Putu Wijaya sebelum Jadi Teroris
Senin, 31 Juli 2023 - 08:05 WIB
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Ibarat pelukis, Putu Wijaya mulai sebagai pelukis naturalis. Setelah menguasai berbagai teknik dan pengalaman, barulah ia menjadi pelukis abstrak. Demikian juga kira-kira perjalanan Putu Wijaya dalam hal tulis-menulis fiksi dan drama. Sebelum akhirnya ia dikenal sebagai sastrawan dan dramawan yang menyuguhkan cerita-cerita absurd, lengkap dengan berbagai teror mentalnya (saya menyebutnya sebagai teror norma), ada beberapa karyanya yang ditulis secara konvensional. Salah satu yang menonjol adalah naskah yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Novel yang kemudian dijadikan naskah drama ini ditulis Putu Wijaya pada 1964 di Yogyakarta.
Ceritanya tentang Gusti Biang, seorang janda yang sangat membanggakan darah kebangsawanannya. Dia hidup di rumah peninggalan suaminya, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, seorang bangsawan yang dulunya sangat dihormati karena dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang kini tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Selain Wayan, ada Nyoman Niti, seorang gadis desa yang lebih dari delapan belas tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya, Ratu Ngurah, telah lima tahun meninggalkan puri karena sedang menuntut ilmu di pulau Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama, termasuk masalah kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah orang lain. Dia juga sangat cerewet. Nyoman Niti, pembantu yang setia melayaninya selama ini, harus rela menerima sikap Gusti Biang yang sering menginjak-injak harga dirinya. Dia sebenarnya marah dan ingin meninggalkan puri itu karena dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala Wayan menasehatinya agar tetap bertahan.
Seluruh adegan drama ini berlangsung di beranda depan rumah Gusti Biang. Di dinding ada pigura dengan potret almarhum suaminya. Hari menjelang malam. Jadi, latar cerita drama ini jelas, yakni di sebuah puri di Tabanan, Bali. Drama ini tidak sulit untuk dipahami semua orang karena alurnya yang runtut alias dari depan ke belakang. Bahasanya juga jelas. Temanya tentang kisah percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan status sosial di antara para pelakunya. Karakter tokoh-tokohnya juga jelas.
Meski sekilas terasa sebagai “drama lokal”, namun tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Kisah tentang kemunafikan dan kesombongan “bangsawan” atau yang merasa dirinya lebih dari orang lain, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Hubungan antar-pribadi dalam drama ini tidak semuanya harmonis. Saya kutipkan beberapa adegan atau dialog yang perlu agar pembaca mempunyai sedikit gambaran soal cerita drama ini.
Pak tua Wayan, karena terpaksa, sedikit demi sedikit membuka tabir rahasia dalam keluarga itu. Mula-mula ia mengatakan bahwa Ngurah, anak Gusti Biang, sebenarnya menyintai dan berniat mengawini Nyoman Niti. Gusti Biang murka. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras. Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orangtua seperti itu. Apa pun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini.....”
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Ibarat pelukis, Putu Wijaya mulai sebagai pelukis naturalis. Setelah menguasai berbagai teknik dan pengalaman, barulah ia menjadi pelukis abstrak. Demikian juga kira-kira perjalanan Putu Wijaya dalam hal tulis-menulis fiksi dan drama. Sebelum akhirnya ia dikenal sebagai sastrawan dan dramawan yang menyuguhkan cerita-cerita absurd, lengkap dengan berbagai teror mentalnya (saya menyebutnya sebagai teror norma), ada beberapa karyanya yang ditulis secara konvensional. Salah satu yang menonjol adalah naskah yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Novel yang kemudian dijadikan naskah drama ini ditulis Putu Wijaya pada 1964 di Yogyakarta.
Ceritanya tentang Gusti Biang, seorang janda yang sangat membanggakan darah kebangsawanannya. Dia hidup di rumah peninggalan suaminya, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, seorang bangsawan yang dulunya sangat dihormati karena dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang kini tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Selain Wayan, ada Nyoman Niti, seorang gadis desa yang lebih dari delapan belas tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya, Ratu Ngurah, telah lima tahun meninggalkan puri karena sedang menuntut ilmu di pulau Jawa.
Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama, termasuk masalah kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah orang lain. Dia juga sangat cerewet. Nyoman Niti, pembantu yang setia melayaninya selama ini, harus rela menerima sikap Gusti Biang yang sering menginjak-injak harga dirinya. Dia sebenarnya marah dan ingin meninggalkan puri itu karena dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala Wayan menasehatinya agar tetap bertahan.
Seluruh adegan drama ini berlangsung di beranda depan rumah Gusti Biang. Di dinding ada pigura dengan potret almarhum suaminya. Hari menjelang malam. Jadi, latar cerita drama ini jelas, yakni di sebuah puri di Tabanan, Bali. Drama ini tidak sulit untuk dipahami semua orang karena alurnya yang runtut alias dari depan ke belakang. Bahasanya juga jelas. Temanya tentang kisah percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan status sosial di antara para pelakunya. Karakter tokoh-tokohnya juga jelas.
Meski sekilas terasa sebagai “drama lokal”, namun tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Kisah tentang kemunafikan dan kesombongan “bangsawan” atau yang merasa dirinya lebih dari orang lain, bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Hubungan antar-pribadi dalam drama ini tidak semuanya harmonis. Saya kutipkan beberapa adegan atau dialog yang perlu agar pembaca mempunyai sedikit gambaran soal cerita drama ini.
Pak tua Wayan, karena terpaksa, sedikit demi sedikit membuka tabir rahasia dalam keluarga itu. Mula-mula ia mengatakan bahwa Ngurah, anak Gusti Biang, sebenarnya menyintai dan berniat mengawini Nyoman Niti. Gusti Biang murka. Dia tidak bisa menerima kenyataan itu.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras. Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orangtua seperti itu. Apa pun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini.....”
Lihat Juga :
tulis komentar anda