Putu Wijaya sebelum Jadi Teroris
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Ibarat pelukis, Putu Wijaya mulai sebagai pelukis naturalis. Setelah menguasai berbagai teknik dan pengalaman, barulah ia menjadi pelukis abstrak. Demikian juga kira-kira perjalanan Putu Wijaya dalam hal tulis-menulis fiksi dan drama. Sebelum akhirnya ia dikenal sebagai sastrawan dan dramawan yang menyuguhkan cerita-cerita absurd, lengkap dengan berbagai teror mentalnya (saya menyebutnya sebagai teror norma), ada beberapa karyanya yang ditulis secara konvensional. Salah satu yang menonjol adalah naskah yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Novel yang kemudian dijadikan naskah drama ini ditulis Putu Wijaya pada 1964 di Yogyakarta.
Ceritanya tentang Gusti Biang, seorang janda yang sangat membanggakan darah kebangsawanannya. Dia hidup di rumah peninggalan suaminya, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, seorang bangsawan yang dulunya sangat dihormati karena dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang kini tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Selain Wayan, ada Nyoman Niti, seorang gadis desa yang lebih dari delapan belas tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya, Ratu Ngurah, telah lima tahun meninggalkan puri karena sedang menuntut ilmu di pulau Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama, termasuk masalah kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah orang lain. Dia juga sangat cerewet. Nyoman Niti, pembantu yang setia melayaninya selama ini, harus rela menerima sikap Gusti Biang yang sering menginjak-injak harga dirinya. Dia sebenarnya marah dan ingin meninggalkan puri itu karena dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala Wayan menasehatinya agar tetap bertahan.
Seluruh adegan drama ini berlangsung di beranda depan rumah Gusti Biang. Di dinding ada pigura dengan potret almarhum suaminya. Hari menjelang malam. Jadi, latar cerita drama ini jelas, yakni di sebuah puri di Tabanan, Bali. Drama ini tidak sulit untuk dipahami semua orang karena alurnya yang runtut alias dari depan ke belakang. Bahasanya juga jelas. Temanya tentang kisah percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan status sosial di antara para pelakunya. Karakter tokoh-tokohnya juga jelas.
Meski sekilas terasa sebagai “drama lokal”, namun tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Kisah tentang kemunafikan dan kesombongan “bangsawan” atau yang merasa dirinya lebih dari orang lain, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Hubungan antar-pribadi dalam drama ini tidak semuanya harmonis. Saya kutipkan beberapa adegan atau dialog yang perlu agar pembaca mempunyai sedikit gambaran soal cerita drama ini.
Pak tua Wayan, karena terpaksa, sedikit demi sedikit membuka tabir rahasia dalam keluarga itu. Mula-mula ia mengatakan bahwa Ngurah, anak Gusti Biang, sebenarnya menyintai dan berniat mengawini Nyoman Niti. Gusti Biang murka. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras. Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orangtua seperti itu. Apa pun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini.....”
Gusti Biang melanjutkan kemarahannya. Kali ini yang disasar adalah Wayan: “Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian zaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!”
Wayan sebenarnya tidak gagal dalam mendekati Gusti Biang muda. Gusti Biang yang tidak mau mengakui kenyataan. Wayan lalu membongkar rahasia lain, yakni sebenarnya suami Gusti Biang bukanlah seorang pahlawan sejati. “Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?” kata Wayan.
“Semua mengatakan dia pahlawan. Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!” kata Gusti Biang.
“Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan. Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang,” kata Wayan.
“Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!” ujar Gusti Biang sembari melempari wajah Wayan dengan botol.
“Baik, aku akan pergi sekarang. Aku juga sudah bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi, akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu,” kata Wayan.
“Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!”
“Baik, tiyang akan pergi, Gusti Biang.”
Gusti Biang memandang sekeliling, lalu duduk di kursi. Untuk beberapa saat dia tertidur di kursi itu.
Adegan selanjutnya, putra Gusti Biang (Ngurah), datang dari Jawa. Sang ibu kemudian menanyakan kebenaran isi surat yang pernah dikirim Ngurah sebelumnya. Ngurah membenarkan semuanya. Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka. Gusti Biang tidak setuju Ngurah menikah dengan Nyoman Niti. “Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!” kata Gusti Biang.
“Kenapa tidak, Ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman Niti untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang. Itu paradigma baru tentang kebangsawanan, tidak ada diskriminasi! Yang lain omong kosong semua....”
Ngurah kemudian meminta ibunya memanggil Wayan dan Nyoman untuk hadir dan ikut bicara. Wayan muncul membawa koper seng dan senjata. Wayan mengabarkan bahwa Nyoman Niti sudah pergi. Dia juga akan pergi menyusul Nyoman. Ngurah menanyakan alasan Nyoman pergi meninggalkan puri. Wayan menjelaskan bahwa Nyoman tidak cocok dengan Gusti Biang.
“Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!” kata Gusti Biang
“Ya, tiyang hantu. Seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi, Tu Ngurah....” ujar Wayan.
Wayan mengangkat koper hendak pergi. Tapi Gusti Biang mencegahnya ketika melihat Wayan juga membawa bedil. Menurut Gusi Biang, itu bedil miliknya. Sementara Wayan merasa bedil itu miliknya. Ngurah sendiri menaruh curiga, lalu menanyakan kepada ibunya tentang peluru yang menewaskan ayahnya. Gusti Biang yang selalu membawa peluru itu sebagai jimat menyerahkannya kepada Ngurah.
Kini Ngurah yakin, dari bedil itulah peluru yang membunuh ayahnya berasal. Menurut Gusti Biang, itu bedil Nica. Tapi Wayan meyakinkan bahwa hanya gerilya yang punya bedil semacam itu.
“Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai pengkhianat,” kata Wayan.
“Bape bilang Ayah saya pengkhianat? Bape sudah bertahun-tahun di sini, mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?”
Wayan kemudian menerangkan panjang lebar sejarah peperangan melawan Nica. Misalnya. tentang bocornya gerakan Ciung Wanara yang dipimpin Pak Rai, sehinga Nica mengepung Desa Marga dan mengancurkannya. Hanya karena ayahnya dilahirkan sebagai putra bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhurnya, dosa ayahnya kepada pak Rai serta korban puputan itu, seperti dilupakan. Tetapi Wayan tidak pernah melupakan.
Mula-mula Ngurah tidak percaya. Ia meminta Wayan membuktikannya. Akhirnya Wayan berterus terang bahwa dialah yang menembak lelaki yang selama ini dikira ayahnya itu. Bahkan Wayan kemudian bercerita siapa sesungguhnya ayah Ngurah:
“Ngurah mungkin mengira dia ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah Ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi itu semua menjadi rahasia.... sampai.... kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada Ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati,” kata Wayan.
Ngurah tak percaya dan menghampiri ibunya yang mulai menangis. Wayan kemudian meneruskan ceritanya:
“Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling menyintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tidak bisa dibeli lagi.”
Wayan kemudian meminta Ngurah mengejar Nyoman Niti. Mungkin wanita itu masih di jalan atau menginap di rumah temnannya. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti dirinya hanya karena perbedaan kasta.
“Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi jangan terlalu memikirkannya. Lupakan itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya,” kata Wayan.
Lalu, pada adagen berikutnya, Putu Wijaya menggambarkan sebuah akhir yang menarik: Gusti Biang berhenti menangis. Dia tampak malu menatap Wayan, tapi lak-laki itu mendekatinya.
“Bagaimana, Gusti Biang?” ujar Wayan.
“Kenapa kau ceritakan semua itu padanya,” kata Gusti Biang dengan malu-malu.
“Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya..”.
“Kau menyebabkan aku sangat malu..” Gusti Biang tertundak dan Wayan menghapus air matanya.
“Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana, Gusti Biang?”
Sambil menghapus air matanya. “Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya, tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.”
Wayan tersenyum “Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu selama-lamanya ... Sagung Mirah....”
“Apa, Wayan?”
“Kau tetap cantik seperti Sagung Mirah...” kata Wayan.
“Huuuuuusssss!” desis Gusti Biang.
Wayan berjalan ke gudang. Gusti Biang mengangkat lampu teplok untuk Wayan. Terdengar bunyi suling dan Wayan menembang. Gusti Biang meniup padam teplok. Drama pun berakhir.........
Kini, untuk mendapati “cerita normal” semacam Bila Malam Bertambah Malam atau novel Tiba-Tiba Malam dari Putu Wijaya, rasanya sudah sulit. Karya-karya Putu sekarang lebih banyak berupa cerita “aneh-aneh” dengan dialog-dialog yang meneror mental atau pikiran. Kini karya-karya Putu Wijaya seperti menggugat aneka norma yang sudah biasa kita yakini dalam kehidupan sehari-hari. Teror itu disampaikan melalui dialog-dialog yang cerdas dari para tokohnya, yang bisa membuat penonton atau pembaca bimbang terhadap norma-norma yang sudah dipercaya sebelumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal beberapa jenis norma. Ada norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Ketiganya disebut sebagai norma umum. Selain itu ada juga norma khusus yang hanya berlaku pada bidang atau momentum tertentu.
Norma sebagai suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama atau lingkungannya inilah yang kini sering “diacak-acak” melalui aforisme para tokoh dalam karya-karya Putu Wijaya. Apa yang dilakukan Putu Wijaya, mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan Karl R. Popper tentang gedankenexperiment, yakni melakukan, “Eksperimen-eksperimen dalam pikiran dengan menyodorkan berbagai kemungkinan yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.”
Dalam bahasa Putu Wijaya sendiri, bahwa “.... Teror mental pada dasarnya adalah terapi batin untuk mencoba sudut pandang baru dalam menerobos rimba raya kehidupan.” Lebih jauh dikatakan –khususnya mengenai apa yang dilakukan Teater Mandiri -- bahwa pada dasarnya ia ingin membuat tontonan yang mengguncang keseimbangan batin, sehingga mereka terpaksa berpikir dan mempertimbangkan sekali lagi apa yang sudah diputuskan.”
Singkatnya, sangat menarik mengikuti bagaimana Putu Wijaya membolak-balik sikap moral para tokohnya. Tujuannya, lagi-lagi, untuk membuat para pembaca melihat aneka sudut pandang. Selain itu, ujaran-ujaran pendek “bernas” yang bertebaran di cerpen, novel, atau naskah drama Putu Wijaya yang lain, mengingatkan kita pada aforisme-aforisme yang dilakukan oleh Friedrich Nietzche. Dalam banyak karyanya, Nietzche juga menuangkan pikirannya dalam bentuk renungan-renungan pendek tentang aneka persoalan.
Nietzche – seperti Putu Wijaya, tentunya -- juga menaruh minat pada kebudayaan. Ia mendapat banyak inspirasi dari Schopenhauer, yang cenderung menganggap bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan. Hanya saja, kedua filosof ini berbeda dalam menanggapi tragisnya hidup. Jika Schopenhauer seakan menolak kehidupan dan melarikan diri darinya, maka “Si Palu Gada” Nietzsche justru mengatakan “ya” alias menerima kehidupan ini. Ia mengatasi tragisnya hidup –salah satunya -- dengan kreasi estetis.
Dalam dunia filsafat, banyak sekali filosof yang mengkaji masalah etika, masalah baik-buruk, atau norma-norma pada umumnya. Misalnya saja, Immanuel Kant (etika deontologis) dan Max Scheler (etika nilai). Selain mereka, bisa disebut beberapa filosof abad ke-20 lain sepert George Moore (Membongkar Kekeliruan Naturalistik); Lawrence Kohlberg (Tahap-tahap Kesadaran Moral); Jurgen Habermas (Etika Diskursus); Byrrhus Frederic Skinner (Pengelolaan Kelakuan atau behaviorisme dalam etika); Alfred Jues Ayer (Teori Etika Emotif); Joseph Fletcher (Etika Situasi); dan masih banyak lagi.
Jika para filosof itu membongkar secara radikal berbagai pengertian mengenai moral dengan metode yang sistematis, maka Putu Wijaya menggedor aneka norma dalam hidup ini melalui cerita fiksi yang segar dan kadang tragis. Putu Wijaya --- dengan kalimat aktif yang lincah dan cerdas—kerap membungkus rentetan “tembakan psikologis”-nya dengan anekdot atau humor. Ini salah satu cara agar penikmat karyanya bisa tersenyum dan tidak terlalu tegang. Demikianlah sekilas Putu Wijaya dulu dan kini.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Ibarat pelukis, Putu Wijaya mulai sebagai pelukis naturalis. Setelah menguasai berbagai teknik dan pengalaman, barulah ia menjadi pelukis abstrak. Demikian juga kira-kira perjalanan Putu Wijaya dalam hal tulis-menulis fiksi dan drama. Sebelum akhirnya ia dikenal sebagai sastrawan dan dramawan yang menyuguhkan cerita-cerita absurd, lengkap dengan berbagai teror mentalnya (saya menyebutnya sebagai teror norma), ada beberapa karyanya yang ditulis secara konvensional. Salah satu yang menonjol adalah naskah yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Novel yang kemudian dijadikan naskah drama ini ditulis Putu Wijaya pada 1964 di Yogyakarta.
Ceritanya tentang Gusti Biang, seorang janda yang sangat membanggakan darah kebangsawanannya. Dia hidup di rumah peninggalan suaminya, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, seorang bangsawan yang dulunya sangat dihormati karena dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang kini tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Selain Wayan, ada Nyoman Niti, seorang gadis desa yang lebih dari delapan belas tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya, Ratu Ngurah, telah lima tahun meninggalkan puri karena sedang menuntut ilmu di pulau Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama, termasuk masalah kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah orang lain. Dia juga sangat cerewet. Nyoman Niti, pembantu yang setia melayaninya selama ini, harus rela menerima sikap Gusti Biang yang sering menginjak-injak harga dirinya. Dia sebenarnya marah dan ingin meninggalkan puri itu karena dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala Wayan menasehatinya agar tetap bertahan.
Seluruh adegan drama ini berlangsung di beranda depan rumah Gusti Biang. Di dinding ada pigura dengan potret almarhum suaminya. Hari menjelang malam. Jadi, latar cerita drama ini jelas, yakni di sebuah puri di Tabanan, Bali. Drama ini tidak sulit untuk dipahami semua orang karena alurnya yang runtut alias dari depan ke belakang. Bahasanya juga jelas. Temanya tentang kisah percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan status sosial di antara para pelakunya. Karakter tokoh-tokohnya juga jelas.
Meski sekilas terasa sebagai “drama lokal”, namun tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Kisah tentang kemunafikan dan kesombongan “bangsawan” atau yang merasa dirinya lebih dari orang lain, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Hubungan antar-pribadi dalam drama ini tidak semuanya harmonis. Saya kutipkan beberapa adegan atau dialog yang perlu agar pembaca mempunyai sedikit gambaran soal cerita drama ini.
Pak tua Wayan, karena terpaksa, sedikit demi sedikit membuka tabir rahasia dalam keluarga itu. Mula-mula ia mengatakan bahwa Ngurah, anak Gusti Biang, sebenarnya menyintai dan berniat mengawini Nyoman Niti. Gusti Biang murka. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras. Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orangtua seperti itu. Apa pun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini.....”
Gusti Biang melanjutkan kemarahannya. Kali ini yang disasar adalah Wayan: “Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian zaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!”
Wayan sebenarnya tidak gagal dalam mendekati Gusti Biang muda. Gusti Biang yang tidak mau mengakui kenyataan. Wayan lalu membongkar rahasia lain, yakni sebenarnya suami Gusti Biang bukanlah seorang pahlawan sejati. “Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?” kata Wayan.
“Semua mengatakan dia pahlawan. Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!” kata Gusti Biang.
“Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan. Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang,” kata Wayan.
“Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!” ujar Gusti Biang sembari melempari wajah Wayan dengan botol.
“Baik, aku akan pergi sekarang. Aku juga sudah bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi, akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu,” kata Wayan.
“Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengutukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!”
“Baik, tiyang akan pergi, Gusti Biang.”
Gusti Biang memandang sekeliling, lalu duduk di kursi. Untuk beberapa saat dia tertidur di kursi itu.
Adegan selanjutnya, putra Gusti Biang (Ngurah), datang dari Jawa. Sang ibu kemudian menanyakan kebenaran isi surat yang pernah dikirim Ngurah sebelumnya. Ngurah membenarkan semuanya. Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka. Gusti Biang tidak setuju Ngurah menikah dengan Nyoman Niti. “Dia tidak pantas menjadi istrimu! Dia tidak pantas menjadi menantuku!” kata Gusti Biang.
“Kenapa tidak, Ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman Niti untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang. Itu paradigma baru tentang kebangsawanan, tidak ada diskriminasi! Yang lain omong kosong semua....”
Ngurah kemudian meminta ibunya memanggil Wayan dan Nyoman untuk hadir dan ikut bicara. Wayan muncul membawa koper seng dan senjata. Wayan mengabarkan bahwa Nyoman Niti sudah pergi. Dia juga akan pergi menyusul Nyoman. Ngurah menanyakan alasan Nyoman pergi meninggalkan puri. Wayan menjelaskan bahwa Nyoman tidak cocok dengan Gusti Biang.
“Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!” kata Gusti Biang
“Ya, tiyang hantu. Seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi, Tu Ngurah....” ujar Wayan.
Wayan mengangkat koper hendak pergi. Tapi Gusti Biang mencegahnya ketika melihat Wayan juga membawa bedil. Menurut Gusi Biang, itu bedil miliknya. Sementara Wayan merasa bedil itu miliknya. Ngurah sendiri menaruh curiga, lalu menanyakan kepada ibunya tentang peluru yang menewaskan ayahnya. Gusti Biang yang selalu membawa peluru itu sebagai jimat menyerahkannya kepada Ngurah.
Kini Ngurah yakin, dari bedil itulah peluru yang membunuh ayahnya berasal. Menurut Gusti Biang, itu bedil Nica. Tapi Wayan meyakinkan bahwa hanya gerilya yang punya bedil semacam itu.
“Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantri bukan seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai pengkhianat,” kata Wayan.
“Bape bilang Ayah saya pengkhianat? Bape sudah bertahun-tahun di sini, mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?”
Wayan kemudian menerangkan panjang lebar sejarah peperangan melawan Nica. Misalnya. tentang bocornya gerakan Ciung Wanara yang dipimpin Pak Rai, sehinga Nica mengepung Desa Marga dan mengancurkannya. Hanya karena ayahnya dilahirkan sebagai putra bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhurnya, dosa ayahnya kepada pak Rai serta korban puputan itu, seperti dilupakan. Tetapi Wayan tidak pernah melupakan.
Mula-mula Ngurah tidak percaya. Ia meminta Wayan membuktikannya. Akhirnya Wayan berterus terang bahwa dialah yang menembak lelaki yang selama ini dikira ayahnya itu. Bahkan Wayan kemudian bercerita siapa sesungguhnya ayah Ngurah:
“Ngurah mungkin mengira dia ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah Ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi itu semua menjadi rahasia.... sampai.... kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada Ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati,” kata Wayan.
Ngurah tak percaya dan menghampiri ibunya yang mulai menangis. Wayan kemudian meneruskan ceritanya:
“Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling menyintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tidak bisa dibeli lagi.”
Wayan kemudian meminta Ngurah mengejar Nyoman Niti. Mungkin wanita itu masih di jalan atau menginap di rumah temnannya. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti dirinya hanya karena perbedaan kasta.
“Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi jangan terlalu memikirkannya. Lupakan itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya,” kata Wayan.
Lalu, pada adagen berikutnya, Putu Wijaya menggambarkan sebuah akhir yang menarik: Gusti Biang berhenti menangis. Dia tampak malu menatap Wayan, tapi lak-laki itu mendekatinya.
“Bagaimana, Gusti Biang?” ujar Wayan.
“Kenapa kau ceritakan semua itu padanya,” kata Gusti Biang dengan malu-malu.
“Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya..”.
“Kau menyebabkan aku sangat malu..” Gusti Biang tertundak dan Wayan menghapus air matanya.
“Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana, Gusti Biang?”
Sambil menghapus air matanya. “Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya, tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.”
Wayan tersenyum “Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu selama-lamanya ... Sagung Mirah....”
“Apa, Wayan?”
“Kau tetap cantik seperti Sagung Mirah...” kata Wayan.
“Huuuuuusssss!” desis Gusti Biang.
Wayan berjalan ke gudang. Gusti Biang mengangkat lampu teplok untuk Wayan. Terdengar bunyi suling dan Wayan menembang. Gusti Biang meniup padam teplok. Drama pun berakhir.........
Kini, untuk mendapati “cerita normal” semacam Bila Malam Bertambah Malam atau novel Tiba-Tiba Malam dari Putu Wijaya, rasanya sudah sulit. Karya-karya Putu sekarang lebih banyak berupa cerita “aneh-aneh” dengan dialog-dialog yang meneror mental atau pikiran. Kini karya-karya Putu Wijaya seperti menggugat aneka norma yang sudah biasa kita yakini dalam kehidupan sehari-hari. Teror itu disampaikan melalui dialog-dialog yang cerdas dari para tokohnya, yang bisa membuat penonton atau pembaca bimbang terhadap norma-norma yang sudah dipercaya sebelumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal beberapa jenis norma. Ada norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Ketiganya disebut sebagai norma umum. Selain itu ada juga norma khusus yang hanya berlaku pada bidang atau momentum tertentu.
Norma sebagai suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama atau lingkungannya inilah yang kini sering “diacak-acak” melalui aforisme para tokoh dalam karya-karya Putu Wijaya. Apa yang dilakukan Putu Wijaya, mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan Karl R. Popper tentang gedankenexperiment, yakni melakukan, “Eksperimen-eksperimen dalam pikiran dengan menyodorkan berbagai kemungkinan yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.”
Dalam bahasa Putu Wijaya sendiri, bahwa “.... Teror mental pada dasarnya adalah terapi batin untuk mencoba sudut pandang baru dalam menerobos rimba raya kehidupan.” Lebih jauh dikatakan –khususnya mengenai apa yang dilakukan Teater Mandiri -- bahwa pada dasarnya ia ingin membuat tontonan yang mengguncang keseimbangan batin, sehingga mereka terpaksa berpikir dan mempertimbangkan sekali lagi apa yang sudah diputuskan.”
Singkatnya, sangat menarik mengikuti bagaimana Putu Wijaya membolak-balik sikap moral para tokohnya. Tujuannya, lagi-lagi, untuk membuat para pembaca melihat aneka sudut pandang. Selain itu, ujaran-ujaran pendek “bernas” yang bertebaran di cerpen, novel, atau naskah drama Putu Wijaya yang lain, mengingatkan kita pada aforisme-aforisme yang dilakukan oleh Friedrich Nietzche. Dalam banyak karyanya, Nietzche juga menuangkan pikirannya dalam bentuk renungan-renungan pendek tentang aneka persoalan.
Nietzche – seperti Putu Wijaya, tentunya -- juga menaruh minat pada kebudayaan. Ia mendapat banyak inspirasi dari Schopenhauer, yang cenderung menganggap bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan. Hanya saja, kedua filosof ini berbeda dalam menanggapi tragisnya hidup. Jika Schopenhauer seakan menolak kehidupan dan melarikan diri darinya, maka “Si Palu Gada” Nietzsche justru mengatakan “ya” alias menerima kehidupan ini. Ia mengatasi tragisnya hidup –salah satunya -- dengan kreasi estetis.
Dalam dunia filsafat, banyak sekali filosof yang mengkaji masalah etika, masalah baik-buruk, atau norma-norma pada umumnya. Misalnya saja, Immanuel Kant (etika deontologis) dan Max Scheler (etika nilai). Selain mereka, bisa disebut beberapa filosof abad ke-20 lain sepert George Moore (Membongkar Kekeliruan Naturalistik); Lawrence Kohlberg (Tahap-tahap Kesadaran Moral); Jurgen Habermas (Etika Diskursus); Byrrhus Frederic Skinner (Pengelolaan Kelakuan atau behaviorisme dalam etika); Alfred Jues Ayer (Teori Etika Emotif); Joseph Fletcher (Etika Situasi); dan masih banyak lagi.
Jika para filosof itu membongkar secara radikal berbagai pengertian mengenai moral dengan metode yang sistematis, maka Putu Wijaya menggedor aneka norma dalam hidup ini melalui cerita fiksi yang segar dan kadang tragis. Putu Wijaya --- dengan kalimat aktif yang lincah dan cerdas—kerap membungkus rentetan “tembakan psikologis”-nya dengan anekdot atau humor. Ini salah satu cara agar penikmat karyanya bisa tersenyum dan tidak terlalu tegang. Demikianlah sekilas Putu Wijaya dulu dan kini.
(wur)