Etika dan Kode Etik Perfilman
Senin, 06 Maret 2023 - 09:43 WIB
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka akan lebih mudah bagi tim penyusun untuk membuat kode etik tersebut. Selama ini, seperti kita ketahui bersama, setiap kode etik diperuntukkan bagi satu bidang profesi. Misalnya, kode etik KPK, Kode Etik Notaris, Kode Etik Jaksa, Kode Etik Hakim, Kode Etik Advokat, dan seterusnya.
Lalu, apakah mungkin membuat kode etik perfilman yang ditujukan untuk semua “organisasi perfilman” yang berada “di bawah” BPI itu? Mungkin saja, meski tentu isi dan redaksionalnya akan berbeda dibanding dengan membuat kode etik untuk tiap-tiap organisasi.
Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya juga dipahami dulu apa yang dimaksud dengan etika, kode etik, profesi, kode etik profesi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kode Etik berarti norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Adapun kata “etika” sendiri berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini, etika berarti kebiasaan hidup yang baik kepada diri sendiri atau lingkungannya. Maka etika berisi nilai-nilai, tata cara hidup, aturan hidup yang baik, dan seterusnya.
Dalam pengertian itu, etika sama dengan “moral” (bahasa Latin “mos”, jamaknya “mores”, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan). Jadi, etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik yang diwujudkan dalam bentuk kebiasaan dan perilaku yang ajek atau berulang. Kata “moral” memang selalu mengacu pada baik-buruknya seseorang sebagai manusia.
Selain itu, etika juga dimengerti sebagai filsafat moral atau ilmu yang membahas atau mengkaji nilai-nilai dan norma moral. Di sini etika tidak memberi perintah konkret, tapi menghasilkan orientasi. Jadi etika dimengerti sebagai cabang filsafat yang menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai-nilai dan norma moral dengan segala permasalahannya. Maka etika adalah refleksi kritis mengenai nilai dan moral. Ia adalah ilmu. Bukan ajaran.
Dalam dunia filsafat dikenal beberapa jenis atau teori etika. Dua di antaranya adalah Etika Dentologis dan Etika Teleologis. Kata deotologis berasal dari bahaya Yunani “deon” yang berarti kewajiban. Etika ini menekankan kewajiban untuk bertindak baik. Suatu tindakan itu baik bukan atau tidak dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya. “Jangan mencuri”; “Janji harus ditepati”, dan seterusnya.
Jadi ia menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat. Menurut Immanuel Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan baik tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Sedangkan (etika) teleologis berasal dari bahasa Yunani “telos” yang berarti tujuan. Etika ini mengukur baik buruknya tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau akibat yang ditimbulkan. Etika ini lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Problemnya: Bagaimana menilai tujuan atau akibat dari tindakan itu? Tujuan dan akibat baik itu untuk siapa? Pribadi yang melakukannya atau orang banyak? Etika ini memunculkan dua aliran, yakni egoisme etis (kepentingan pribadi) dan utilitarianisme (manfaat sebanyak mungkin orang).
Lalu, apakah mungkin membuat kode etik perfilman yang ditujukan untuk semua “organisasi perfilman” yang berada “di bawah” BPI itu? Mungkin saja, meski tentu isi dan redaksionalnya akan berbeda dibanding dengan membuat kode etik untuk tiap-tiap organisasi.
Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya juga dipahami dulu apa yang dimaksud dengan etika, kode etik, profesi, kode etik profesi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kode Etik berarti norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Adapun kata “etika” sendiri berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini, etika berarti kebiasaan hidup yang baik kepada diri sendiri atau lingkungannya. Maka etika berisi nilai-nilai, tata cara hidup, aturan hidup yang baik, dan seterusnya.
Dalam pengertian itu, etika sama dengan “moral” (bahasa Latin “mos”, jamaknya “mores”, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan). Jadi, etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik yang diwujudkan dalam bentuk kebiasaan dan perilaku yang ajek atau berulang. Kata “moral” memang selalu mengacu pada baik-buruknya seseorang sebagai manusia.
Selain itu, etika juga dimengerti sebagai filsafat moral atau ilmu yang membahas atau mengkaji nilai-nilai dan norma moral. Di sini etika tidak memberi perintah konkret, tapi menghasilkan orientasi. Jadi etika dimengerti sebagai cabang filsafat yang menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai-nilai dan norma moral dengan segala permasalahannya. Maka etika adalah refleksi kritis mengenai nilai dan moral. Ia adalah ilmu. Bukan ajaran.
Dalam dunia filsafat dikenal beberapa jenis atau teori etika. Dua di antaranya adalah Etika Dentologis dan Etika Teleologis. Kata deotologis berasal dari bahaya Yunani “deon” yang berarti kewajiban. Etika ini menekankan kewajiban untuk bertindak baik. Suatu tindakan itu baik bukan atau tidak dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya. “Jangan mencuri”; “Janji harus ditepati”, dan seterusnya.
Jadi ia menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat. Menurut Immanuel Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan baik tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan juga yang dijalankan demi kewajiban.
Sedangkan (etika) teleologis berasal dari bahasa Yunani “telos” yang berarti tujuan. Etika ini mengukur baik buruknya tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu atau akibat yang ditimbulkan. Etika ini lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
Problemnya: Bagaimana menilai tujuan atau akibat dari tindakan itu? Tujuan dan akibat baik itu untuk siapa? Pribadi yang melakukannya atau orang banyak? Etika ini memunculkan dua aliran, yakni egoisme etis (kepentingan pribadi) dan utilitarianisme (manfaat sebanyak mungkin orang).
tulis komentar anda