Meniadakan Mandatory Spending dalam RUU (OBL) Kesehatan: Mashlahat atau Mudharat?
Selasa, 27 Juni 2023 - 17:49 WIB
Pembentuk UU (OBL) Kesehatan dalam hal ini pemerintah dan DPR bersikukuh ingin menghapus Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No 36/2009, yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengalokasikan minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji pegawai. Pada Pasal ini tendapat kata “minimal” yang ulang dua kali dan juga kata “di luar gaji”.
Artinya bahwa bila suatu saat di mana sektor kesehatan membutuhkan anggaran melebihi yang dimandatkan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhinya. Sebab telah tertulis secara terang benderang kata “minimal”. Begitu pula terkait gaji pegawai semestinya tidak dimasukkan di dalam kategori minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD ini.
Lalu apa pentingnya mandatory spending ini? Mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokokasi secara adil, termanfaatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar mampu meningkatkan derajat kesehatan rakyat setinggi-tingginya.
Pencantuman mandatory spending di dalam RUU (OBL) Kesehatan merupakan bentuk konkret dari keberpihakan awal pembentuk undang-undang kepada kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu mandatory spending ini adalah bagian yang amat penting dalam pembetukan UU (OBL) Kesehatan, sebab ketersediaan dana untuk pelaksaannya kemudian sangat bergantung kepada apa yang tertulis di dalam undang-undang.
Akibat dari peniadaan mandatory spending di dalam UU (OLB) Kesehatan maka kelak tidak ada upaya paksa kepada pemerintah untuk berkomitmen menyediakan prosentase minimal anggaran untuk kesehatan rakyatnya. Kemungkinannya pengelola program negara di sektor kesehatan akan berkerja layaknya kepanitiaan dalam sebuah organisasi. Panitia pelaksana diminta membuat proposal untuk setiap rencana kegiatannya, kemudian mengajukan kepada ketua lalu ketua mendisposisi kepada bendahara untuk menyeleksinya.
Dampak Peniadaan Mandatory Spending
Bila mandatory spending ditiadakan maka setidaknya akan menimbukan tujuh dampak: Pertama, pengalokasian anggaran di sektor kesehatan akan makin menjadi prioritas terakhir. Setelah mengalokasikan anggaran untuk pembangun infrastruktur, pengadan barang, dan program yang bersifat politis.
Artinya sektor kesehatan diperkirakan hanya akan mendapatkan sisa-sisa anggaran. Dengan demikian pemerintah berpotensi gagal mengemban amanat Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Kedua, program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) akan makin terbengkalai. Upaya promotif dan preventif hanya menjadi penghias bibir para elit. Pun kita akan kembali berjumpa dengan “Rapor Merah” Menteri Kesehatan sebab tidak tercapainya target RPJMN Kesehatan sebagaimana yang dumumkan oleh Menteri Bappenas RI beberapa waktu yang lalu. Kita juga akan kembali berjumpa dengan triple burden of disease dan triple burden of malnutrition.
Ketiga, pemerintah akan kesulitan membiayai janji-janji manisnya. Misalnya, (a) penyebaran tenaga kesehatan ke seluruh pelosok tanah air, (b) pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan seperti seminar, simposium, dan workshop yang dianjikan murah bahkan gratis, (c) pembinaan etik, disipilin, dan hukum tenaga kesehatan yang akan ditarik ke Kementerian Kesehatan, (d) membiayai konsil dan majelis disiplin tenaga kesehatan yang juga berada di bawah Kementerian Kesehatan.
Artinya bahwa bila suatu saat di mana sektor kesehatan membutuhkan anggaran melebihi yang dimandatkan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memenuhinya. Sebab telah tertulis secara terang benderang kata “minimal”. Begitu pula terkait gaji pegawai semestinya tidak dimasukkan di dalam kategori minimal 5% APBN dan minimal 10% APBD ini.
Lalu apa pentingnya mandatory spending ini? Mandatory spending sangat penting untuk menyediakan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokokasi secara adil, termanfaatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar mampu meningkatkan derajat kesehatan rakyat setinggi-tingginya.
Pencantuman mandatory spending di dalam RUU (OBL) Kesehatan merupakan bentuk konkret dari keberpihakan awal pembentuk undang-undang kepada kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu mandatory spending ini adalah bagian yang amat penting dalam pembetukan UU (OBL) Kesehatan, sebab ketersediaan dana untuk pelaksaannya kemudian sangat bergantung kepada apa yang tertulis di dalam undang-undang.
Akibat dari peniadaan mandatory spending di dalam UU (OLB) Kesehatan maka kelak tidak ada upaya paksa kepada pemerintah untuk berkomitmen menyediakan prosentase minimal anggaran untuk kesehatan rakyatnya. Kemungkinannya pengelola program negara di sektor kesehatan akan berkerja layaknya kepanitiaan dalam sebuah organisasi. Panitia pelaksana diminta membuat proposal untuk setiap rencana kegiatannya, kemudian mengajukan kepada ketua lalu ketua mendisposisi kepada bendahara untuk menyeleksinya.
Dampak Peniadaan Mandatory Spending
Bila mandatory spending ditiadakan maka setidaknya akan menimbukan tujuh dampak: Pertama, pengalokasian anggaran di sektor kesehatan akan makin menjadi prioritas terakhir. Setelah mengalokasikan anggaran untuk pembangun infrastruktur, pengadan barang, dan program yang bersifat politis.
Artinya sektor kesehatan diperkirakan hanya akan mendapatkan sisa-sisa anggaran. Dengan demikian pemerintah berpotensi gagal mengemban amanat Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Kedua, program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) akan makin terbengkalai. Upaya promotif dan preventif hanya menjadi penghias bibir para elit. Pun kita akan kembali berjumpa dengan “Rapor Merah” Menteri Kesehatan sebab tidak tercapainya target RPJMN Kesehatan sebagaimana yang dumumkan oleh Menteri Bappenas RI beberapa waktu yang lalu. Kita juga akan kembali berjumpa dengan triple burden of disease dan triple burden of malnutrition.
Ketiga, pemerintah akan kesulitan membiayai janji-janji manisnya. Misalnya, (a) penyebaran tenaga kesehatan ke seluruh pelosok tanah air, (b) pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan seperti seminar, simposium, dan workshop yang dianjikan murah bahkan gratis, (c) pembinaan etik, disipilin, dan hukum tenaga kesehatan yang akan ditarik ke Kementerian Kesehatan, (d) membiayai konsil dan majelis disiplin tenaga kesehatan yang juga berada di bawah Kementerian Kesehatan.
tulis komentar anda