Puasa, Flexing, dan Korupsi
loading...
A
A
A
Imron Rosyadi
Lektor Kepala pada FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
KASUS penganiayaan yang dilakukan MDS terhadap korban D, seolah menjadi kotak Pandora terkuaknya kasus-kasus besar di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sebagaimana diketahui publik, MDS adalah anak pejabat eselon-III di DJP, yang disorot nitizen lantaran kerap memamerkan gaya hidup hedon di sosial media (flexing). Imbasnya, netizen ramai-ramaimengaitkan gaya hidup MDS dengan profil sang ayah, RAT, sebagai pejabat kantor pajak.
RAT pun kini sudah jadi tersangka penerimaan gratifikasi dan sejak Senin (4/04/2023) ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pascapenganiayaan oleh MDS ke korban D, harta kekayaan RAT perlahan terungkap ke publik. Hingga akhirnya diketahui hartanya mencapai Rp56 miliar. Gendutnya harta kekayaan RAT diduga tidak sesuai dengan profil dirinya sebagai pegawai ASN di DJP.
Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi janggal atas nama RAT senilai Rp500 miliar pada 40 rekening yang terafiliasi dengan akun rekening RAT. Buntut kasus tersebut, RAT dipecat sebagai pegawai Kemenkeu berdasarkan temuan tim insvestigasi Inspektorat Jenderal Kemenkeu.
Ketamakan
Efek domino kasus penganiayaan tersebut, tampaknya tidak hanya berhenti pada kasus RAT. Namun merambat ke sejumlah pejabat lain di lingkungan Kemenkeu.
Teranyar, sebagaimana pernyataan Mahfud MD (Menko Polhukam), terdapat dugaan transaksi mencurigakan sepanjang 2009 hingga 2023, yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp349 trilun. Angka ini merupakan hasil klarifikasi (koreksi) yang semula disebut Mahfud senilai Rp300 triliun.
Kendati demikian, Mahfud meminta publik tidak berprasangka buruk terhadap Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun tersebut. Sebab, disinyalir dugaan kejahatan yang terjadi merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga melibatkan pihak eksternal Kemenkeu.
Merujuk rentetan informasi tersebut, dan terlepas dari perdebatan apakah uang sebesar itu merupakan pergerakan transaksi korupsi atau bukan? Apakah TPPU termasuk domain tindak pidana korupsi atau bukan?
Namun yang pasti, masyarakat terlanjur dibuat jengah dengan tontonan “pertunjukan sirkus” hedonisme yang dimainkan para oknum pejabat (dan keluarganya) di kementerian dan/atau lembaga negara.
Maraknya keluarga pejabat pamer gaya hidup mewah di laman sosial media, dan menjadi sorotan netizen. Tak pelak, mengundang kecurigaan publik, dan mengaitkannya dengan asal muasal harta kekayaan yang diperoleh pejabat aparat sipil negara (ASN) yang bersangkutan.
Apakah wajar misalnya seorang istri pejabat eselon III di DJP, memamerkan tas dan sepatu seharga miliaran rupiah. Bahkan, ada seorang istri pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, kedapatan pamer anting-anting berlian seharga 2 miliaran rupiah. Seandainya saja gaya hidup mewah pejabat dan/ atau keluarganya ini dianggap wajar, lantaran sesuai dengan profil pendapatan yang didapat seorang pejabat.
Pertanyaannya apakah bergaya hidup seperti itu memenuhi kepatutan/kepantasan sebagai pejabat publik, di tengah ketimpangan ekonomi yang mencolok? Apalagi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari resesi ekonomi akibat krisis kesehatan dua tahun yang lalu.
Justru publiklah yang semestinya dianggap wajar mencurigai gelagat pejabat yang bergaya hidup hedon. Sebab, gaya hidup hedon tidak bisa dilepaskan dari dorongan ketamakan terhadap harta dan kehormatan.
Sementara itu, ketamakan terhadap harta dan jabatan mendorong seseorang melakukan moral hazard (korupsi dan sejenisnya), dan cenderung menyimpang dari ajaran luhur agamanya.
Sehingga sangat tepat jika Rasulullah menganalogikan seseorang yang tamak (rakus) terhadap harta lebih berbahaya (kerusakannya) ketimbang dua ekor serigala yang menyerang satu ekor kambing.
Misi Puasa
Dengan demikian, perlunya menegakkan kembali misi puasa di bulan Ramadan, untuk menghindarkan diri dari gaya hidup hedon, dan menjauhkan diri dari sikap flexing (pamer barang-barang mewah di media sosial).
Misi utama puasa di bulan Ramadan adalah mewujudkan orang-orang yang berpuasa menjadi pribadi muslim yang bertaqwa. Kata takwa dalam Alquran sering disandingkan dengan kata integritas (kejujuran) dan kebenaran (QS. Al-Ahzab [33]: 70). Islam juga mengajarkan bahwa salah satu karakteristik orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki integritas dan karakter yang kuat (QS. Al-Mu’minun [23]: 8).
Dalam konteks itu, nampaknya puasa bagi bangsa Indonesia belum berfungsi secara optimal untuk bisa mewujudkan “harapan besar” atau yang dalam terminologi Alquran disebut sebagai la’alla yaitu kata yang menunjukkan harapan terwujudnya sesuatu (harf at-tarajji).
Harapan besar itu adalah menjadi orang yang bertakwa (Al-Baqarah [2]: 183). Karena bersifat harapan, maka orang-orang yang berpuasa tidak otomatis bisa mencapai derajat taqwa. Hal ini sangat tergantung pada niat, keimanan dan ihtisab orang-orang yang menjalankan ibadah puasa.
Sekiranyaa puasa dilakukan hanya sekadar sebagai adat kebiasaan dan rutinitas yang bersifat mekanistik, maka puasa tidak akan menemukan makna esensial atau nilai spritual yang diharapkan, kecuali hanya suatu aktivitas fisik yang menghasilkan kelelahan, dahaga dan lapar.
Nabi saw juga menegaskan bahwa risalah puasa tidak hanya dimaksudkan sekadar menggugurkan kewajiban syariat, namun yang jauh lebih penting dari itu adalah meninggalkan moral hazard dan kejahilan.
Terkait dengan pesan Nabi itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya-ulumuddin, membagi tipologi umat muslim yang berpuasa menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang dikategorikan sebagai orang awam, yaitu kelompok muslim yang menjalankan puasa hanya sebatas manahan lapar, dahaga dan hunbungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Karena di sebut sebagai tipe orang awam, maka puasa seperti itu yang paling banyak dilakukan umat muslim Indonesia.
Kedua, umat muslim yang menjalankan puasa tidak hanya sekadar manahan dahaga, haus, dan hubungan suami saja, namun juga berupaya menjaga lisan, mata, telinga, hidung dan anggota tubuh lainya dari segala perbuatan mungkar dan tidak bermanfaat (termasuk korupsi dan flexing).
Ketiga, umat muslim dalam kategori khusus (al-khawwas) yaitu orang orang yang berpuasa, tidak hanya menjaga seluruh anggota tubuh dari kemaksiatan, tetapi juga menjaga keikhlasan menjalankan ibadah puasa, semata-mata didorong keimanan dan ihtisab, dan tidak berpikir sedikitpun yang mengarah kepada pemenuhan materi-keduniaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa puasa yang dijalankan dengan ikhlas dan benar (sesuai dengan kaidah agama), mempunyai korelasi positif dengan integritas seorang muslim, artinya semakin intensif menjalankan puasa, maka integritas (kejujuran, karakter, akhlak) seorang muslim seharunya semakin menguat.
Jika hal ini terjadi, bukan hal yang mustahil Indonesia akan terbebas dari korupsi yang sudah mengakar di setiap lini kehidupan.
Lektor Kepala pada FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
KASUS penganiayaan yang dilakukan MDS terhadap korban D, seolah menjadi kotak Pandora terkuaknya kasus-kasus besar di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sebagaimana diketahui publik, MDS adalah anak pejabat eselon-III di DJP, yang disorot nitizen lantaran kerap memamerkan gaya hidup hedon di sosial media (flexing). Imbasnya, netizen ramai-ramaimengaitkan gaya hidup MDS dengan profil sang ayah, RAT, sebagai pejabat kantor pajak.
RAT pun kini sudah jadi tersangka penerimaan gratifikasi dan sejak Senin (4/04/2023) ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca Juga: koran-sindo.com
Pascapenganiayaan oleh MDS ke korban D, harta kekayaan RAT perlahan terungkap ke publik. Hingga akhirnya diketahui hartanya mencapai Rp56 miliar. Gendutnya harta kekayaan RAT diduga tidak sesuai dengan profil dirinya sebagai pegawai ASN di DJP.
Bahkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi janggal atas nama RAT senilai Rp500 miliar pada 40 rekening yang terafiliasi dengan akun rekening RAT. Buntut kasus tersebut, RAT dipecat sebagai pegawai Kemenkeu berdasarkan temuan tim insvestigasi Inspektorat Jenderal Kemenkeu.
Ketamakan
Efek domino kasus penganiayaan tersebut, tampaknya tidak hanya berhenti pada kasus RAT. Namun merambat ke sejumlah pejabat lain di lingkungan Kemenkeu.
Teranyar, sebagaimana pernyataan Mahfud MD (Menko Polhukam), terdapat dugaan transaksi mencurigakan sepanjang 2009 hingga 2023, yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu senilai Rp349 trilun. Angka ini merupakan hasil klarifikasi (koreksi) yang semula disebut Mahfud senilai Rp300 triliun.
Kendati demikian, Mahfud meminta publik tidak berprasangka buruk terhadap Kemenkeu melakukan korupsi ratusan triliun tersebut. Sebab, disinyalir dugaan kejahatan yang terjadi merupakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga melibatkan pihak eksternal Kemenkeu.
Merujuk rentetan informasi tersebut, dan terlepas dari perdebatan apakah uang sebesar itu merupakan pergerakan transaksi korupsi atau bukan? Apakah TPPU termasuk domain tindak pidana korupsi atau bukan?
Namun yang pasti, masyarakat terlanjur dibuat jengah dengan tontonan “pertunjukan sirkus” hedonisme yang dimainkan para oknum pejabat (dan keluarganya) di kementerian dan/atau lembaga negara.
Maraknya keluarga pejabat pamer gaya hidup mewah di laman sosial media, dan menjadi sorotan netizen. Tak pelak, mengundang kecurigaan publik, dan mengaitkannya dengan asal muasal harta kekayaan yang diperoleh pejabat aparat sipil negara (ASN) yang bersangkutan.
Apakah wajar misalnya seorang istri pejabat eselon III di DJP, memamerkan tas dan sepatu seharga miliaran rupiah. Bahkan, ada seorang istri pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, kedapatan pamer anting-anting berlian seharga 2 miliaran rupiah. Seandainya saja gaya hidup mewah pejabat dan/ atau keluarganya ini dianggap wajar, lantaran sesuai dengan profil pendapatan yang didapat seorang pejabat.
Pertanyaannya apakah bergaya hidup seperti itu memenuhi kepatutan/kepantasan sebagai pejabat publik, di tengah ketimpangan ekonomi yang mencolok? Apalagi, sebagian besar masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari resesi ekonomi akibat krisis kesehatan dua tahun yang lalu.
Justru publiklah yang semestinya dianggap wajar mencurigai gelagat pejabat yang bergaya hidup hedon. Sebab, gaya hidup hedon tidak bisa dilepaskan dari dorongan ketamakan terhadap harta dan kehormatan.
Sementara itu, ketamakan terhadap harta dan jabatan mendorong seseorang melakukan moral hazard (korupsi dan sejenisnya), dan cenderung menyimpang dari ajaran luhur agamanya.
Sehingga sangat tepat jika Rasulullah menganalogikan seseorang yang tamak (rakus) terhadap harta lebih berbahaya (kerusakannya) ketimbang dua ekor serigala yang menyerang satu ekor kambing.
Misi Puasa
Dengan demikian, perlunya menegakkan kembali misi puasa di bulan Ramadan, untuk menghindarkan diri dari gaya hidup hedon, dan menjauhkan diri dari sikap flexing (pamer barang-barang mewah di media sosial).
Misi utama puasa di bulan Ramadan adalah mewujudkan orang-orang yang berpuasa menjadi pribadi muslim yang bertaqwa. Kata takwa dalam Alquran sering disandingkan dengan kata integritas (kejujuran) dan kebenaran (QS. Al-Ahzab [33]: 70). Islam juga mengajarkan bahwa salah satu karakteristik orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang memiliki integritas dan karakter yang kuat (QS. Al-Mu’minun [23]: 8).
Dalam konteks itu, nampaknya puasa bagi bangsa Indonesia belum berfungsi secara optimal untuk bisa mewujudkan “harapan besar” atau yang dalam terminologi Alquran disebut sebagai la’alla yaitu kata yang menunjukkan harapan terwujudnya sesuatu (harf at-tarajji).
Harapan besar itu adalah menjadi orang yang bertakwa (Al-Baqarah [2]: 183). Karena bersifat harapan, maka orang-orang yang berpuasa tidak otomatis bisa mencapai derajat taqwa. Hal ini sangat tergantung pada niat, keimanan dan ihtisab orang-orang yang menjalankan ibadah puasa.
Sekiranyaa puasa dilakukan hanya sekadar sebagai adat kebiasaan dan rutinitas yang bersifat mekanistik, maka puasa tidak akan menemukan makna esensial atau nilai spritual yang diharapkan, kecuali hanya suatu aktivitas fisik yang menghasilkan kelelahan, dahaga dan lapar.
Nabi saw juga menegaskan bahwa risalah puasa tidak hanya dimaksudkan sekadar menggugurkan kewajiban syariat, namun yang jauh lebih penting dari itu adalah meninggalkan moral hazard dan kejahilan.
Terkait dengan pesan Nabi itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya-ulumuddin, membagi tipologi umat muslim yang berpuasa menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang dikategorikan sebagai orang awam, yaitu kelompok muslim yang menjalankan puasa hanya sebatas manahan lapar, dahaga dan hunbungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Karena di sebut sebagai tipe orang awam, maka puasa seperti itu yang paling banyak dilakukan umat muslim Indonesia.
Kedua, umat muslim yang menjalankan puasa tidak hanya sekadar manahan dahaga, haus, dan hubungan suami saja, namun juga berupaya menjaga lisan, mata, telinga, hidung dan anggota tubuh lainya dari segala perbuatan mungkar dan tidak bermanfaat (termasuk korupsi dan flexing).
Ketiga, umat muslim dalam kategori khusus (al-khawwas) yaitu orang orang yang berpuasa, tidak hanya menjaga seluruh anggota tubuh dari kemaksiatan, tetapi juga menjaga keikhlasan menjalankan ibadah puasa, semata-mata didorong keimanan dan ihtisab, dan tidak berpikir sedikitpun yang mengarah kepada pemenuhan materi-keduniaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa puasa yang dijalankan dengan ikhlas dan benar (sesuai dengan kaidah agama), mempunyai korelasi positif dengan integritas seorang muslim, artinya semakin intensif menjalankan puasa, maka integritas (kejujuran, karakter, akhlak) seorang muslim seharunya semakin menguat.
Jika hal ini terjadi, bukan hal yang mustahil Indonesia akan terbebas dari korupsi yang sudah mengakar di setiap lini kehidupan.
(bmm)