Janji Kemerdekaan dan Pembangunan Kebudayaan

Senin, 07 Agustus 2023 - 16:40 WIB
loading...
Janji Kemerdekaan dan...
Bambang Asrini, Pengamat Sosial dan Budaya. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Bambang Asrini
Pengamat Sosial dan Budaya
Koordinator Forum Alumni Unej untuk Perubahan, Anies Cadas

“Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya. “
-Tan Malaka

SALAH seorang pengembara revolusioner, yang satu saat mengaku tiga-perempat hidupnya dipertaruhkan di dalam bui—seperti kata pengantarnya pada buku Naar de ‘Republiek Indonesia'- ‘Menuju Indonesia Merdeka’ yang dicetak di Kanton, Tiongkok pada 1925-- dalam penderitaan-penderitaan, ia bersandar harapannya selalu pada peran nalar.

Puncak Tan berseberangan dengan PKI, yang sudah terjadi sejak 1922, dan kekeraskepalaannya pada gerakan Pan-Islamisme yang bertentangan dengan gerakan komunis dunia menuntunnya untuk akhirnya “berlabuh secara intelektual” di Kanton. Sebuah kota kosmopolit, sekarang provinsi Guangzhou, China Selatan yang seturut sejarah, salah satu kota terbesar di dunia di awal abad ke-19.

Seperti ditulis dalam pengantar Naar de ‘Republiek Indonesia' , yang merupakan buku babon, yakni hulu dari para pemikir dan tokoh perintis tentang yang “Indonesia” dan yang “Merdeka” dilantangkan secara global, Tan mengakui bahwa fakta-fakta pergerakan dan perubahan zaman itu diinspirasi selalu oleh kelas menengah dan para intelektual.

“Mulai tumbuhnya perhatian besar atas kemajuan perkembangan pergerakan revolusioner di antara orang intelektuil” tulis Tan Malaka berapi-api.

Tujuhpuluh delapan tahun kemudian, hari ini, tatkala bulan sakral siap digelar —jika Tan Malaka masih hidup, dia tentu menangis meraung-raung meyaksikan para intelektual dan pejabat negara atau anggota parlemen yang mungkin dulunya seorang akademisi, telah nyaman mendapatkan sejumlah gelar tertinggi.

Mereka tak harus melakoni kisah harus dibui dahulu, malahan menikmati materi dan kekuasaan yang cukup bahkan mencicipi pendidikan di manca negara. Namun, jarang terdengar daya kritisnya di ruang-ruang publik.

Kelas menengah dan intelektual kita malahan berdiam diri, tatkala seorang akademisi yang ingin menegakkan demokrasi dengan menyebut penguasa sebagai sebutan tak patut sebab mencederai konstitusi dipersekusi oleh relawan dan kader partai politik tertentu sebagai penghina lambang negara.

Para akademisi dan kelas menengah kita telah benar-benar abai, kalau tak dibilang khilaf untuk menjadi intelektual publik, gagal paham terhadap makna terdalam kalimat-kalimat janji kemerdekaan. Yakni, tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke-4, disebutkan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan keadilan sosial.

Janji Kemerdekaan di Lapangan Kebudayaan
Alinea keempat UUD 1945 telah sangat jelas, mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan dan pengetahuan yang luas---dalam hal ini lelaku merevolusi pemikiran secara nalar dan spiritual, melalui mental/psikologis, -- dalam konteks pembangunan berperspektif kebudayaan adalah merupakan cita-cita bersama dalam masyarakat yang setara dalam adab.

Sebaliknya, warga negara, dalam hal ini para intelektual berhak menagih janji pada negara, yang dalam kondisi apapun menggunakan nalar kritis mengontol jalannya tata-kelola negara. Apalagi, jika parlemen sebagai salah satu pilar lembaga demokrasi gagal menerapkan fungsinya mengontrol kekuasaan, maka keniscayaannya masyarakat terdidiklah yang bersuara.

UU Pemajuan Kebudayaan di Indonesia memberi penekanan empat langkah strategis dalam memajukan dan mengonstruksi kebudayaan, yakni: perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Setiap langkah melayani kebutuhan yang spesifik. Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan bertujuan memperkuat unsur-unsur dalam ekosistem kebudayaan, sementara pembinaan bertujuan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam ekosistem kebudayaan.

Keempat langkah tersebut saling terhubung dan tak dapat dipisahkan. Pencapaian setiap langkah mendukung langkah-langkah strategis lainnya. Oleh karena itu, penerapan keempat langkah strategis bukan untuk dilakukan secara berjenjang atau setahap demi setahap, tapi secara bersamaan.

Hanya melalui penerapan serentak, tujuan UU Pemajuan Kebudayaan juga cita-cita Republik atas “masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” bisa terwujud.

Cita-cita mulia itu dalam manifestasinya dalam kehidupan keseharian menemui jalan kendala yang meruyak banyak. Desain kebijakan UU Pemajuan Kebudayaan belum menempatkan masyarakat sipil (civil society)—seniman, ilmuwan, ulama dan para professional pun akademisi dan pelaku/praktisi budaya sebagai ujung tombak kebudayaan.

Partisipasi masyarakat adalah kunci utama dan syarat mutlak dalam terwujudnya empat langkah strategis perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Saat ini tak ada sistem dan data infomasi terpadu juga sumber daya manusia yang handal dan memungkinkan pembagian kerja yang efektif dan efisien diantara elemen pemajuan kebudayaan di seluruh pelosok Tanah Air yang mana pemerintah hanya sebagai fasilitator dan publik sebagai inti dari gerakan empat langkah strategi itu. Keterlibatan semata-mata hanya prosedural dan mengalir top-down dari pusat, yakni Kemendikbud.

Hal ini tak menjawab dinamika manusia-manusia unggul dan kompetitif di dunia yang mengglobal, sinergitas-kolaboratif dan peran keaktifan seluruh lapisan masyarakat belum termanifestasikan di UU Pemajuan Kebudayaan. Disanalah adanya peran lowong seorang pemimpin bangsa dalam Kepemimpinan Nasional di wilayah Kebudayaan diperlukan pada hajatan Pemilu 2024.

Jika Tan Malaka, dalam kalimat awal di esai ini menyampaikan tentang penderitaan-penderitaan untuk melahirkan pikiran demi perubahan, yakni: dari era kolonial ‘Menuju Indonesia Merdeka’. Maka, sewajarnya di tahun ke-78 kelahiran Republik ini, sudah semestinya kita menyandarkan harapan pada pemimpin baru, bagi bangsa ini yang mampu membumikan UU Pemajuan Kebudayaan dan keniscayaan prioritas perubahan dalam sebuah strategi riil yang memberi energi besar pembangunan manusia yang utuh sesuai janji kemerdekaan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0924 seconds (0.1#10.140)