Menggugat Hak Warga Berjalan Kaki
Senin, 23 Januari 2023 - 08:38 WIB
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta
Peringatan Hari Pejalan Kaki Nasional yang ke-11 pada tahun ini menyiratkan beragam makna dan syarat pesan. Makna dan pesan itu bukan semata pada memberi perhatian lebih terhadap pejalan kaki, tetapi juga ajakan transformasi gaya hidup penggunaan kendaraan bermotor menuju berjalan kaki.
Peringatan hari berjalan kaki semakin menggaung tatkala hasil riset Stanford University pada 111 negara pada 2017 lalu menunjukkan penduduk Indonesia paling malas berjalan kaki. Kita, orang Indonesia berjalan kaki rata-rata hanya 3.513 langkah per hari, hanya separuh dari standar minimal Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 7.000-7.500 langkah kaki per hari.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan keranjingan penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun, baik dari segi jumlah, maupun intensitas penggunaan kendaraan bermotor.
Tentu saja, riset Stanford University bukan untuk mengurutkan negara malas berjalan kaki. Relevansinya jelas perihal faktor kesehatan kota (healthy city), emisi karbon dan banyak lainnya. Kesemuanya berkelindan dengan upaya penyediaan prasarana pejalan kaki (trotoar).
Dalam konteks kesehatan, perilaku malas berjalan kaki memicu dampak lanjutan berupa obesitas. Hal ini diafirmasi oleh data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Tahun 2016 bahwa penduduk berusia 18 tahun ke atas mengalami kegemukan atau obesitas sebanyak 40 juta orang lebih atau 20,7%. Terjadi peningkatan tajam dari 15,4% pada 2013. Setiap jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor berisiko meningkatkan 6% kegemukan, sebaliknya berjalan kaki menurunkan kegemukan sebanyak 4,8% pada setiap kilometer berjalan kaki (U.S. Department of Housing and Urban Development).
Adapun pada emisi karbon, ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi serius pada emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kendaraan bermotor yang berjumlah 146 juta unit pada 2019 lalu menyumbang 70-80% emisi perkotaan. Bisa dibayangkan efek berganda atas situasi atas terhadap aspek kesehatan lingkungan kota.
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta
Peringatan Hari Pejalan Kaki Nasional yang ke-11 pada tahun ini menyiratkan beragam makna dan syarat pesan. Makna dan pesan itu bukan semata pada memberi perhatian lebih terhadap pejalan kaki, tetapi juga ajakan transformasi gaya hidup penggunaan kendaraan bermotor menuju berjalan kaki.
Peringatan hari berjalan kaki semakin menggaung tatkala hasil riset Stanford University pada 111 negara pada 2017 lalu menunjukkan penduduk Indonesia paling malas berjalan kaki. Kita, orang Indonesia berjalan kaki rata-rata hanya 3.513 langkah per hari, hanya separuh dari standar minimal Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 7.000-7.500 langkah kaki per hari.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan keranjingan penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun, baik dari segi jumlah, maupun intensitas penggunaan kendaraan bermotor.
Tentu saja, riset Stanford University bukan untuk mengurutkan negara malas berjalan kaki. Relevansinya jelas perihal faktor kesehatan kota (healthy city), emisi karbon dan banyak lainnya. Kesemuanya berkelindan dengan upaya penyediaan prasarana pejalan kaki (trotoar).
Dalam konteks kesehatan, perilaku malas berjalan kaki memicu dampak lanjutan berupa obesitas. Hal ini diafirmasi oleh data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) Tahun 2016 bahwa penduduk berusia 18 tahun ke atas mengalami kegemukan atau obesitas sebanyak 40 juta orang lebih atau 20,7%. Terjadi peningkatan tajam dari 15,4% pada 2013. Setiap jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor berisiko meningkatkan 6% kegemukan, sebaliknya berjalan kaki menurunkan kegemukan sebanyak 4,8% pada setiap kilometer berjalan kaki (U.S. Department of Housing and Urban Development).
Adapun pada emisi karbon, ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor berkontribusi serius pada emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Kendaraan bermotor yang berjumlah 146 juta unit pada 2019 lalu menyumbang 70-80% emisi perkotaan. Bisa dibayangkan efek berganda atas situasi atas terhadap aspek kesehatan lingkungan kota.
tulis komentar anda