Salah Memahami Hukum
A
A
A
Ketika beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra tentang rencana pengkajian ulang untuk meninjau kebijakan hukum tentang pemberian remisi (pengurangan hukuman) kepada terpidana korupsi, ada seorang pejabat penting di negeri ini yang tidak tepat dalam memahami dan menjelaskan istilah hukum.
Sang pejabat mengatakan, semua narapidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan sesuai konstitusi tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Sebab itu, terpidana korupsi juga harus diberi hak untuk mendapat remisi seperti narapidana lain. ”Tak boleh ada diskriminasi atau perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap narapidana,” katanya dengan penuh semangat.
Tentu, pemahaman dan penjelasan seperti itu salah adanya. Terlepas dari soal kita setuju atau tidak setuju atas gagasan pemberian remisi yang sama bagi terpidana korupsi dengan terpidana lain, pemahaman dan penjelasan sang pejabat itu salah. Dia melihat persamaan di depan hukum dan keharusan nondiskriminasi itu mencakup perlakukan sama terhadap semua orang dalam semua hal.
Dalam hal” tak boleh ada diskriminasi” misalnya, sang pejabat mengatakan pencuri ayam, pembunuh, dan koruptor harus diperlakukan sama-sama mempunyai hak-hak remisi. Padahal istilah diskriminasi di dalam hukum bukan dalam pengertian pembedaan pemberian hak atau pembedaan hukuman yang seperti itu.
Secara hukum, istilah diskriminasi selalu dikaitkan pembedaan perlakukan karena perbedaan agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan sejenisnya. Ini jelas diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan di dalam UU HAM tersebut diadopsi dan dikembangkan dari Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 ( International Convention on the Elimination of All Reforms of Racial Discrimination 1965 ).
Konvensi itu menyebut diskriminasi mencakup pembedaan perlakukan yang didasarkan pada perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal usul sosial. Konvensi PBB tersebut kemudian diratifikasi juga oleh Indonesia melalui UU No 29/1999.
Dengan demikian, kalau ada kebijakan yang membedakan untuk memberi remisi kepada narapidana umum dan tidak memberi remisi kepada narapidana korupsi, bukanlah suatu kebijakan diskriminatif.
Penentuan kebijakan negara untuk tidak memberi remisi kepada terpidana korupsi itu sama sekali bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi semua orang yang melakukan korupsi, beragama apa pun, berjenis kelamin apa pun, dari ras atau suku apa pun. Jadi, kalau membedakan hukuman atau pemberlakuan hak karena jenis kejahatan dan akibat-akibatnya, bukanlah diskriminasi asal jelas pengaturannya di dalam UU.
Penentuan kebijakan negara untuk memberi remisi pada narapidana umum dengan syaratsyarat tertentu dan tidak memberi remisi kepada terpidana karena tindak pidana khusus juga bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, bukan hanya belaku bagi suku Jawa, atau bukan hanya berlaku bagi asal-usul sosial tertentu.
Itulah maksud memperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh ada diskriminasi. Kesalahan memahami dan menjelaskan masalah konseptual di dalam hukum memang kerapkali terjadi. Istilah asas ”praduga tak bersalah” misalnya sering disalahartikan oleh banyak sarjana hukum sekali pun.
Atas dasar asas praduga tak bersalah, sering orang menyalahkan orang yang menganalisis fakta sosial atau menduga tentang indikasi kuat keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Alasannya, masih dalam proses hukum dan belum ada vonis pengadilan. Padahal, setiap tindak pidana yang kemudian dihukum oleh pengadilan itu selalu dimulai dari dugaan atau ”praduga” bersalah.
Pada saat seseorang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penyelidikan atasnya karena dugaan. Setelah ada alat bukti yang cukup kepada yang bersangkutan dilakukan penyidikan karena sangkaan. Semua itu dilakukan karena dugaan dan sangkaan, belum terbukti. Itu bukan hanya boleh, tetapi niscaya.
Dengan demikian, boleh saja orang menduga, menyorot, mendiskusikan, menganalisis, bahkan menyimpulkan secara sosial bahwa seseorang telah melakukan korupsi meski belum divonis oleh pengadilan. Masak, menduga, menganalisis, dan menyimpulkan secara logis saja tidak boleh. Masak, begitu saja mau dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
Orang dijatuhi hukuman itu karena didahului oleh dugaan yang dilanjutkan dengan sangkaan, dakwaan, dan seterusnya sampai vonis. Yang dimaksud asas praduga tak bersalah adalah asas yang menentukan bahwa jika orang belum dijatuhi hukuman dengan hukuman yang sudah berkekuatan hukum tetap, dia tak boleh diperlakukan sebagai terhukum.
Misalnya, tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya boleh disita, tapi belum boleh dilelang, boleh ditahan, tapi belum dimasukkan ke dalam penjara yang permanen.
Alhasil, kalau kita melempar analisis atas fakta dan percaya bahwa seseorang yang masih diadili adalah koruptor, itu bukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Secara hukum asas praduga tak bersalah itu mempunyai arti yang khas.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Sang pejabat mengatakan, semua narapidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan sesuai konstitusi tidak boleh diperlakukan diskriminatif. Sebab itu, terpidana korupsi juga harus diberi hak untuk mendapat remisi seperti narapidana lain. ”Tak boleh ada diskriminasi atau perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap narapidana,” katanya dengan penuh semangat.
Tentu, pemahaman dan penjelasan seperti itu salah adanya. Terlepas dari soal kita setuju atau tidak setuju atas gagasan pemberian remisi yang sama bagi terpidana korupsi dengan terpidana lain, pemahaman dan penjelasan sang pejabat itu salah. Dia melihat persamaan di depan hukum dan keharusan nondiskriminasi itu mencakup perlakukan sama terhadap semua orang dalam semua hal.
Dalam hal” tak boleh ada diskriminasi” misalnya, sang pejabat mengatakan pencuri ayam, pembunuh, dan koruptor harus diperlakukan sama-sama mempunyai hak-hak remisi. Padahal istilah diskriminasi di dalam hukum bukan dalam pengertian pembedaan pemberian hak atau pembedaan hukuman yang seperti itu.
Secara hukum, istilah diskriminasi selalu dikaitkan pembedaan perlakukan karena perbedaan agama, ras, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan sejenisnya. Ini jelas diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan di dalam UU HAM tersebut diadopsi dan dikembangkan dari Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 ( International Convention on the Elimination of All Reforms of Racial Discrimination 1965 ).
Konvensi itu menyebut diskriminasi mencakup pembedaan perlakukan yang didasarkan pada perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal usul sosial. Konvensi PBB tersebut kemudian diratifikasi juga oleh Indonesia melalui UU No 29/1999.
Dengan demikian, kalau ada kebijakan yang membedakan untuk memberi remisi kepada narapidana umum dan tidak memberi remisi kepada narapidana korupsi, bukanlah suatu kebijakan diskriminatif.
Penentuan kebijakan negara untuk tidak memberi remisi kepada terpidana korupsi itu sama sekali bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi semua orang yang melakukan korupsi, beragama apa pun, berjenis kelamin apa pun, dari ras atau suku apa pun. Jadi, kalau membedakan hukuman atau pemberlakuan hak karena jenis kejahatan dan akibat-akibatnya, bukanlah diskriminasi asal jelas pengaturannya di dalam UU.
Penentuan kebijakan negara untuk memberi remisi pada narapidana umum dengan syaratsyarat tertentu dan tidak memberi remisi kepada terpidana karena tindak pidana khusus juga bukan diskriminasi karena kebijakan itu berlaku bagi siapa saja, tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, bukan hanya belaku bagi suku Jawa, atau bukan hanya berlaku bagi asal-usul sosial tertentu.
Itulah maksud memperlakukan sama di depan hukum dan tidak boleh ada diskriminasi. Kesalahan memahami dan menjelaskan masalah konseptual di dalam hukum memang kerapkali terjadi. Istilah asas ”praduga tak bersalah” misalnya sering disalahartikan oleh banyak sarjana hukum sekali pun.
Atas dasar asas praduga tak bersalah, sering orang menyalahkan orang yang menganalisis fakta sosial atau menduga tentang indikasi kuat keterlibatan seseorang dalam tindak pidana korupsi. Alasannya, masih dalam proses hukum dan belum ada vonis pengadilan. Padahal, setiap tindak pidana yang kemudian dihukum oleh pengadilan itu selalu dimulai dari dugaan atau ”praduga” bersalah.
Pada saat seseorang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penyelidikan atasnya karena dugaan. Setelah ada alat bukti yang cukup kepada yang bersangkutan dilakukan penyidikan karena sangkaan. Semua itu dilakukan karena dugaan dan sangkaan, belum terbukti. Itu bukan hanya boleh, tetapi niscaya.
Dengan demikian, boleh saja orang menduga, menyorot, mendiskusikan, menganalisis, bahkan menyimpulkan secara sosial bahwa seseorang telah melakukan korupsi meski belum divonis oleh pengadilan. Masak, menduga, menganalisis, dan menyimpulkan secara logis saja tidak boleh. Masak, begitu saja mau dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
Orang dijatuhi hukuman itu karena didahului oleh dugaan yang dilanjutkan dengan sangkaan, dakwaan, dan seterusnya sampai vonis. Yang dimaksud asas praduga tak bersalah adalah asas yang menentukan bahwa jika orang belum dijatuhi hukuman dengan hukuman yang sudah berkekuatan hukum tetap, dia tak boleh diperlakukan sebagai terhukum.
Misalnya, tak boleh disebut sebagai narapidana, hartanya boleh disita, tapi belum boleh dilelang, boleh ditahan, tapi belum dimasukkan ke dalam penjara yang permanen.
Alhasil, kalau kita melempar analisis atas fakta dan percaya bahwa seseorang yang masih diadili adalah koruptor, itu bukan pelanggaran atas asas praduga tak bersalah. Secara hukum asas praduga tak bersalah itu mempunyai arti yang khas.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ftr)