kelahiran Republik ini, sudah semestinya kita menyandarkan harapan pada pemimpin baru, bagi bangsa ini yang mampu membumikan UU Pemajuan Kebudayaan dan keniscayaan prioritas perubahan dalam sebuah strategi riil yang memberi energi besar pembangunan manusia yang utuh sesuai janji kemerdekaan.
Partisipasi masyarakat adalah kunci utama dan syarat mutlak dalam terwujudnya empat langkah strategis perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
Saat ini tak ada sistem dan data infomasi terpadu juga sumber daya manusia yang handal dan memungkinkan pembagian kerja yang efektif dan efisien diantara elemen pemajuan kebudayaan di seluruh pelosok Tanah Air yang mana pemerintah hanya sebagai fasilitator dan publik sebagai inti dari gerakan empat langkah strategi itu. Keterlibatan semata-mata hanya prosedural dan mengalir top-down dari pusat, yakni Kemendikbud.
Hal ini tak menjawab dinamika manusia-manusia unggul dan kompetitif di dunia yang mengglobal, sinergitas-kolaboratif dan peran keaktifan seluruh lapisan masyarakat belum termanifestasikan di UU Pemajuan Kebudayaan. Disanalah adanya peran lowong seorang pemimpin bangsa dalam Kepemimpinan Nasional di wilayah Kebudayaan diperlukan pada hajatan Pemilu 2024.
Jika Tan Malaka, dalam kalimat awal di esai ini menyampaikan tentang penderitaan-penderitaan untuk melahirkan pikiran demi perubahan, yakni: dari era kolonial ‘Menuju Indonesia Merdeka’. Maka, sewajarnya di tahun ke-78 kelahiran Republik ini, sudah semestinya kita menyandarkan harapan pada pemimpin baru, bagi bangsa ini yang mampu membumikan UU Pemajuan Kebudayaan dan keniscayaan prioritas perubahan dalam sebuah strategi riil yang memberi energi besar pembangunan manusia yang utuh sesuai janji kemerdekaan.
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda