Putu Wijaya sebelum Jadi Teroris
Senin, 31 Juli 2023 - 08:05 WIB
Norma sebagai suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama atau lingkungannya inilah yang kini sering “diacak-acak” melalui aforisme para tokoh dalam karya-karya Putu Wijaya. Apa yang dilakukan Putu Wijaya, mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan Karl R. Popper tentang gedankenexperiment, yakni melakukan, “Eksperimen-eksperimen dalam pikiran dengan menyodorkan berbagai kemungkinan yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.”
Dalam bahasa Putu Wijaya sendiri, bahwa “.... Teror mental pada dasarnya adalah terapi batin untuk mencoba sudut pandang baru dalam menerobos rimba raya kehidupan.” Lebih jauh dikatakan –khususnya mengenai apa yang dilakukan Teater Mandiri -- bahwa pada dasarnya ia ingin membuat tontonan yang mengguncang keseimbangan batin, sehingga mereka terpaksa berpikir dan mempertimbangkan sekali lagi apa yang sudah diputuskan.”
Singkatnya, sangat menarik mengikuti bagaimana Putu Wijaya membolak-balik sikap moral para tokohnya. Tujuannya, lagi-lagi, untuk membuat para pembaca melihat aneka sudut pandang. Selain itu, ujaran-ujaran pendek “bernas” yang bertebaran di cerpen, novel, atau naskah drama Putu Wijaya yang lain, mengingatkan kita pada aforisme-aforisme yang dilakukan oleh Friedrich Nietzche. Dalam banyak karyanya, Nietzche juga menuangkan pikirannya dalam bentuk renungan-renungan pendek tentang aneka persoalan.
Nietzche – seperti Putu Wijaya, tentunya -- juga menaruh minat pada kebudayaan. Ia mendapat banyak inspirasi dari Schopenhauer, yang cenderung menganggap bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan. Hanya saja, kedua filosof ini berbeda dalam menanggapi tragisnya hidup. Jika Schopenhauer seakan menolak kehidupan dan melarikan diri darinya, maka “Si Palu Gada” Nietzsche justru mengatakan “ya” alias menerima kehidupan ini. Ia mengatasi tragisnya hidup –salah satunya -- dengan kreasi estetis.
Dalam dunia filsafat, banyak sekali filosof yang mengkaji masalah etika, masalah baik-buruk, atau norma-norma pada umumnya. Misalnya saja, Immanuel Kant (etika deontologis) dan Max Scheler (etika nilai). Selain mereka, bisa disebut beberapa filosof abad ke-20 lain sepert George Moore (Membongkar Kekeliruan Naturalistik); Lawrence Kohlberg (Tahap-tahap Kesadaran Moral); Jurgen Habermas (Etika Diskursus); Byrrhus Frederic Skinner (Pengelolaan Kelakuan atau behaviorisme dalam etika); Alfred Jues Ayer (Teori Etika Emotif); Joseph Fletcher (Etika Situasi); dan masih banyak lagi.
Jika para filosof itu membongkar secara radikal berbagai pengertian mengenai moral dengan metode yang sistematis, maka Putu Wijaya menggedor aneka norma dalam hidup ini melalui cerita fiksi yang segar dan kadang tragis. Putu Wijaya --- dengan kalimat aktif yang lincah dan cerdas—kerap membungkus rentetan “tembakan psikologis”-nya dengan anekdot atau humor. Ini salah satu cara agar penikmat karyanya bisa tersenyum dan tidak terlalu tegang. Demikianlah sekilas Putu Wijaya dulu dan kini.
Dalam bahasa Putu Wijaya sendiri, bahwa “.... Teror mental pada dasarnya adalah terapi batin untuk mencoba sudut pandang baru dalam menerobos rimba raya kehidupan.” Lebih jauh dikatakan –khususnya mengenai apa yang dilakukan Teater Mandiri -- bahwa pada dasarnya ia ingin membuat tontonan yang mengguncang keseimbangan batin, sehingga mereka terpaksa berpikir dan mempertimbangkan sekali lagi apa yang sudah diputuskan.”
Singkatnya, sangat menarik mengikuti bagaimana Putu Wijaya membolak-balik sikap moral para tokohnya. Tujuannya, lagi-lagi, untuk membuat para pembaca melihat aneka sudut pandang. Selain itu, ujaran-ujaran pendek “bernas” yang bertebaran di cerpen, novel, atau naskah drama Putu Wijaya yang lain, mengingatkan kita pada aforisme-aforisme yang dilakukan oleh Friedrich Nietzche. Dalam banyak karyanya, Nietzche juga menuangkan pikirannya dalam bentuk renungan-renungan pendek tentang aneka persoalan.
Nietzche – seperti Putu Wijaya, tentunya -- juga menaruh minat pada kebudayaan. Ia mendapat banyak inspirasi dari Schopenhauer, yang cenderung menganggap bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan. Hanya saja, kedua filosof ini berbeda dalam menanggapi tragisnya hidup. Jika Schopenhauer seakan menolak kehidupan dan melarikan diri darinya, maka “Si Palu Gada” Nietzsche justru mengatakan “ya” alias menerima kehidupan ini. Ia mengatasi tragisnya hidup –salah satunya -- dengan kreasi estetis.
Dalam dunia filsafat, banyak sekali filosof yang mengkaji masalah etika, masalah baik-buruk, atau norma-norma pada umumnya. Misalnya saja, Immanuel Kant (etika deontologis) dan Max Scheler (etika nilai). Selain mereka, bisa disebut beberapa filosof abad ke-20 lain sepert George Moore (Membongkar Kekeliruan Naturalistik); Lawrence Kohlberg (Tahap-tahap Kesadaran Moral); Jurgen Habermas (Etika Diskursus); Byrrhus Frederic Skinner (Pengelolaan Kelakuan atau behaviorisme dalam etika); Alfred Jues Ayer (Teori Etika Emotif); Joseph Fletcher (Etika Situasi); dan masih banyak lagi.
Jika para filosof itu membongkar secara radikal berbagai pengertian mengenai moral dengan metode yang sistematis, maka Putu Wijaya menggedor aneka norma dalam hidup ini melalui cerita fiksi yang segar dan kadang tragis. Putu Wijaya --- dengan kalimat aktif yang lincah dan cerdas—kerap membungkus rentetan “tembakan psikologis”-nya dengan anekdot atau humor. Ini salah satu cara agar penikmat karyanya bisa tersenyum dan tidak terlalu tegang. Demikianlah sekilas Putu Wijaya dulu dan kini.
(wur)
Lihat Juga :
tulis komentar anda