Polri Kerja Keras, Masyarakat Tetap Waswas
A
A
A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik,
Peserta Community Policing Development Program di Jepang Optimasi
Aksi-aksi yang didemonstrasikan Reskrim Polri belakangan ini, di mata saya, tergolong menjanjikan. Penilaian itu didasarkan pada empat alasan. Pertama, kerja Polri diarahkan pada upaya pemberantasan korupsi.
Setelah berulang kali dianggap kurang cekatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sehingga kalah pamor dengan KPK, Polri kini merespons dugaan korupsi pengadaan UPS di sekolah-sekolah dengan memeriksa anggota DPRD dan dalam waktu dekat gubernur DKI beserta jajarannya. Beberapa hari lalu Polri mendatangi kantor SKK Migas, juga dalam rangka menelisik dugaan korupsi.
Kedua, kerja Polri terarah ke dirinya sendiri, yakni penangkapan terhadap seorang perwira yang dinyatakan telah menerima uang suap miliaran rupiah dari bandar narkoba. Penindakan ke dalam dengan sasaran perwira, bukan sebatas level prajurit, memperlihatkan upaya Polri mendobrak tradisi tirai biru (blue curtain code ) yang ditandai kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat sesama anggota korps.
Ketiga, Polri merespons tekanan publik untuk membasmi kebiasaan menyimpang berupa perilaku kekerasan-eksesif oleh anggota kepolisian. Yaitu dengan menangkap Novel Baswedan dalam kasus penganiayaan oleh anak buahnya terhadap tersangka pelaku kejahatan. Keempat, operasi-operasi di atas ditampilkan secara high profile, sehingga masyarakat luas bisa menyaksikan sekaligus menjadikannya sebagai bahan perdebatan.
Kerja Polri seperti dicontohkan di atas kiranya sudah memenuhi dua E, yaitu efektif dan efisien. Tinggal satu E lagi, yakni ekuitas (equity ), yang masih perlu Polri yakinkan kepada publik. Ekuitas menunjuk pada seberapa jauh kerja organisasi (dalam hal ini Polri) telah sebangun dengan nilai-nilai etis, semisal fairness.
Nilai ini akan terpenuhi manakala Polri bekerja semata-mata di atas fondasi hukum, nondiskriminatif, serta bukan dilatarbelakangi oleh motif-motif ekstralegal misalnya menyelamatkan harga diri, memenangkan persaingan antarlembaga penegakan hukum, dan menjegal langkah hukum yang tengah dilakukan institusi mitra.
Andai Reskrim Polri mampu mempertahankan performanya dalam bidang penegakan hukum tanpa menihilkan unsur equity, pantas untuk diramal bahwa statistik kejahatan akan menunjukkan tren membaik. Tren statistik yang membaik, dalam anggapan publik maupun polisi sendiri, ditandai oleh menurunnya statistik kejahatan antarjangka waktu tertentu. Di negara semacam Amerika Serikat, menjadikan statistik kejahatan sebagai indikator kinerja lembaga kepolisian telah dipraktikkan sejak tahun 1930-an.
Dalam perkembangannya, terjadi penyusunan cetak biru yang baru terhadap organisasi kepolisian mereka. Tolok ukur positif negatifnya kinerja kepolisian pun direvisi besar-besaran, termasuk dengan tidak lagi menjadikan statistik kejahatan sebagai salah satu kriteria penilaian. Di Indonesia sendiri, statistik kejahatan masih tetap dipandang sebagai elemen penting untuk mengukur kerja Polri.
Statistik dimaksud lebih pada naik-turunnya angka kejahatan dari waktu ke waktu. Itu tidak salah, walau memang tidak lengkap. Idealnya, statistik kejahatan mencakup pula data tentang jumlah pelaku yang diperiksa atau ditahan oleh polisi, jumlah kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan, serta kecepatan penanganan kasus.
Jebakan Statistik
Ketika yang ditonjolkan hanya pada naik turunnya angka kejahatan, data yang disajikan Polri dari tahun ke tahun memang memperlihatkan statistik yang terus menurun. Namun janggalnya adalah, merujuk The Intelligence Unit , hasil survei justru mengategorikan Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman di dunia. Di situlah kritik terbesar terhadap penggunaan statistik sebagai bahan takar terhadap kinerja kepolisian.
Membingungkan; kendati statistik kejahatan secara ”objektif” menurun, mengapa khalayak luas tetap merasa tidak aman? Seberapa mantap sebenarnya angka statistik kriminalitas benar-benar menunjukkan jumlah kejadian kriminalitas dimasyarakat? Karena statistik kejahatan disusun berdasarkan antara lain laporan masyarakat, bias jika disimpulkan bahwa statistik yang rendah menunjukkan kejadian kejahatan yang rendah pula.
Simpulan sedemikian rupa dapat melenakan masyarakat dan utamanya polisi. Juga, tidak akurat apabila statistik kejahatan yang tinggi sertamerta dianggap sebagai kacaunya keamanan lingkungan. Anggapan seperti itu berisiko membuat moral panic menjadi epidemi, yang diikuti maraknya aksi vigilantisme sebagai ”bahasa hukum ” yang masya rakat artikulasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Alih-alih, lebih tepat jika ditafsirkan bahwa rendahnya statistik kriminalitas dihasilkan oleh menurunnya laporan masyarakat. Penurunan laporan masyarakat bukan pula diakibatkan oleh kian sedikitnya anggota masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Penurunan itu, apalagi dikaitkan dengan kualitas relasi polisi dan masyarakat, sangat mungkin disebabkan oleh apatisme masyarakat untuk melaporkan peristiwa kejahatan yang telah mereka alami maupun saksikan.
Apatisme tersebut dibentuk oleh tererosinya kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian. Publik, terutama mereka yang pernah menjadi korban kejahatan, memersepsi polisi bukan sebagai pemecah problem, melainkan justru sebagai pihak yang memperumit problem. Dengan demikian, kembali ke inti persoalan, manakala terjadi penurunan jumlah kejahatan sebagaimana yang institusi kepolisian umumkan ke masyarakat, penurunan tersebut pantas ditanggapi dengan kegalauan.
Kepolisian patut mencari tahu sebab-musabab masyarakat enggan melapor. Tambahan lagi, merujuk pada penalaran di atas, penyajian data statistik ke publik justru pada gilirannya dapat kontraproduktif bagi Polri, yaitu menularkan ”kemalasan” dari satu warga ke warga lainnya untuk melaporkan peristiwa viktimisasi yang mereka derita.
Sisi lain menurunnya angka kriminalitas adalah berkaitan dengan kinerja personel kepolisian. Statistik kriminalitas yang menurun boleh jadi diakibatkan oleh menurunnya respons personel terhadap kejadian kejahatan. Kejahatan sesungguhnya telah berlangsung, namun reaksi petugas kepolisian rendah bahkan tidak ada. Akibatnya, peristiwa kejahatan tidak tercatat.
Apabila itu yang terjadi, statistik kriminalitas sekarang dapat dimaknakan sebagai indikasi taraf demoralisasi dan demotivasi personel kepolisian. Mereka seolah kehilangan daya respons meskipun masyarakat telah menekan tombol panik. Sembari Polri terus merapikan basis data statistik kejahatannya, lebih mendasar lagi bagi para pemangku kepentingan untuk memastikan parameter guna menakar kinerja organisasi Tribrata.
Satu hal yang pasti, karena kerja penegakan hukum hanya mencakup tiga puluh persen dari total kerja kepolisian, maka sudah sewajarnya unsur perlindungan, pengayoman, dan pelayanan mendapat porsi jauh lebih besar dalam pengukuran itu. Allahu aAllahu alam.
Psikolog Forensik,
Peserta Community Policing Development Program di Jepang Optimasi
Aksi-aksi yang didemonstrasikan Reskrim Polri belakangan ini, di mata saya, tergolong menjanjikan. Penilaian itu didasarkan pada empat alasan. Pertama, kerja Polri diarahkan pada upaya pemberantasan korupsi.
Setelah berulang kali dianggap kurang cekatan dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sehingga kalah pamor dengan KPK, Polri kini merespons dugaan korupsi pengadaan UPS di sekolah-sekolah dengan memeriksa anggota DPRD dan dalam waktu dekat gubernur DKI beserta jajarannya. Beberapa hari lalu Polri mendatangi kantor SKK Migas, juga dalam rangka menelisik dugaan korupsi.
Kedua, kerja Polri terarah ke dirinya sendiri, yakni penangkapan terhadap seorang perwira yang dinyatakan telah menerima uang suap miliaran rupiah dari bandar narkoba. Penindakan ke dalam dengan sasaran perwira, bukan sebatas level prajurit, memperlihatkan upaya Polri mendobrak tradisi tirai biru (blue curtain code ) yang ditandai kecenderungan untuk menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat sesama anggota korps.
Ketiga, Polri merespons tekanan publik untuk membasmi kebiasaan menyimpang berupa perilaku kekerasan-eksesif oleh anggota kepolisian. Yaitu dengan menangkap Novel Baswedan dalam kasus penganiayaan oleh anak buahnya terhadap tersangka pelaku kejahatan. Keempat, operasi-operasi di atas ditampilkan secara high profile, sehingga masyarakat luas bisa menyaksikan sekaligus menjadikannya sebagai bahan perdebatan.
Kerja Polri seperti dicontohkan di atas kiranya sudah memenuhi dua E, yaitu efektif dan efisien. Tinggal satu E lagi, yakni ekuitas (equity ), yang masih perlu Polri yakinkan kepada publik. Ekuitas menunjuk pada seberapa jauh kerja organisasi (dalam hal ini Polri) telah sebangun dengan nilai-nilai etis, semisal fairness.
Nilai ini akan terpenuhi manakala Polri bekerja semata-mata di atas fondasi hukum, nondiskriminatif, serta bukan dilatarbelakangi oleh motif-motif ekstralegal misalnya menyelamatkan harga diri, memenangkan persaingan antarlembaga penegakan hukum, dan menjegal langkah hukum yang tengah dilakukan institusi mitra.
Andai Reskrim Polri mampu mempertahankan performanya dalam bidang penegakan hukum tanpa menihilkan unsur equity, pantas untuk diramal bahwa statistik kejahatan akan menunjukkan tren membaik. Tren statistik yang membaik, dalam anggapan publik maupun polisi sendiri, ditandai oleh menurunnya statistik kejahatan antarjangka waktu tertentu. Di negara semacam Amerika Serikat, menjadikan statistik kejahatan sebagai indikator kinerja lembaga kepolisian telah dipraktikkan sejak tahun 1930-an.
Dalam perkembangannya, terjadi penyusunan cetak biru yang baru terhadap organisasi kepolisian mereka. Tolok ukur positif negatifnya kinerja kepolisian pun direvisi besar-besaran, termasuk dengan tidak lagi menjadikan statistik kejahatan sebagai salah satu kriteria penilaian. Di Indonesia sendiri, statistik kejahatan masih tetap dipandang sebagai elemen penting untuk mengukur kerja Polri.
Statistik dimaksud lebih pada naik-turunnya angka kejahatan dari waktu ke waktu. Itu tidak salah, walau memang tidak lengkap. Idealnya, statistik kejahatan mencakup pula data tentang jumlah pelaku yang diperiksa atau ditahan oleh polisi, jumlah kasus yang berhasil dibawa ke pengadilan, serta kecepatan penanganan kasus.
Jebakan Statistik
Ketika yang ditonjolkan hanya pada naik turunnya angka kejahatan, data yang disajikan Polri dari tahun ke tahun memang memperlihatkan statistik yang terus menurun. Namun janggalnya adalah, merujuk The Intelligence Unit , hasil survei justru mengategorikan Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak aman di dunia. Di situlah kritik terbesar terhadap penggunaan statistik sebagai bahan takar terhadap kinerja kepolisian.
Membingungkan; kendati statistik kejahatan secara ”objektif” menurun, mengapa khalayak luas tetap merasa tidak aman? Seberapa mantap sebenarnya angka statistik kriminalitas benar-benar menunjukkan jumlah kejadian kriminalitas dimasyarakat? Karena statistik kejahatan disusun berdasarkan antara lain laporan masyarakat, bias jika disimpulkan bahwa statistik yang rendah menunjukkan kejadian kejahatan yang rendah pula.
Simpulan sedemikian rupa dapat melenakan masyarakat dan utamanya polisi. Juga, tidak akurat apabila statistik kejahatan yang tinggi sertamerta dianggap sebagai kacaunya keamanan lingkungan. Anggapan seperti itu berisiko membuat moral panic menjadi epidemi, yang diikuti maraknya aksi vigilantisme sebagai ”bahasa hukum ” yang masya rakat artikulasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Alih-alih, lebih tepat jika ditafsirkan bahwa rendahnya statistik kriminalitas dihasilkan oleh menurunnya laporan masyarakat. Penurunan laporan masyarakat bukan pula diakibatkan oleh kian sedikitnya anggota masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Penurunan itu, apalagi dikaitkan dengan kualitas relasi polisi dan masyarakat, sangat mungkin disebabkan oleh apatisme masyarakat untuk melaporkan peristiwa kejahatan yang telah mereka alami maupun saksikan.
Apatisme tersebut dibentuk oleh tererosinya kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian. Publik, terutama mereka yang pernah menjadi korban kejahatan, memersepsi polisi bukan sebagai pemecah problem, melainkan justru sebagai pihak yang memperumit problem. Dengan demikian, kembali ke inti persoalan, manakala terjadi penurunan jumlah kejahatan sebagaimana yang institusi kepolisian umumkan ke masyarakat, penurunan tersebut pantas ditanggapi dengan kegalauan.
Kepolisian patut mencari tahu sebab-musabab masyarakat enggan melapor. Tambahan lagi, merujuk pada penalaran di atas, penyajian data statistik ke publik justru pada gilirannya dapat kontraproduktif bagi Polri, yaitu menularkan ”kemalasan” dari satu warga ke warga lainnya untuk melaporkan peristiwa viktimisasi yang mereka derita.
Sisi lain menurunnya angka kriminalitas adalah berkaitan dengan kinerja personel kepolisian. Statistik kriminalitas yang menurun boleh jadi diakibatkan oleh menurunnya respons personel terhadap kejadian kejahatan. Kejahatan sesungguhnya telah berlangsung, namun reaksi petugas kepolisian rendah bahkan tidak ada. Akibatnya, peristiwa kejahatan tidak tercatat.
Apabila itu yang terjadi, statistik kriminalitas sekarang dapat dimaknakan sebagai indikasi taraf demoralisasi dan demotivasi personel kepolisian. Mereka seolah kehilangan daya respons meskipun masyarakat telah menekan tombol panik. Sembari Polri terus merapikan basis data statistik kejahatannya, lebih mendasar lagi bagi para pemangku kepentingan untuk memastikan parameter guna menakar kinerja organisasi Tribrata.
Satu hal yang pasti, karena kerja penegakan hukum hanya mencakup tiga puluh persen dari total kerja kepolisian, maka sudah sewajarnya unsur perlindungan, pengayoman, dan pelayanan mendapat porsi jauh lebih besar dalam pengukuran itu. Allahu aAllahu alam.
(bbg)