Janji Kemerdekaan dan Pembangunan Kebudayaan
Senin, 07 Agustus 2023 - 16:40 WIB
Tujuhpuluh delapan tahun kemudian, hari ini, tatkala bulan sakral siap digelar —jika Tan Malaka masih hidup, dia tentu menangis meraung-raung meyaksikan para intelektual dan pejabat negara atau anggota parlemen yang mungkin dulunya seorang akademisi, telah nyaman mendapatkan sejumlah gelar tertinggi.
Mereka tak harus melakoni kisah harus dibui dahulu, malahan menikmati materi dan kekuasaan yang cukup bahkan mencicipi pendidikan di manca negara. Namun, jarang terdengar daya kritisnya di ruang-ruang publik.
Kelas menengah dan intelektual kita malahan berdiam diri, tatkala seorang akademisi yang ingin menegakkan demokrasi dengan menyebut penguasa sebagai sebutan tak patut sebab mencederai konstitusi dipersekusi oleh relawan dan kader partai politik tertentu sebagai penghina lambang negara.
Para akademisi dan kelas menengah kita telah benar-benar abai, kalau tak dibilang khilaf untuk menjadi intelektual publik, gagal paham terhadap makna terdalam kalimat-kalimat janji kemerdekaan. Yakni, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan keadilan sosial.
Janji Kemerdekaan di Lapangan Kebudayaan
Alinea keempat UUD 1945 telah sangat jelas, mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan dan pengetahuan yang luas---dalam hal ini lelaku merevolusi pemikiran secara nalar dan spiritual, melalui mental/psikologis, -- dalam konteks pembangunan berperspektif kebudayaan adalah merupakan cita-cita bersama dalam masyarakat yang setara dalam adab.
Sebaliknya, warga negara, dalam hal ini para intelektual berhak menagih janji pada negara, yang dalam kondisi apapun menggunakan nalar kritis mengontol jalannya tata-kelola negara. Apalagi, jika parlemen sebagai salah satu pilar lembaga demokrasi gagal menerapkan fungsinya mengontrol kekuasaan, maka keniscayaannya masyarakat terdidiklah yang bersuara.
UU Pemajuan Kebudayaan di Indonesia memberi penekanan empat langkah strategis dalam memajukan dan mengonstruksi kebudayaan, yakni: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Setiap langkah melayani kebutuhan yang spesifik. Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bertujuan memperkuat unsur-unsur dalam ekosistem kebudayaan, sementara pembinaan bertujuan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam ekosistem kebudayaan.
Keempat langkah tersebut saling terhubung dan tak dapat dipisahkan. Pencapaian setiap langkah mendukung langkah-langkah strategis lainnya. Oleh karena itu, penerapan keempat langkah strategis bukan untuk dilakukan secara berjenjang atau setahap demi setahap, tapi secara bersamaan.
Hanya melalui penerapan serentak, tujuan UU Pemajuan Kebudayaan juga cita-cita Republik atas “masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” bisa terwujud.
Mereka tak harus melakoni kisah harus dibui dahulu, malahan menikmati materi dan kekuasaan yang cukup bahkan mencicipi pendidikan di manca negara. Namun, jarang terdengar daya kritisnya di ruang-ruang publik.
Kelas menengah dan intelektual kita malahan berdiam diri, tatkala seorang akademisi yang ingin menegakkan demokrasi dengan menyebut penguasa sebagai sebutan tak patut sebab mencederai konstitusi dipersekusi oleh relawan dan kader partai politik tertentu sebagai penghina lambang negara.
Para akademisi dan kelas menengah kita telah benar-benar abai, kalau tak dibilang khilaf untuk menjadi intelektual publik, gagal paham terhadap makna terdalam kalimat-kalimat janji kemerdekaan. Yakni, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan keadilan sosial.
Janji Kemerdekaan di Lapangan Kebudayaan
Alinea keempat UUD 1945 telah sangat jelas, mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan dan pengetahuan yang luas---dalam hal ini lelaku merevolusi pemikiran secara nalar dan spiritual, melalui mental/psikologis, -- dalam konteks pembangunan berperspektif kebudayaan adalah merupakan cita-cita bersama dalam masyarakat yang setara dalam adab.
Sebaliknya, warga negara, dalam hal ini para intelektual berhak menagih janji pada negara, yang dalam kondisi apapun menggunakan nalar kritis mengontol jalannya tata-kelola negara. Apalagi, jika parlemen sebagai salah satu pilar lembaga demokrasi gagal menerapkan fungsinya mengontrol kekuasaan, maka keniscayaannya masyarakat terdidiklah yang bersuara.
UU Pemajuan Kebudayaan di Indonesia memberi penekanan empat langkah strategis dalam memajukan dan mengonstruksi kebudayaan, yakni: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Setiap langkah melayani kebutuhan yang spesifik. Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bertujuan memperkuat unsur-unsur dalam ekosistem kebudayaan, sementara pembinaan bertujuan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam ekosistem kebudayaan.
Keempat langkah tersebut saling terhubung dan tak dapat dipisahkan. Pencapaian setiap langkah mendukung langkah-langkah strategis lainnya. Oleh karena itu, penerapan keempat langkah strategis bukan untuk dilakukan secara berjenjang atau setahap demi setahap, tapi secara bersamaan.
Hanya melalui penerapan serentak, tujuan UU Pemajuan Kebudayaan juga cita-cita Republik atas “masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” bisa terwujud.
Lihat Juga :
tulis komentar anda