Apa yang Kita Pahami tentang Hukum?
Sabtu, 06 Mei 2023 - 08:54 WIB
Ahli sosiologi (Roscou Pound) yang mendalami hukum menjelang akhir abad 19 telah mempelajari dan menemukan bahwa, hukum dalam buku (law in the book) berbeda dengan hukum dalam kenyataan (law in action) sehingga penerapan hukum yang menggunakan cara "memaksakan fakta" dicocokan dengan norma yang berlaku merupakan kekeliruan karena seharusnya, hukum menyesuaikan kepada fakta yang terjadi dalam masyarakat; dalam Bahasa alm Satjipto Rahardjo, bukan manusia untuk hukum, tetapi hukum untuk manusia; dalam konteks ini, maka hukum sudah tidak lagi cocok untuk diterapkan dalam kenyataan -Hukum harus diubah terlebih dulu sehingga dapat diterapkan dengan pasti dan adil.
Lebih dari itu, hukum sejujurnya menurut Holmes adalah external deposit of our moral life-hukum adalah tabungan moral kehidupan kita- yang harus diartikan bahwa, setiap hukum yang dilahirkan melalui Lembaga legislative harus dipandang sebagai "panggilan kesusilaan" (moral affection) kita bersama untuk mengakui, menerima dan mematuhinya dan harus diterima akibat pelanggarannya.
Berangkat dari pernyataan tersebut maka kita sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan hendaknya mengikuti dan turut aktif dalam proses pembentukan hukum (UU) sehingga hukum yang lahir adalah merupakan aspirasi rasa keadilan kita yang diwujudkan dalam hukum(UU)- menjadi hukum kita bukan hanya hukum negara.
Hukum tidak lagi sepatutnya dipandang perintah dan produk penguasa pada abad ini melainkan harus dipandang sebagai panggilan dan aspirasi moral rakyat tentang hal baik dan buruk dan karenanya sepatutnya (bukan seharusnya) diancam hukuman yang setimpal dengan perbuatan(kejahatan) dan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatannya.
Hukum bukan lagi sesuatu yang ideal akan tetapi hukum merupakan pengalaman (buruk) bagi kita oleh karena itu dari pengalaman buruk itu diperlukan hukum untuk mengurangi pengalaman buruknya.
Peristiwa kejahatan besar yang terjadi di sekeliling kita adalah asupan sentiment moral negative bagi sebagian dari kita; sebaliknya juga merupakan tantangan (challenge) bagi kita untuk melindungi diri dari ancaman kejahatan sedemikian, juga pemegang kekuasaan, yaitu melalui hukum.
Sikap dan antisipasi kita terhadap peristiwa seperti itu seharusnya tidak apatis, skeptis dan pesimis melainkan kita harus memandang betapa kita memerlukan Hukum untuk menjadikan "payung" tempat kita hidup berteduh dengan damai.
Pertanyaan penting dan memerlukan jawaban pemimpin dan elit petinggi parpol kepada rakyatnya adalah, bagaimana jika aparatur hukum dan pejabat tinggi birokrasi terlibat dalam kejahatan seperti korupsi? Jawaban normative dan ideal, ya harus ditangkap dan diadili akan tetapi dalam praktik yang dilihat rakyat ternyata tidak begitu karena masih terjadi saling melindungi dan saling menutupi satu sama lain seperti telah terjadi kerja sama dan rekayasa penerapan hukum dalam kenyataannya.
Peristiwa ini bukan hanya terjadi di sini akan tetapi juga di negara lain; bedanya di negara lain tidak terjadi secara massif dalam seluruh bidang kehidupan, sedangkan di sini, kejahatan tersebut dilakukan secara massif, agresif dan sistematis. Jika disamakan dengan pelanggaran HAM dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Statuta ICC). Dalam situasi dan kondisi Hukum dalam kenyataan sedemikian maka rakyat tidak lagi bersikap aktif, terdorong untuk bersikap “melawan keadaan’ kecuali pasif, skeptis dan pesimis.
Hukum dipandang sebagai alat kekuasaan, kezaliman, dan hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya; bukan untuk kepastian, keadilan aapalagi tujuan kemanfaatan. Keadaan itu mirip i seperti digambarkan oleh Hobbes, manusia Bagai serigala terhadap sesamanya.
Lebih dari itu, hukum sejujurnya menurut Holmes adalah external deposit of our moral life-hukum adalah tabungan moral kehidupan kita- yang harus diartikan bahwa, setiap hukum yang dilahirkan melalui Lembaga legislative harus dipandang sebagai "panggilan kesusilaan" (moral affection) kita bersama untuk mengakui, menerima dan mematuhinya dan harus diterima akibat pelanggarannya.
Berangkat dari pernyataan tersebut maka kita sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan hendaknya mengikuti dan turut aktif dalam proses pembentukan hukum (UU) sehingga hukum yang lahir adalah merupakan aspirasi rasa keadilan kita yang diwujudkan dalam hukum(UU)- menjadi hukum kita bukan hanya hukum negara.
Hukum tidak lagi sepatutnya dipandang perintah dan produk penguasa pada abad ini melainkan harus dipandang sebagai panggilan dan aspirasi moral rakyat tentang hal baik dan buruk dan karenanya sepatutnya (bukan seharusnya) diancam hukuman yang setimpal dengan perbuatan(kejahatan) dan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatannya.
Hukum bukan lagi sesuatu yang ideal akan tetapi hukum merupakan pengalaman (buruk) bagi kita oleh karena itu dari pengalaman buruk itu diperlukan hukum untuk mengurangi pengalaman buruknya.
Peristiwa kejahatan besar yang terjadi di sekeliling kita adalah asupan sentiment moral negative bagi sebagian dari kita; sebaliknya juga merupakan tantangan (challenge) bagi kita untuk melindungi diri dari ancaman kejahatan sedemikian, juga pemegang kekuasaan, yaitu melalui hukum.
Sikap dan antisipasi kita terhadap peristiwa seperti itu seharusnya tidak apatis, skeptis dan pesimis melainkan kita harus memandang betapa kita memerlukan Hukum untuk menjadikan "payung" tempat kita hidup berteduh dengan damai.
Pertanyaan penting dan memerlukan jawaban pemimpin dan elit petinggi parpol kepada rakyatnya adalah, bagaimana jika aparatur hukum dan pejabat tinggi birokrasi terlibat dalam kejahatan seperti korupsi? Jawaban normative dan ideal, ya harus ditangkap dan diadili akan tetapi dalam praktik yang dilihat rakyat ternyata tidak begitu karena masih terjadi saling melindungi dan saling menutupi satu sama lain seperti telah terjadi kerja sama dan rekayasa penerapan hukum dalam kenyataannya.
Peristiwa ini bukan hanya terjadi di sini akan tetapi juga di negara lain; bedanya di negara lain tidak terjadi secara massif dalam seluruh bidang kehidupan, sedangkan di sini, kejahatan tersebut dilakukan secara massif, agresif dan sistematis. Jika disamakan dengan pelanggaran HAM dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Statuta ICC). Dalam situasi dan kondisi Hukum dalam kenyataan sedemikian maka rakyat tidak lagi bersikap aktif, terdorong untuk bersikap “melawan keadaan’ kecuali pasif, skeptis dan pesimis.
Hukum dipandang sebagai alat kekuasaan, kezaliman, dan hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya; bukan untuk kepastian, keadilan aapalagi tujuan kemanfaatan. Keadaan itu mirip i seperti digambarkan oleh Hobbes, manusia Bagai serigala terhadap sesamanya.
tulis komentar anda