Kejutan Pemilu dan Tirani Yudisial
loading...
A
A
A
Agus Maulidi
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
BARU beberapa hari lalu Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah acara di televisi nasional secara tegas meyakinkan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan terlaksana sesuai jadwal yang ditentukan dengan segala persiapan yang langsung dikomandoi oleh Presiden. Sekarang kita kembali dikejutkan dengan topik penundaan pemilu. Kejutan ini terbilang sangat spesial karena ditopang setidaknya tiga alasan.
Pertama, penundaan pemilu ini tidak lagi hanya sebatas isu atau desas-desus, tetapi telah berwujud menjadi instrumen hukum karena beralaskan putusan pengadilan yang dikeluarkan secara sah (Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst).
Baca Juga: koran-sindo.com
Memang putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), karena dapat dilakukan upaya hukum lanjutan berupa banding, namun bahkan dalam amarnya ditegaskan bahwa putusan dapat dijalankan terlebih dulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorrad).
Kedua, bila sebelumnya isu penundaan pemilu ini muncul dan digulirkan oleh aktor politik, baik mereka yang berada di lingkaran kabinet maupun dari partai politik, tentu sangat wajar mengingat pemilu merupakan “arena” para politisi. Pemilu merupakan puncak pertarungan para politisi dalam rangka menentukan siapa yang mendapatkan mandat rakyat untuk menduduki jabatan publik.
Kali ini kejutan tentang penundaan pemilu ini datang dari lembaga peradilan umum tingkat pertama. Hampir dapat dipastikan, tidak ada yang menduga hal ini, mengingat kompetensi absolut pengadilan negeri yang berkaitan dengan jadwal dan tahapan penyelenggaraan pemilu yang terlalu jauh.
Ketiga, anomali Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, yang amarnya berimplikasi pada penundaan pemilu hingga 2025 tersebut. Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum membagi menjadi dua jenis, yaitu sengketa proses dan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum.
Sengketa proses merupakan sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun sengketa perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa antara KPU dan peserta pemilu terkait penetapan perolehan suara hasil pemilu.
Penyelesaian sengketa proses secara institusional menjadi ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bawaslu akan menerima permohonan penyelesaian sengketa proses dan melakukan verifikasi atas permohonan tersebut.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Bawaslu yaitu dengan memediasi antarpihak yang bersengketa, kemudian proses adjudikasi hingga diakhiri dengan putusan final dan mengikat, kecuali terkait dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, dan penetapan pasangan calon.
Dalam hal pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan Bawaslu, maka dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Adapun sengketa hasil pemilu, menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Pasal 24C UUD 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kodifikasi hukum pemilu Indonesia telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai penyelesaian sengketa pemilu, baik dari aspek prosedur maupun aspek kelembagaan.
Karena itu, pada konteks perkara gugatan oleh Partai Prima berkaitan dengan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu sebagaimana dalam Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tersebut, telah jelas di luar kompetensi absolut pengadilan negeri, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ajaibnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru menerima gugatan tersebut dengan konsekuensi selain membayar ganti rugi materiil kepada penggugat, juga menghukum tergugat (penyelenggara pemilu) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu sampai 2025.
Putusan tersebut juga menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ini artinya paradigma sengketa tersebut bergeser dari sengketa pemilu menjadi sengketa keperdataan, padahal keduanya berbeda rumpun, sebagaimana juga diungkap Mahfud MD, hukum pemilu bukan hukum perdata.
Paradigma hakim yang memunculkan putusan tersebut mengingatkan kita semua pada kalimat Alfred M Scott, “Hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada dan melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran yudisial dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama dengan kediktatoran” (dalam Bagir Manan, 2014).
Konsekuensinya, alih-alih melakukan terobosan hukum dengan menciptakan putusan progresif, justru melakukan terabasan hukum yang berpotensi besar mereduksi semangat negara hukum dan demokrasi.
Melawan Tirani Yudisial
Sebetapa pun tidak setujunya pada Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, tetap harus diakui putusan tersebut adalah putusan yang sah. Selama tetap menjunjung tinggi komitmen negara hukum, maka menghormati putusan pengadilan adalah kewajiban. Betapa pun bentuk putusan pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum (Yovita . Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014).
Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur, setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Sudikno Mertokusumo (2009) terkait asas tersebut menegaskan, bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Karena itu, menolak putusan yang dibuat dengan nuansa tirani yudisial seperti yang digambarkan oleh Alfred M Scott pada satu sisi, namun tetap menghormati putusan pengadilan sesuai dengan kerangka bernegara hukum adalah dengan melakukan upaya hukum lanjutan, yang dalam pranata hukum Indonesia telah disediakan berupa banding dan kasasi. Itu pun harus tetap dikawal dengan mendorong lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial untuk berperan aktif mengawasi hakim agar tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
BARU beberapa hari lalu Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah acara di televisi nasional secara tegas meyakinkan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan terlaksana sesuai jadwal yang ditentukan dengan segala persiapan yang langsung dikomandoi oleh Presiden. Sekarang kita kembali dikejutkan dengan topik penundaan pemilu. Kejutan ini terbilang sangat spesial karena ditopang setidaknya tiga alasan.
Pertama, penundaan pemilu ini tidak lagi hanya sebatas isu atau desas-desus, tetapi telah berwujud menjadi instrumen hukum karena beralaskan putusan pengadilan yang dikeluarkan secara sah (Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst).
Baca Juga: koran-sindo.com
Memang putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), karena dapat dilakukan upaya hukum lanjutan berupa banding, namun bahkan dalam amarnya ditegaskan bahwa putusan dapat dijalankan terlebih dulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorrad).
Kedua, bila sebelumnya isu penundaan pemilu ini muncul dan digulirkan oleh aktor politik, baik mereka yang berada di lingkaran kabinet maupun dari partai politik, tentu sangat wajar mengingat pemilu merupakan “arena” para politisi. Pemilu merupakan puncak pertarungan para politisi dalam rangka menentukan siapa yang mendapatkan mandat rakyat untuk menduduki jabatan publik.
Kali ini kejutan tentang penundaan pemilu ini datang dari lembaga peradilan umum tingkat pertama. Hampir dapat dipastikan, tidak ada yang menduga hal ini, mengingat kompetensi absolut pengadilan negeri yang berkaitan dengan jadwal dan tahapan penyelenggaraan pemilu yang terlalu jauh.
Ketiga, anomali Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, yang amarnya berimplikasi pada penundaan pemilu hingga 2025 tersebut. Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum membagi menjadi dua jenis, yaitu sengketa proses dan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum.
Sengketa proses merupakan sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun sengketa perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa antara KPU dan peserta pemilu terkait penetapan perolehan suara hasil pemilu.
Penyelesaian sengketa proses secara institusional menjadi ranah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bawaslu akan menerima permohonan penyelesaian sengketa proses dan melakukan verifikasi atas permohonan tersebut.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Bawaslu yaitu dengan memediasi antarpihak yang bersengketa, kemudian proses adjudikasi hingga diakhiri dengan putusan final dan mengikat, kecuali terkait dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap, dan penetapan pasangan calon.
Dalam hal pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan Bawaslu, maka dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Adapun sengketa hasil pemilu, menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat Pasal 24C UUD 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kodifikasi hukum pemilu Indonesia telah secara jelas dan tegas mengatur mengenai penyelesaian sengketa pemilu, baik dari aspek prosedur maupun aspek kelembagaan.
Karena itu, pada konteks perkara gugatan oleh Partai Prima berkaitan dengan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu sebagaimana dalam Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst tersebut, telah jelas di luar kompetensi absolut pengadilan negeri, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ajaibnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru menerima gugatan tersebut dengan konsekuensi selain membayar ganti rugi materiil kepada penggugat, juga menghukum tergugat (penyelenggara pemilu) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu sampai 2025.
Putusan tersebut juga menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ini artinya paradigma sengketa tersebut bergeser dari sengketa pemilu menjadi sengketa keperdataan, padahal keduanya berbeda rumpun, sebagaimana juga diungkap Mahfud MD, hukum pemilu bukan hukum perdata.
Paradigma hakim yang memunculkan putusan tersebut mengingatkan kita semua pada kalimat Alfred M Scott, “Hakim yang menyimpang dan menolak mengikuti hukum yang ada dan melakukan improvisasi serta menetapkan hukum menurut kemauannya sendiri adalah perampasan kekuasaan yang secara hukum bukan kekuasaannya, dia adalah seorang tirani yang menjalankan kediktatoran yudisial dan sadar atau tidak (hakim tersebut) mengubah tatanan bernegara dari pemerintahan berdasarkan hukum menjadi pemerintahan oleh orang perorangan dan pemerintahan oleh orang perorangan sama dengan kediktatoran” (dalam Bagir Manan, 2014).
Konsekuensinya, alih-alih melakukan terobosan hukum dengan menciptakan putusan progresif, justru melakukan terabasan hukum yang berpotensi besar mereduksi semangat negara hukum dan demokrasi.
Melawan Tirani Yudisial
Sebetapa pun tidak setujunya pada Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt Pst, tetap harus diakui putusan tersebut adalah putusan yang sah. Selama tetap menjunjung tinggi komitmen negara hukum, maka menghormati putusan pengadilan adalah kewajiban. Betapa pun bentuk putusan pengadilan itu meragukan bahkan dipandang tidak adil sekalipun, ketaatan tetap harus diutamakan, karena hal demikian yang merupakan esensi dan prasyarat utama kesepakatan bernegara yang berdasarkan hukum (Yovita . Mangesti dan Bernard L Tanya, 2014).
Asas hukum menegaskan res judicata proveri tate habetur, setiap putusan hakim adalah sah dan mengikat, kecuali apabila dibatalkan oleh putusan yang lebih tinggi. Sudikno Mertokusumo (2009) terkait asas tersebut menegaskan, bahkan apabila diajukan saksi palsu dan hakim memutus suatu perkara berdasarkan saksi palsu tersebut, maka jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian dan fakta yang sebenarnya, namun putusan tersebut tetap harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Karena itu, menolak putusan yang dibuat dengan nuansa tirani yudisial seperti yang digambarkan oleh Alfred M Scott pada satu sisi, namun tetap menghormati putusan pengadilan sesuai dengan kerangka bernegara hukum adalah dengan melakukan upaya hukum lanjutan, yang dalam pranata hukum Indonesia telah disediakan berupa banding dan kasasi. Itu pun harus tetap dikawal dengan mendorong lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial untuk berperan aktif mengawasi hakim agar tetap menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
(bmm)