Puasa, Flexing, dan Korupsi
Rabu, 05 April 2023 - 22:01 WIB
Ketamakan
Efek domino kasus penganiayaan tersebut, tampaknya tidak hanya berhenti pada kasus RAT. Namun merambat ke sejumlah pejabat lain di lingkungan Kemenkeu.
Teranyar, sebagaimana pernyataan Mahfud MD (Menko Polhukam), terdapat dugaan transaksi mencurigakan sepanjang 2009 hingga 2023, yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp349 trilun. Angka ini merupakan hasil klarifikasi (koreksi) yang semula disebut Mahfud senilai Rp300 triliun.
Kendati demikian, Mahfud meminta publik tidak berprasangka buruk terhadap Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun tersebut. Sebab, disinyalir dugaan kejahatan yang terjadi merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga melibatkan pihak eksternal Kemenkeu.
Merujuk rentetan informasi tersebut, dan terlepas dari perdebatan apakah uang sebesar itu merupakan pergerakan transaksi korupsi atau bukan? Apakah TPPU termasuk domain tindak pidana korupsi atau bukan?
Namun yang pasti, masyarakat terlanjur dibuat jengah dengan tontonan “pertunjukan sirkus” hedonisme yang dimainkan para oknum pejabat (dan keluarganya) di kementerian dan/atau lembaga negara.
Maraknya keluarga pejabat pamer gaya hidup mewah di laman sosial media, dan menjadi sorotan netizen. Tak pelak, mengundang kecurigaan publik, dan mengaitkannya dengan asal muasal harta kekayaan yang diperoleh pejabat aparat sipil negara (ASN) yang bersangkutan.
Apakah wajar misalnya seorang istri pejabat eselon III di DJP, memamerkan tas dan sepatu seharga miliaran rupiah. Bahkan, ada seorang istri pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, kedapatan pamer anting-anting berlian seharga 2 miliaran rupiah. Seandainya saja gaya hidup mewah pejabat dan/ atau keluarganya ini dianggap wajar, lantaran sesuai dengan profil pendapatan yang didapat seorang pejabat.
Pertanyaannya apakah bergaya hidup seperti itu memenuhi kepatutan/kepantasan sebagai pejabat publik, di tengah ketimpangan ekonomi yang mencolok? Apalagi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari resesi ekonomi akibat krisis kesehatan dua tahun yang lalu.
Justru publiklah yang semestinya dianggap wajar mencurigai gelagat pejabat yang bergaya hidup hedon. Sebab, gaya hidup hedon tidak bisa dilepaskan dari dorongan ketamakan terhadap harta dan kehormatan.
Efek domino kasus penganiayaan tersebut, tampaknya tidak hanya berhenti pada kasus RAT. Namun merambat ke sejumlah pejabat lain di lingkungan Kemenkeu.
Teranyar, sebagaimana pernyataan Mahfud MD (Menko Polhukam), terdapat dugaan transaksi mencurigakan sepanjang 2009 hingga 2023, yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp349 trilun. Angka ini merupakan hasil klarifikasi (koreksi) yang semula disebut Mahfud senilai Rp300 triliun.
Kendati demikian, Mahfud meminta publik tidak berprasangka buruk terhadap Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun tersebut. Sebab, disinyalir dugaan kejahatan yang terjadi merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga melibatkan pihak eksternal Kemenkeu.
Merujuk rentetan informasi tersebut, dan terlepas dari perdebatan apakah uang sebesar itu merupakan pergerakan transaksi korupsi atau bukan? Apakah TPPU termasuk domain tindak pidana korupsi atau bukan?
Namun yang pasti, masyarakat terlanjur dibuat jengah dengan tontonan “pertunjukan sirkus” hedonisme yang dimainkan para oknum pejabat (dan keluarganya) di kementerian dan/atau lembaga negara.
Maraknya keluarga pejabat pamer gaya hidup mewah di laman sosial media, dan menjadi sorotan netizen. Tak pelak, mengundang kecurigaan publik, dan mengaitkannya dengan asal muasal harta kekayaan yang diperoleh pejabat aparat sipil negara (ASN) yang bersangkutan.
Apakah wajar misalnya seorang istri pejabat eselon III di DJP, memamerkan tas dan sepatu seharga miliaran rupiah. Bahkan, ada seorang istri pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, kedapatan pamer anting-anting berlian seharga 2 miliaran rupiah. Seandainya saja gaya hidup mewah pejabat dan/ atau keluarganya ini dianggap wajar, lantaran sesuai dengan profil pendapatan yang didapat seorang pejabat.
Pertanyaannya apakah bergaya hidup seperti itu memenuhi kepatutan/kepantasan sebagai pejabat publik, di tengah ketimpangan ekonomi yang mencolok? Apalagi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari resesi ekonomi akibat krisis kesehatan dua tahun yang lalu.
Justru publiklah yang semestinya dianggap wajar mencurigai gelagat pejabat yang bergaya hidup hedon. Sebab, gaya hidup hedon tidak bisa dilepaskan dari dorongan ketamakan terhadap harta dan kehormatan.
tulis komentar anda