Menggugat Hak Warga Berjalan Kaki
Senin, 23 Januari 2023 - 08:38 WIB
Berjalan kaki memang bukanlah solusi atas berbagai masalah perkotaan. Tetapi, bisa menjadi alternatif utama dan argumentatif terhadap persoalan laten kota seperti kesehatan lingkungan yang berdampak langsung pada warga kota.
Kota-kota dunia sejak satu dekade terakhir mendorong agar pengembangan kota harus menggarisbawahi ramah lingkungan, sebagaimana upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang digaungkan pada 2015 dan Agenda Baru Perkotaan (NUA) pada 2016. Menariknya berjalan kaki sebagai alat mobilitas nonmotor menjadi salah satu catatan penting pada narasi tersebut agar terwujudnya kota sehat,green public space, aman, nyaman dan inklusif.
Lalu bagaimana implementasinya pada kota-kota di Indonesia? Dalam tataran kebijakan, ketersediaan prasarana antara lain trotoar, tempat penyeberangan berserta fasilitas pendukungnya adalah hak pejalan kaki. Pemerintah wajib menyediakannnya pada setiap pengembangan fasilitas jalan (UU Penataan Ruang dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Merujukan kebijaksanaan ini, maka prasarana pejalan kaki dan sarana transportasi berbasis motor harus ditempatkan setara. Jika kendaraan roda dua dan roda empat terus mendapatkan perhatian dengan memperpanjang dan memperlebar jalur dan lajurnya, maka sudah selayaknya sarana pejalan kaki memperoleh kuantitas dan kualitas mumpuni.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
Kota-kota dunia sejak satu dekade terakhir mendorong agar pengembangan kota harus menggarisbawahi ramah lingkungan, sebagaimana upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang digaungkan pada 2015 dan Agenda Baru Perkotaan (NUA) pada 2016. Menariknya berjalan kaki sebagai alat mobilitas nonmotor menjadi salah satu catatan penting pada narasi tersebut agar terwujudnya kota sehat,green public space, aman, nyaman dan inklusif.
Lalu bagaimana implementasinya pada kota-kota di Indonesia? Dalam tataran kebijakan, ketersediaan prasarana antara lain trotoar, tempat penyeberangan berserta fasilitas pendukungnya adalah hak pejalan kaki. Pemerintah wajib menyediakannnya pada setiap pengembangan fasilitas jalan (UU Penataan Ruang dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Merujukan kebijaksanaan ini, maka prasarana pejalan kaki dan sarana transportasi berbasis motor harus ditempatkan setara. Jika kendaraan roda dua dan roda empat terus mendapatkan perhatian dengan memperpanjang dan memperlebar jalur dan lajurnya, maka sudah selayaknya sarana pejalan kaki memperoleh kuantitas dan kualitas mumpuni.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
tulis komentar anda