Urgensi Pendidikan Followership bagi Polri: Pelajaran Kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan

Senin, 27 Maret 2023 - 03:28 WIB
Iklim kerja untuk mengkritisi pimpinan atau sekedar mempertanyakan keputusan/kebijakan atasan agaknya belum terbangun dengan baik di SDM kepolisian. Skill dan kemampuan dalam bersuara menolak perintah hirarki yang melenceng dari nilai integritas dan moral etika juga nampaknya masih terabaikan. Keberanian untuk melakukan aksi moral dan keberanian untuk speak to the hierarchy ini sebenarnya memiliki model pengajaran khusus yang dapat diukur dan dapat diajarkan, sebagaimana ditulis Chaleff (2009) dalam buku ‘The Courageous Follower’ (edisi ketiga).

Intelligent Disobedient dan Courageous Follower

Pasal 7 ayat 3 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menyatakan dengan jelas bahwa, setiap Anggota Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib: c. menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Namun pada kenyataannya dilapangan implementasi pasal ini jauh panggang dari api. Terbukti pada kasus Sambo dan Kanjuruhan para bawahan terdoktrin untuk selalu mematuhi perintah atasan. Tak peduli melanggar norma atau tidak.

Efektivitas penerapan pasal di atas mestinya dapat diukur menggunakan tools tertentu dan dievaluasi berkala. Kita tentu berharap POLRI sudah melakukannya. Meskipun hasilnya tak selalu harus diumumkan ke publik. Berkaca dari kasus Sambo dan Kanjuruhan, diperlukan kurikulum tambahan sebagai pelengkap dalam pengembangan SDM POLRI. Kurikulum tersebut berupa, (1) Intelligent Disobedient, dan (2) Courageous Follower.

Konsep Intelligent Disobedient (ID) sebenarnya terinspirasi teori yang digunakan dalam pelatihan anjing pemandu (service dog). Anjing pemandu harus mengenali dan menolak perintah yang akan membahayakan manusia yang dipandu -dan juga dirinya sendiri. Ia terlatih mengidentifikasi opsi yang lebih aman untuk memandu mencapai tujuan. Manusia telah diprogram secara sosial untuk menghormati otoritas dan mengikuti perintah. Namun, tidak semua perintah mesti dipatuhi.

ID diperlukan agar bawahan bisa menilai dan mengambil keputusan tentang kapan dan bagaimana harus melanggar perintah yang tidak pantas, mengurangi risiko buruk yang akan terjadi, dan menemukan cara yang lebih baik dalam mencapai goals yang sah. Ini akan membantu para pemimpin tetap konsisten di jalan yang benar sesuai tujuan dan nilai moral yang dijunjung bersama.

Dalam buku ‘Intelligent Disobedience: Doing Right When What You're Told to Do Is Wrong’, pada bab pendahuluan yang menerangkan creating cultures that do the right thing, Chaleff (2015) menjabarkan bahwa ID adalah tentang menemukan keseimbangan yang sehat untuk hidup dalam sistem yang memiliki berbagai aturan dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan (rules and authorities) sembari memelihara tanggungjawab terhadap diri kita atas tindakan/keputusan yang kita ambil.

Konsep ini cocok untuk diterapkan dalam organisasi yang memiliki budaya hirarki dan otoritas yang kuat seperti kepolisian dan militer. Inilah mengapa lembaga kepemimpinan seperti The Centre of excellence for British Army Leader Development sangat merekomendasikan para petinggi militer disana untuk membaca dan menerapkan konsep dalam buku ini.

Dengan menerapkan ID sesuai pemikiran Chaleff diatas, sumber daya Manusia POLRI sedikitnya akan memperoleh pemahaman yang komprehensip untuk menanamkan budaya ‘mengevaluasi instruksi sebelum melaksanakan’ dengan menggunakan 6 garis besar panduan sebagai berikut:

1. Kita harus mengikuti perintah, namun hanya jika perintah itu masuk akal, konstruktif, dan berdasarkan otoritas yang sah.

2. Kita berhak untuk tidak mematuhi perintah yang akan membawa bencana dan malapetaka.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More