Aspek Hukum Masalah Koneksitas

Senin, 07 Agustus 2023 - 12:03 WIB
Perkara suap Basarnas yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan telah menimbulkan pro dan kontra soal kewenangan Puspom ABRI terbukti premature karena perubahan ketentuan Pasal 98 dalam hal persetujuan Menteri Kehakiman belum diubah sampai saat ini.

Dalam keadaan hukum yang bersifat status quo maka KPK sesuai dengan UU KPK yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukan Puspom ABRI atau Tim Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP dan sebagainya.

Dalam konteks masalah koneksitas perlu dipahami bahwa UU No 8/1981 disahkan pada 31 Desember 1981 oleh Presiden Soeharto dan diundangkan pada 31 Desember 1981 oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono. Sedangkan pemberantasan korupsi sejak dan pasca-Reformasi 1998 didominasi oleh kebangkitan masyarakat sipil (civil society) yang mengusung transparansi.

Integritas, dan akuntabilitas setiap penyelenggara negara untuk tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Setiap pemegang jabatan publik terlepas dari kedudukan hukum yang dilindungi UUD 1945 termasuk Presiden, tidak luput dari pertanggungjawaban hukum (pidana) dan tidak imun terhadap penegakan hukum dengan asas hukum persamaan perlakuan di muka hukum. Sebagaimana telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, bahwa, (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dalam UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah ditetapkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UU 1945.

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Di dalam perubahan UU aquo yaitu UU No 20/2001 dinyatakan lebih serius bahwa, bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Berdasarkan kedua UU tersebut sangat nyata bahwa tindak pidana korupsi (tipikor) berbeda secara fundamental dari jenis tindak pidana lain. Selain tipikor merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) juga merupakan tindak pidana khusus -delik khusus terhadap tindak pidana umum dan berlaku asas hukum pidana, lex specialis derogate lege generali dan lex posteriori derogat lege priori.

Di samping keluarbiasaan tersebut, terhadap tipikor diperlukan cara-cara yang bersifat luar biasa. Antara lain harus dibentuk KPK di samping kejaksaan; kewenangan lebih dari kejaksaan dan kepolisian yaitu hanya menangani tipikor yang bernilai di atas Rp1 miliar.

Kemudian melibatkan penyelenggara negara dan menarik perhatian masyarakat luas serta dapat melakukan penyadapan (intersepsi) tanpa memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More