Aspek Hukum Masalah Koneksitas

Senin, 07 Agustus 2023 - 12:03 WIB
loading...
Aspek Hukum Masalah Koneksitas
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

KONEKSITAS adalah suatu tata cara proses pemeriksaan dalam suatu tindak pidana di mana pelaku anggota militer dan orang sipil bersama-sama diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Hukum acara yang berlaku adalah hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana militer.

Kekhususan dalam hukum acara disebabkan status hukum pelakunya adalah anggota militer, yakni yang masih aktif berdinas di kesatuan TNI. Di dalam UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 89 ayat (1) dinyatakan, bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Polisi Militer ABRI dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.

Selanjutnya di dalam Pasal 90 ayat (1) dinyatakan bahwa, untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, di dalam hal terjadi koneksitas maka pertama, terdapat dua opsi jenis peradilan yang berwenang mengadili yaitu peradilan umum sebagai opsi pertama dan memiliki status kewenanngan preferensi.

Opsi kedua, pengadilan militer akan tetapi untuk menetapkan kewenangan peradilan militer harus ada syarat yaitu keputusan Menteri Pertahanan atas persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang Mahkamah Agung). Hal ini belum diubah sejalan dengan kedudukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan yang sejak reformasi 1998 telah dipisahkan dari Kementerian Kehakiman.

Dalam konteks ini maka kewenangan penyidik Puspom ABRI tidak serta merta memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Pembentukan Tim Tetap harus terlebih dulu didasarkan penetapan Menteri Pertahanan yang disetujui Menteri Kehakiman (Mahkamah Agung) sehingga selama peraturan peralihan tentang pelimpahan wewenang dari Menteri Kehakiman ke Ketua MA dalam hal koneksitas belum terjadi maka ketentuan koneksitas Pasal 89 s/d Pasal 94 dalam KUHAP belum dapat dilaksanakan secara efektif dan tuntas.

Perkara suap Basarnas yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan telah menimbulkan pro dan kontra soal kewenangan Puspom ABRI terbukti premature karena perubahan ketentuan Pasal 98 dalam hal persetujuan Menteri Kehakiman belum diubah sampai saat ini.

Dalam keadaan hukum yang bersifat status quo maka KPK sesuai dengan UU KPK yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukan Puspom ABRI atau Tim Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP dan sebagainya.

Dalam konteks masalah koneksitas perlu dipahami bahwa UU No 8/1981 disahkan pada 31 Desember 1981 oleh Presiden Soeharto dan diundangkan pada 31 Desember 1981 oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono. Sedangkan pemberantasan korupsi sejak dan pasca-Reformasi 1998 didominasi oleh kebangkitan masyarakat sipil (civil society) yang mengusung transparansi.

Integritas, dan akuntabilitas setiap penyelenggara negara untuk tujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Setiap pemegang jabatan publik terlepas dari kedudukan hukum yang dilindungi UUD 1945 termasuk Presiden, tidak luput dari pertanggungjawaban hukum (pidana) dan tidak imun terhadap penegakan hukum dengan asas hukum persamaan perlakuan di muka hukum. Sebagaimana telah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, bahwa, (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Dalam UU No 31/1999 yang diubah UU No 20/2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah ditetapkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UU 1945.

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Di dalam perubahan UU aquo yaitu UU No 20/2001 dinyatakan lebih serius bahwa, bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Berdasarkan kedua UU tersebut sangat nyata bahwa tindak pidana korupsi (tipikor) berbeda secara fundamental dari jenis tindak pidana lain. Selain tipikor merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) juga merupakan tindak pidana khusus -delik khusus terhadap tindak pidana umum dan berlaku asas hukum pidana, lex specialis derogate lege generali dan lex posteriori derogat lege priori.

Di samping keluarbiasaan tersebut, terhadap tipikor diperlukan cara-cara yang bersifat luar biasa. Antara lain harus dibentuk KPK di samping kejaksaan; kewenangan lebih dari kejaksaan dan kepolisian yaitu hanya menangani tipikor yang bernilai di atas Rp1 miliar.
Kemudian melibatkan penyelenggara negara dan menarik perhatian masyarakat luas serta dapat melakukan penyadapan (intersepsi) tanpa memerlukan izin ketua pengadilan negeri setempat.

Di dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No 31/1999 diubah UU No 20/2001 tentang Tipikor, sudah tidak lagi ada perbedaan antara pelaku tipikor yang berasal dari anggota militer maupun anggota masyarkat sipil. Yang diakui adalah subjek hukum penyelenggara negara yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan UU yang berlaku.

Dalam hal koneksitas UU No 30/2002 yang diubah UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masalah koneksitas telah diatur tersendiri, berbeda dengan ketentuan KUHAP; yaitu dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa, KPK berwenang
mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Kata kunci dari ketentuan koneksitas dalam versi UU KPK jelas bahwa koordinasi dan supervise tipikor yang dilakukan anggota militer dan sipil berada di bawah wewenang penuh KPK. Penyidik militer dibolehkan melakukan penyelidikan dan penyidikan atas koordinasi KPK.

Ketentuan koneksitas UU KPK yang merupakan lex specialis terhadap UU KUHAP dan UU KUHAP Militer sehingga berlaku kedua asas hukum pidana sebagaimana telah disebutkan di atas. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas yaitu bahwa, masalah pro dan kontra tentang siapa yang berwenang dalam hal terjadi masalah koneksitas kasus Basarnas sudah jelas secara hukum dan tidak relevan lagi, terutama sejak deklarasi Orde Reformasi 1998.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1220 seconds (0.1#10.140)