Germanwings dan Standar Penerbangan di Indonesia

Kamis, 02 April 2015 - 11:53 WIB
Germanwings dan Standar...
Germanwings dan Standar Penerbangan di Indonesia
A A A
Nurul Wahdah
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan

Masih hangat tentang peristiwa naas pesawat Germanwings yang jatuh di Pegunungan Alpen, Prancis, Selasa (24/3) malam lalu. Sebanyak 144 orang dan enam awak pesawat tewas dalam kecelakaan tersebut.

Banyak spekulasi yang merebak terkait peristiwa kelabu tersebut. Salah satu yang menghangat mengenai kemungkinan kopilot Germanwings Andreas Lubitz, 28, sengaja menjatuhkan pesawat. Hal tersebut masih menjadi tanda tanya, tetapi setidaknya diperkuat dengan fakta ditemukannya secarik kertas berisi keterangan sakit yang telah ditemukan di rumah Lubitz.

Diketahui kemudian, Lubitz seharusnya tidak masuk kerja pada hari yang tragedi kecelakaan Germanwings itu terjadi. Dari temuan dan keterangan itu, menunjukkan bahwa Lubitz menderita penyakit serius yang ia sembunyikan dari perusahaan dan rekan-rekannya. Bukti tersebut menunjukkan kesehatan Lubitz, yang diyakini menderita depresi.

Dia seharusnya tidak pernah diperbolehkan berada dalam kokpit Airbus 320 pada Selasa, 25 Maret 2015. Tetapi sampai saat fakta tersebut ditemukan, pihak berwajib tidak menemukan catatan yang berkaitan dengan upaya bunuh diri. Sementara di sisi lain, ahli forensik terus memeriksa bukti lain di antaranya komputer milik Lubitz.

Dalam rangka memperkuat temuan di atas tersebut, tim investigasi selanjutnya mendalami kehidupan pribadi Lubitz yang pernah menjadi salah satu kopilot terbaik pada 2013. Yang menarik dari kasus ini adalah tim investigasi kejaksaan Jerman telah mengumumkan hasil penyelidikannya bahwa jatuhnya pesawat ini disebabkan aksi bunuh diri atau sengaja dijatuhkan oleh pilot Lubitz. Hasil penyelidikan ini berbeda dengan hasil penyelidikan pesawat-pesawat yang jatuh lainnya, yang memakan waktu yang berbulan- bulan dalam menganalisis dan membuat kesimpulan.

Kesehatan Awak

Belajar dari beberapa fakta mengenai jatuhnya pesawat Germanwings tersebut, adalah perlu diketahui bagaimana seorang kopilot yang sembunyikan kondisi sakit sebelum terbang. Hal seperti ini harusnya tidak terjadi, seharusnya tenaga kesehatan atau dokter yang memeriksa kondisi kesehatannya harus melaporkan ke pihak maskapai tentang semua kondisi awak pesawat termasuk pilot dan kopilot.

Ada unsur kelalaian maskapai tersebut. Surat kabar Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung memberitakan bahwa Lubitz pernah mengalami depresi saat mengikuti pelatihan pilot pada tahun 2008, dan berhenti mengikuti pelatihan selama beberapa bulan. CEO Lufthansa Carsten Spohr membenarkan bahwa Lubitz pernah mengambil rehat dari pelatihan pilot.

Artinya walaupun riwayat depresi pada pilot atau kopilot dalam catatan medis dialami pada beberapatahunsebelumnya, perusahaan maskapai seharusnya jangan sampai lalai dan harus dapat mengantisipasi kemungkinan depresi dapat muncul di kemudian hari. Karena salah satu faktor penyebab depresi adalah faktor psikologis yang akan terjadi apabila sedang mengalami stres.

Kondisi ini berlaku bagi semua orang terlebih pada kopilot Germanwings, Andreas Lubitz. Menurut International Civil Administration Organization (ICAO), orang yang pernah mengalami depresi serius memiliki sekitar 50% kemungkinan kembali mengalami depresi yang sama. Secara umum, pilot atau kopilot belum diizinkan untuk kembali terbang kecuali telah mendapat sertifikasi uji layak terbang.

Pada awak pesawat yang depresi ada beberapa syarat uji layak terbang yang ditentukan oleh ICAO, salah satunya ada ulasan medis dari dokter yang merawat, dan kemudian dilaporkan kepada pihak uji sertifikasi. Depresi akut biasanya memicu hal lain yang berbahaya seperti ide bunuh diri yang bisa muncul kemudian.

Pelajaran Berharga

Apa pelajaran penting tragedi kecelakaan pesawat Germanwings bagi dunia penerbangan di Indonesia? Standardisasi faktor keselamatan yang disebabkan karena human error di negeri ini masih mengkhawatirkan. Sejumlah dokumentasi catatan kecelakaan penerbangan di Indonesia juga tidak terlepas dari semrawutnya tata kelola dan prosedur keselamatan lalu lintas udara sebagaimana mestinya.

Perubahan jadwal penerbangan yang tiba-tiba, minimnya koordinasi antarpengawas lalu lintas udara, bahkan kasus pilot yang mengonsumsi narkoba adalah fakta yang setidaknya pernah kita dengar dalam dunia penerbangan kita. Tragedi Germanwings amat gamblang menggambarkan bahwa sejatinya perusahaan maskapai penerbangan tidak boleh abai sedikit pun tentang kondisi kesehatan serta kejiwaan pilot maupun kopilotnya.

Apakah di Indonesia sendiri perusahaan sudah sangat disiplin menerapkan itu sebagai standar operasionalnya? Tentu yang mengerti dengan pasti adalah perusahaan maskapainya itu sendiri. Namun, perlu kita catat bahwa maskapai di Indonesia tidak semua mempunyai dokter spesialis penerbangan. Pemerintah belum mempunyai regulasi yang jelas tentang kewajiban perusahaan maskapai harus memiliki dokter spesialis penerbangan.

Dokter spesialis penerbangan adalah dokter yang memiliki standar kompetensi dalam medical check up awak pesawat (termasuk pilot dan kopilot). Ini catatan penting di mana semestinya ketersediaan dokter spesialis tersebut menjadi bagian integral dalam prosedur dan standar keselamatan penerbangan di Indonesia. Regulasi mengenai pentingnya keberadaan dokter spesialis penerbangan di Indonesia penulis kira sangat penting dan mendesak untuk segera dibuat.

Kita ketahui bersama persentase penyebab kecelakaan karena faktor teknis seperti cuaca, kondisi pesawat, infrastruktur penerbangan, dan human error sangat bergantung pada faktor nonteknis, dalam hal ini regulasi pemerintah, quality control, serta kultur dan struktur masyarakatnya. Pemerintah melalui kementerian perhubungan sudah saatnya menegaskan kembali penerapan National Civil Aviation Security Programme.

Peraturan Menhub No. 8 / 2015 yang mengharuskan para awak angkutan penerbangan untuk melakukan cek kesehatan sebelum mengoperasikan kendaraan. Jika awak angkutan umum tersebut terindikasi ada masalah dalam kesehatannya, kru penerbangan tidak diperbolehkan untuk menerbangkan pesawat perlu benar-benar diimplementasikan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab.

Sebuah film yang berjudul Flight yang dibintangi oleh Denzel Washington yang memerankan William “Whip” Whitaker seorang pilot pada sebuah maskapai penerbangan penumpang komersial yang sudah berpengalaman bisa menjadi inspirasi kita. Karena kehidupan pribadinya yang karut-marut akibat perceraian, Whip lebih suka tenggelam menenggak minuman beralkohol maupun mengonsumsi obat-obat terlarang dalam upaya melupakan semua kesulitan hidupnya.

Dalam film Flight, kita akan bersimpati sekaligus kesal kepada sosok pilot Whitaker karena ia menjadi salah satu penyebab hancurnya hidup orang lain. Namun di sisi lain, menjadi iba karena keperkasaannya dalam mengoptimalkan keselamatan penerbangan harus dihadiahi jeruji penjara.

Namun dalam kisah nyata tragedi Germanwings, sang kopilot Andreas Lubitz seperti ingin menjustifikasi depresinya dengan mengorbankan ratusan nyawa baik dari rekan sesama awak pesawat dan penumpangnya. Sungguh tragis. Semoga tragedi tersebut tidak akan pernah terjadi di Indonesia, negara kita tercinta.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0630 seconds (0.1#10.140)