Menggugat Hak Warga Berjalan Kaki
loading...
A
A
A
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta
Peringatan Hari Pejalan Kaki Nasional yang ke-11 pada tahun ini menyiratkan beragam makna dan syarat pesan. Makna dan pesan itu bukan semata pada memberi perhatian lebih terhadap pejalan kaki, tetapi juga ajakan transformasi gaya hidup penggunaan kendaraan bermotor menuju berjalan kaki.
Peringatan hari berjalan kaki semakin menggaung tatkala hasil riset Stanford University pada 111 negara pada 2017 lalu menunjukkan penduduk Indonesia paling malas berjalan kaki. Kita, orang Indonesia berjalan kaki rata-rata hanya 3.513 langkah per hari, hanya separuh dari standar minimal Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 7.000-7.500 langkah kaki per hari.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan keranjingan penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun, baik dari segi jumlah, maupun intensitas penggunaan kendaraan bermotor.
Tentu saja, riset Stanford University bukan untuk mengurutkan negara malas berjalan kaki. Relevansinya jelas perihal faktor kesehatan kota (healthy city), emisi karbon dan banyak lainnya. Kesemuanya berkelindan dengan upaya penyediaan prasarana pejalan kaki (trotoar).
Dalam konteks kesehatan, perilaku malas berjalan kaki memicu dampak lanjutan berupa obesitas. Hal ini diafirmasi oleh data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Tahun 2016 bahwa penduduk berusia 18 tahun ke atas mengalami kegemukan atau obesitas sebanyak 40 juta orang lebih atau 20,7%. Terjadi peningkatan tajam dari 15,4% pada 2013. Setiap jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor berisiko meningkatkan 6% kegemukan, sebaliknya berjalan kaki menurunkan kegemukan sebanyak 4,8% pada setiap kilometer berjalan kaki (U.S. Department of Housing and Urban Development).
Adapun pada emisi karbon, ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi serius pada emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kendaraan bermotor yang berjumlah 146 juta unit pada 2019 lalu menyumbang 70-80% emisi perkotaan. Bisa dibayangkan efek berganda atas situasi atas terhadap aspek kesehatan lingkungan kota.
Berjalan kaki memang bukanlah solusi atas berbagai masalah perkotaan. Tetapi, bisa menjadi alternatif utama dan argumentatif terhadap persoalan laten kota seperti kesehatan lingkungan yang berdampak langsung pada warga kota.
Kota-kota dunia sejak satu dekade terakhir mendorong agar pengembangan kota harus menggarisbawahi ramah lingkungan, sebagaimana upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang digaungkan pada 2015 dan Agenda Baru Perkotaan (NUA) pada 2016. Menariknya berjalan kaki sebagai alat mobilitas nonmotor menjadi salah satu catatan penting pada narasi tersebut agar terwujudnya kota sehat,green public space, aman, nyaman dan inklusif.
Lalu bagaimana implementasinya pada kota-kota di Indonesia? Dalam tataran kebijakan, ketersediaan prasarana antara lain trotoar, tempat penyeberangan berserta fasilitas pendukungnya adalah hak pejalan kaki. Pemerintah wajib menyediakannnya pada setiap pengembangan fasilitas jalan (UU Penataan Ruang dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Merujukan kebijaksanaan ini, maka prasarana pejalan kaki dan sarana transportasi berbasis motor harus ditempatkan setara. Jika kendaraan roda dua dan roda empat terus mendapatkan perhatian dengan memperpanjang dan memperlebar jalur dan lajurnya, maka sudah selayaknya sarana pejalan kaki memperoleh kuantitas dan kualitas mumpuni.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
Adapun yang lebih memprihatinkan adalah pencaplokan trotoar oleh pengendara. Sehingga pejalan kaki harus bersusah payah melintas diantara kendaraan yang melintas ataupun sekadar parkir. Kondisi ini kerap kita saksikan pada area sekitar pusat keramaian. Kondisi ini terus terjadi meski mendapat perlawanan dari individu dan komunitas pejalan kaki.
Kedua, perebutan ruang antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Data Koalisi Pejalan Kaki, per 2021, hampir 90% trotoar DKI Jakarta terpakai PKL, termasuk parkir liar. Bagi PKL, alasan biaya sewa fasilitas perdagangan serta mendekati konsumen seakan lumrah menempati trotoar sebagai lapak berjualan.
Acapkali lapaknya mengokupasi badan trotoar hingga tak setapak pun tersisa untuk pejalan kaki. Satu-satunya pilihan bagi pejalan kaki adalah memanfaatkan badan jalan meski berhadapan dengan risiko tinggi.
Alasan pemanfaatan trotoar untuk kegiatan menyimpang bukanlah menjadi pembenaran, bahkan harus ditertibkan sekaligus diberikan solusi komprehensif. Upaya penertiban yang dilakukan pemerintah kota-kota di Indonesia sejauh ini patut mendapat apresiasi.
Tetapi, jalan keluar penertiban sebagai upaya rehabilitasi jalur pedestrian harus diikuti aksi preventif menyeluruh.
Pemerintah dan elemen masyarakat sama-sama sebagai subjek dan objek penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pejalan yang berkualitas. Catatan Walk21, sebuah Lembaga nonpemerintah pemerhati pejalan kaki dapat menjadi rujukan menarik untuk ditindaklanjuti. Bahwa untuk bertransformasi sebagai kota ramah pejalan kaki, maka pemerintah harus mempunyai rencana aksi yang jelas dan terukur mengenai pengembangan fasilitas pejalan kaki pada masa mendatang, setidaknya 20 tahun.
Adapun rencana aksi ini terjawantahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang tentunya memberi ruang besar bagi pejalan kaki dan disertai model perancangan dan pengelolaan fasilitas pejalan kaki yang baik dan menarik.
Tak kalah penting sebelum menuju pada fase ini adalah adanya keterpaduan fungsi kegiatan dan jaringan transportasi publik agar tercipta efisiensi mobilitas warga kota dari atau menuju tempat berbeda dengan berjalan kaki. Singapura mempunyai keunggulan aaspek ini, tak heran banyak memilih berjalan kaki.
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta
Peringatan Hari Pejalan Kaki Nasional yang ke-11 pada tahun ini menyiratkan beragam makna dan syarat pesan. Makna dan pesan itu bukan semata pada memberi perhatian lebih terhadap pejalan kaki, tetapi juga ajakan transformasi gaya hidup penggunaan kendaraan bermotor menuju berjalan kaki.
Peringatan hari berjalan kaki semakin menggaung tatkala hasil riset Stanford University pada 111 negara pada 2017 lalu menunjukkan penduduk Indonesia paling malas berjalan kaki. Kita, orang Indonesia berjalan kaki rata-rata hanya 3.513 langkah per hari, hanya separuh dari standar minimal Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 7.000-7.500 langkah kaki per hari.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan keranjingan penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun, baik dari segi jumlah, maupun intensitas penggunaan kendaraan bermotor.
Tentu saja, riset Stanford University bukan untuk mengurutkan negara malas berjalan kaki. Relevansinya jelas perihal faktor kesehatan kota (healthy city), emisi karbon dan banyak lainnya. Kesemuanya berkelindan dengan upaya penyediaan prasarana pejalan kaki (trotoar).
Dalam konteks kesehatan, perilaku malas berjalan kaki memicu dampak lanjutan berupa obesitas. Hal ini diafirmasi oleh data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Tahun 2016 bahwa penduduk berusia 18 tahun ke atas mengalami kegemukan atau obesitas sebanyak 40 juta orang lebih atau 20,7%. Terjadi peningkatan tajam dari 15,4% pada 2013. Setiap jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor berisiko meningkatkan 6% kegemukan, sebaliknya berjalan kaki menurunkan kegemukan sebanyak 4,8% pada setiap kilometer berjalan kaki (U.S. Department of Housing and Urban Development).
Adapun pada emisi karbon, ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi serius pada emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kendaraan bermotor yang berjumlah 146 juta unit pada 2019 lalu menyumbang 70-80% emisi perkotaan. Bisa dibayangkan efek berganda atas situasi atas terhadap aspek kesehatan lingkungan kota.
Berjalan kaki memang bukanlah solusi atas berbagai masalah perkotaan. Tetapi, bisa menjadi alternatif utama dan argumentatif terhadap persoalan laten kota seperti kesehatan lingkungan yang berdampak langsung pada warga kota.
Kota-kota dunia sejak satu dekade terakhir mendorong agar pengembangan kota harus menggarisbawahi ramah lingkungan, sebagaimana upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang digaungkan pada 2015 dan Agenda Baru Perkotaan (NUA) pada 2016. Menariknya berjalan kaki sebagai alat mobilitas nonmotor menjadi salah satu catatan penting pada narasi tersebut agar terwujudnya kota sehat,green public space, aman, nyaman dan inklusif.
Lalu bagaimana implementasinya pada kota-kota di Indonesia? Dalam tataran kebijakan, ketersediaan prasarana antara lain trotoar, tempat penyeberangan berserta fasilitas pendukungnya adalah hak pejalan kaki. Pemerintah wajib menyediakannnya pada setiap pengembangan fasilitas jalan (UU Penataan Ruang dan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Merujukan kebijaksanaan ini, maka prasarana pejalan kaki dan sarana transportasi berbasis motor harus ditempatkan setara. Jika kendaraan roda dua dan roda empat terus mendapatkan perhatian dengan memperpanjang dan memperlebar jalur dan lajurnya, maka sudah selayaknya sarana pejalan kaki memperoleh kuantitas dan kualitas mumpuni.
Sayangnya, titah pemerintah tersebut belum disambut maksimal. Pokok persoalan terletak pada aspek konseptual pembangunan kota dan aspek teknis pemanfaatan fasilitas pejalan kaki. Faktor konseptual pertama yakni pembangunan kota tanpa proses merencana dan kendali yang komprehensif.
Awal mula tumbuh kembang kota-kota di Indonesia pada umumnya berjalan secara natural. Pembangunan tempat tinggal atau area kegiatan lainnya dikendalikan masyarakat dan pasar. Alhasil, pembangunan prasarana jalan tanpa memperhitungkan beragam komponen termasuk fasilitas pejalan kaki.
Kedua, disintegrasi fungsi kawasan sebagai rentetan dari pembangunan kota tanpa perencanaan. Letak antarpusat kegiatan berjauhan, sehingga minim keterhubungan fungsi antar tempat. Disintegrasi ini membuat warga kota menggunakan kendaraan bermotor untuk berpindah ke tempat kegiatan berbeda.
Ketiga, gaung mengenai urgensi fasilitas pejalan kaki di Indonesia muncul beberapa dekade terakhir. Pada periode sebelumnya, pengembangan prasarana jalan masih cenderung memprioritaskan pengguna kendaraan bermotor. Sehingga, upaya pembangunan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas baik dikemudian hari berhadapan dengan masalah keterbatasan ruang milik jalan.
Selain persoalan konseptual, beberapa catatan pelik pejalan kaki menyangkut aspek teknis pemanfaatan ruang jalan.
Pertama perebutan ruang antara pengendara dan pejalan kaki. Pada jalan raya yang belum dilengkapi fasilitas pejalan kaki atau trotoar rusak tak ayal membuat pejalan kaki harus beradu kecepatan memanfaatkan badan jalan. Jakarta sebagai barometer kota-kota di Indonesia misalnya, hanya memiliki 545.073,65 meter (8%) trotoar dari 6.652.679 meter panjang jalan.
Adapun yang lebih memprihatinkan adalah pencaplokan trotoar oleh pengendara. Sehingga pejalan kaki harus bersusah payah melintas diantara kendaraan yang melintas ataupun sekadar parkir. Kondisi ini kerap kita saksikan pada area sekitar pusat keramaian. Kondisi ini terus terjadi meski mendapat perlawanan dari individu dan komunitas pejalan kaki.
Kedua, perebutan ruang antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL). Data Koalisi Pejalan Kaki, per 2021, hampir 90% trotoar DKI Jakarta terpakai PKL, termasuk parkir liar. Bagi PKL, alasan biaya sewa fasilitas perdagangan serta mendekati konsumen seakan lumrah menempati trotoar sebagai lapak berjualan.
Acapkali lapaknya mengokupasi badan trotoar hingga tak setapak pun tersisa untuk pejalan kaki. Satu-satunya pilihan bagi pejalan kaki adalah memanfaatkan badan jalan meski berhadapan dengan risiko tinggi.
Alasan pemanfaatan trotoar untuk kegiatan menyimpang bukanlah menjadi pembenaran, bahkan harus ditertibkan sekaligus diberikan solusi komprehensif. Upaya penertiban yang dilakukan pemerintah kota-kota di Indonesia sejauh ini patut mendapat apresiasi.
Tetapi, jalan keluar penertiban sebagai upaya rehabilitasi jalur pedestrian harus diikuti aksi preventif menyeluruh.
Pemerintah dan elemen masyarakat sama-sama sebagai subjek dan objek penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pejalan yang berkualitas. Catatan Walk21, sebuah Lembaga nonpemerintah pemerhati pejalan kaki dapat menjadi rujukan menarik untuk ditindaklanjuti. Bahwa untuk bertransformasi sebagai kota ramah pejalan kaki, maka pemerintah harus mempunyai rencana aksi yang jelas dan terukur mengenai pengembangan fasilitas pejalan kaki pada masa mendatang, setidaknya 20 tahun.
Adapun rencana aksi ini terjawantahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota yang tentunya memberi ruang besar bagi pejalan kaki dan disertai model perancangan dan pengelolaan fasilitas pejalan kaki yang baik dan menarik.
Tak kalah penting sebelum menuju pada fase ini adalah adanya keterpaduan fungsi kegiatan dan jaringan transportasi publik agar tercipta efisiensi mobilitas warga kota dari atau menuju tempat berbeda dengan berjalan kaki. Singapura mempunyai keunggulan aaspek ini, tak heran banyak memilih berjalan kaki.
(ynt)