Kejutan Pemilu dan Tirani Yudisial
Selasa, 07 Maret 2023 - 10:32 WIB
Sengketa proses merupakan sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun sengketa perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa antara KPU dan peserta pemilu terkait penetapan perolehan suara hasil pemilu.
Penyelesaian sengketa proses secara institusional menjadi ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bawaslu akan menerima permohonan penyelesaian sengketa proses dan melakukan verifikasi atas permohonan tersebut.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Bawaslu yaitu dengan memediasi antarpihak yang bersengketa, kemudian proses adjudikasi hingga diakhiri dengan putusan final dan mengikat, kecuali terkait dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, dan penetapan pasangan calon.
Dalam hal pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan Bawaslu, maka dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Adapun sengketa hasil pemilu, menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Pasal 24C UUD 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kodifikasi hukum pemilu Indonesia telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai penyelesaian sengketa pemilu, baik dari aspek prosedur maupun aspek kelembagaan.
Karena itu, pada konteks perkara gugatan oleh Partai Prima berkaitan dengan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu sebagaimana dalam Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tersebut, telah jelas di luar kompetensi absolut pengadilan negeri, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ajaibnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru menerima gugatan tersebut dengan konsekuensi selain membayar ganti rugi materiil kepada penggugat, juga menghukum tergugat (penyelenggara pemilu) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu sampai 2025.
Putusan tersebut juga menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ini artinya paradigma sengketa tersebut bergeser dari sengketa pemilu menjadi sengketa keperdataan, padahal keduanya berbeda rumpun, sebagaimana juga diungkap Mahfud MD, hukum pemilu bukan hukum perdata.
Paradigma hakim yang memunculkan putusan tersebut mengingatkan kita semua pada kalimat Alfred M Scott, “Hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada dan melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran yudisial dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama dengan kediktatoran” (dalam Bagir Manan, 2014).
Konsekuensinya, alih-alih melakukan terobosan hukum dengan menciptakan putusan progresif, justru melakukan terabasan hukum yang berpotensi besar mereduksi semangat negara hukum dan demokrasi.
Penyelesaian sengketa proses secara institusional menjadi ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bawaslu akan menerima permohonan penyelesaian sengketa proses dan melakukan verifikasi atas permohonan tersebut.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Bawaslu yaitu dengan memediasi antarpihak yang bersengketa, kemudian proses adjudikasi hingga diakhiri dengan putusan final dan mengikat, kecuali terkait dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, dan penetapan pasangan calon.
Dalam hal pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan Bawaslu, maka dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Adapun sengketa hasil pemilu, menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Pasal 24C UUD 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kodifikasi hukum pemilu Indonesia telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai penyelesaian sengketa pemilu, baik dari aspek prosedur maupun aspek kelembagaan.
Karena itu, pada konteks perkara gugatan oleh Partai Prima berkaitan dengan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu sebagaimana dalam Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tersebut, telah jelas di luar kompetensi absolut pengadilan negeri, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ajaibnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru menerima gugatan tersebut dengan konsekuensi selain membayar ganti rugi materiil kepada penggugat, juga menghukum tergugat (penyelenggara pemilu) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu sampai 2025.
Putusan tersebut juga menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ini artinya paradigma sengketa tersebut bergeser dari sengketa pemilu menjadi sengketa keperdataan, padahal keduanya berbeda rumpun, sebagaimana juga diungkap Mahfud MD, hukum pemilu bukan hukum perdata.
Paradigma hakim yang memunculkan putusan tersebut mengingatkan kita semua pada kalimat Alfred M Scott, “Hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada dan melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran yudisial dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama dengan kediktatoran” (dalam Bagir Manan, 2014).
Konsekuensinya, alih-alih melakukan terobosan hukum dengan menciptakan putusan progresif, justru melakukan terabasan hukum yang berpotensi besar mereduksi semangat negara hukum dan demokrasi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda