Puasa, Flexing, dan Korupsi
Rabu, 05 April 2023 - 22:01 WIB
Sementara itu, ketamakan terhadap harta dan jabatan mendorong seseorang melakukan moral hazard (korupsi dan sejenisnya), dan cenderung menyimpang dari ajaran luhur agamanya.
Sehingga sangat tepat jika Rasulullah menganalogikan seseorang yang tamak (rakus) terhadap harta lebih berbahaya (kerusakannya) ketimbang dua ekor serigala yang menyerang satu ekor kambing.
Misi Puasa
Dengan demikian, perlunya menegakkan kembali misi puasa di bulan Ramadan, untuk menghindarkan diri dari gaya hidup hedon, dan menjauhkan diri dari sikap flexing (pamer barang-barang mewah di media sosial).
Misi utama puasa di bulan Ramadan adalah mewujudkan orang-orang yang berpuasa menjadi pribadi muslim yang bertaqwa. Kata takwa dalam Alquran sering disandingkan dengan kata integritas (kejujuran) dan kebenaran (QS. Al-Ahzab [33]: 70). Islam juga mengajarkan bahwa salah satu karakteristik orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki integritas dan karakter yang kuat (QS. Al-Mu’minun [23]: 8).
Dalam konteks itu, nampaknya puasa bagi bangsa Indonesia belum berfungsi secara optimal untuk bisa mewujudkan “harapan besar” atau yang dalam terminologi Alquran disebut sebagai la’alla yaitu kata yang menunjukkan harapan terwujudnya sesuatu (harf at-tarajji).
Harapan besar itu adalah menjadi orang yang bertakwa (Al-Baqarah [2]: 183). Karena bersifat harapan, maka orang-orang yang berpuasa tidak otomatis bisa mencapai derajat taqwa. Hal ini sangat tergantung pada niat, keimanan dan ihtisab orang-orang yang menjalankan ibadah puasa.
Sekiranyaa puasa dilakukan hanya sekadar sebagai adat kebiasaan dan rutinitas yang bersifat mekanistik, maka puasa tidak akan menemukan makna esensial atau nilai spritual yang diharapkan, kecuali hanya suatu aktivitas fisik yang menghasilkan kelelahan, dahaga dan lapar.
Nabi saw juga menegaskan bahwa risalah puasa tidak hanya dimaksudkan sekadar menggugurkan kewajiban syariat, namun yang jauh lebih penting dari itu adalah meninggalkan moral hazard dan kejahilan.
Terkait dengan pesan Nabi itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya-ulumuddin, membagi tipologi umat muslim yang berpuasa menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang dikategorikan sebagai orang awam, yaitu kelompok muslim yang menjalankan puasa hanya sebatas manahan lapar, dahaga dan hunbungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Karena di sebut sebagai tipe orang awam, maka puasa seperti itu yang paling banyak dilakukan umat muslim Indonesia.
Sehingga sangat tepat jika Rasulullah menganalogikan seseorang yang tamak (rakus) terhadap harta lebih berbahaya (kerusakannya) ketimbang dua ekor serigala yang menyerang satu ekor kambing.
Misi Puasa
Dengan demikian, perlunya menegakkan kembali misi puasa di bulan Ramadan, untuk menghindarkan diri dari gaya hidup hedon, dan menjauhkan diri dari sikap flexing (pamer barang-barang mewah di media sosial).
Misi utama puasa di bulan Ramadan adalah mewujudkan orang-orang yang berpuasa menjadi pribadi muslim yang bertaqwa. Kata takwa dalam Alquran sering disandingkan dengan kata integritas (kejujuran) dan kebenaran (QS. Al-Ahzab [33]: 70). Islam juga mengajarkan bahwa salah satu karakteristik orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki integritas dan karakter yang kuat (QS. Al-Mu’minun [23]: 8).
Dalam konteks itu, nampaknya puasa bagi bangsa Indonesia belum berfungsi secara optimal untuk bisa mewujudkan “harapan besar” atau yang dalam terminologi Alquran disebut sebagai la’alla yaitu kata yang menunjukkan harapan terwujudnya sesuatu (harf at-tarajji).
Harapan besar itu adalah menjadi orang yang bertakwa (Al-Baqarah [2]: 183). Karena bersifat harapan, maka orang-orang yang berpuasa tidak otomatis bisa mencapai derajat taqwa. Hal ini sangat tergantung pada niat, keimanan dan ihtisab orang-orang yang menjalankan ibadah puasa.
Sekiranyaa puasa dilakukan hanya sekadar sebagai adat kebiasaan dan rutinitas yang bersifat mekanistik, maka puasa tidak akan menemukan makna esensial atau nilai spritual yang diharapkan, kecuali hanya suatu aktivitas fisik yang menghasilkan kelelahan, dahaga dan lapar.
Nabi saw juga menegaskan bahwa risalah puasa tidak hanya dimaksudkan sekadar menggugurkan kewajiban syariat, namun yang jauh lebih penting dari itu adalah meninggalkan moral hazard dan kejahilan.
Terkait dengan pesan Nabi itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya-ulumuddin, membagi tipologi umat muslim yang berpuasa menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang dikategorikan sebagai orang awam, yaitu kelompok muslim yang menjalankan puasa hanya sebatas manahan lapar, dahaga dan hunbungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Karena di sebut sebagai tipe orang awam, maka puasa seperti itu yang paling banyak dilakukan umat muslim Indonesia.
tulis komentar anda