Kejutan Pemilu dan Tirani Yudisial
Selasa, 07 Maret 2023 - 10:32 WIB
Melawan Tirani Yudisial
Sebetapa pun tidak setujunya pada Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, tetap harus diakui putusan tersebut adalah putusan yang sah. Selama tetap menjunjung tinggi komitmen negara hukum, maka menghormati putusan pengadilan adalah kewajiban. Betapa pun bentuk putusan pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum (Yovita . Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014).
Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur, setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Sudikno Mertokusumo (2009) terkait asas tersebut menegaskan, bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Karena itu, menolak putusan yang dibuat dengan nuansa tirani yudisial seperti yang digambarkan oleh Alfred M Scott pada satu sisi, namun tetap menghormati putusan pengadilan sesuai dengan kerangka bernegara hukum adalah dengan melakukan upaya hukum lanjutan, yang dalam pranata hukum Indonesia telah disediakan berupa banding dan kasasi. Itu pun harus tetap dikawal dengan mendorong lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial untuk berperan aktif mengawasi hakim agar tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Sebetapa pun tidak setujunya pada Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, tetap harus diakui putusan tersebut adalah putusan yang sah. Selama tetap menjunjung tinggi komitmen negara hukum, maka menghormati putusan pengadilan adalah kewajiban. Betapa pun bentuk putusan pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum (Yovita . Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014).
Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur, setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Sudikno Mertokusumo (2009) terkait asas tersebut menegaskan, bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Karena itu, menolak putusan yang dibuat dengan nuansa tirani yudisial seperti yang digambarkan oleh Alfred M Scott pada satu sisi, namun tetap menghormati putusan pengadilan sesuai dengan kerangka bernegara hukum adalah dengan melakukan upaya hukum lanjutan, yang dalam pranata hukum Indonesia telah disediakan berupa banding dan kasasi. Itu pun harus tetap dikawal dengan mendorong lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial untuk berperan aktif mengawasi hakim agar tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda