Gejolak Konsumsi dan Inflasi Ramadhan
Jum'at, 17 Maret 2023 - 07:41 WIB
Selain itu, nilai transaksi e-commerce juga diprediksi naik seiring kemudahan transaksi dan peningkatan jumlah uang beredar. Artinya, frekuensi transaksi tunai dan nontunai pada bulan puasa dan Lebaran akan naik 3 kali lipat dan ini berpengaruh terhadap perputaran uang sehingga rentan terhadap ancaman inflasi musiman.
Konsistensi
Fakta di atas mengindikasikan inflasi Ramadhan-Lebaran menjadi ancaman terhadap akses harga terutama untuk sembako. Hal ini pada dasarnya terkait dengan ketidakseimbangan demand-supply. Teoretis menyebutkan, ketidakseimbangan berpengaruh terhadap harga. Artinya, jika demand lebih besar dibanding supply maka harga menjadi naik, begitu juga sebaliknya.
Dari teoritis tersebut, pemerintah bisa melakukan berbagai cara mereduksi ketidakseimbangan sehingga harga tidak berfluktuasi, terutama untuk inflasi musiman Ramadhan-Lebaran dan Nataru. Paling tidak, hal ini terlihat dari lonjakan harga sepekan terakhir menjelang Ramadhan.
Realitas menunjukkan bahwa lonjakan harga tersebut akan terus meningkat sampai Lebaran. Imbas dari kasus klasik ini yaitu terjadinya inflasi dan secara tidak langsung berpengaruh pada penurunan daya beli. Artinya, prediksi bahwa April 2023 sebagai inflasi yang tertinggi akan terbukti.
Inflasi musiman Ramadhan-Lebaran jelas berdampak sistemik terhadap masyarakat yang daya belinya melemah, apalagi angka kemiskinan masih menjadi isu sensitif dan kondisi makro ekonomi sedang bergejolak akibat perilaku hedonis yang diperlihatkan sebagian oknum pejabat kementerian dan lembaga yang memicu kecemburuan sosial.
Selain itu, pandemi yang berubah menjadi endemi dan juga pencabutan pembatasan aktivitas warga, termasuk juga mudik yang tidak lagi dilarang pasti akan memacu geliat ekonomi selama bulan puasa hingga Lebaran, apalagi ditambah jumlah uang beredar dan pembayaran THR. Itu semua yang akan memacu perilaku konsumsi dan pasti akan berdampak terhadap ancaman inflasi musiman selama Ramadhan-Lebaran.
Konsistensi
Fakta di atas mengindikasikan inflasi Ramadhan-Lebaran menjadi ancaman terhadap akses harga terutama untuk sembako. Hal ini pada dasarnya terkait dengan ketidakseimbangan demand-supply. Teoretis menyebutkan, ketidakseimbangan berpengaruh terhadap harga. Artinya, jika demand lebih besar dibanding supply maka harga menjadi naik, begitu juga sebaliknya.
Dari teoritis tersebut, pemerintah bisa melakukan berbagai cara mereduksi ketidakseimbangan sehingga harga tidak berfluktuasi, terutama untuk inflasi musiman Ramadhan-Lebaran dan Nataru. Paling tidak, hal ini terlihat dari lonjakan harga sepekan terakhir menjelang Ramadhan.
Realitas menunjukkan bahwa lonjakan harga tersebut akan terus meningkat sampai Lebaran. Imbas dari kasus klasik ini yaitu terjadinya inflasi dan secara tidak langsung berpengaruh pada penurunan daya beli. Artinya, prediksi bahwa April 2023 sebagai inflasi yang tertinggi akan terbukti.
Inflasi musiman Ramadhan-Lebaran jelas berdampak sistemik terhadap masyarakat yang daya belinya melemah, apalagi angka kemiskinan masih menjadi isu sensitif dan kondisi makro ekonomi sedang bergejolak akibat perilaku hedonis yang diperlihatkan sebagian oknum pejabat kementerian dan lembaga yang memicu kecemburuan sosial.
Selain itu, pandemi yang berubah menjadi endemi dan juga pencabutan pembatasan aktivitas warga, termasuk juga mudik yang tidak lagi dilarang pasti akan memacu geliat ekonomi selama bulan puasa hingga Lebaran, apalagi ditambah jumlah uang beredar dan pembayaran THR. Itu semua yang akan memacu perilaku konsumsi dan pasti akan berdampak terhadap ancaman inflasi musiman selama Ramadhan-Lebaran.
(bmm)
tulis komentar anda