Sistem Pembayaran Barter

Rabu, 18 Maret 2015 - 08:48 WIB
Sistem Pembayaran Barter
Sistem Pembayaran Barter
A A A
Kisruh Yunani yang ingin keluar dari Uni Eropa jika terjadi akan memperbesar sistem pembayaran barter. Dengan atau tanpa Euro, Yunani akan semakin tergantung kepada barter.

Asmudson dan Oner (2012) mengatakan: ”If there were no money, we would be reduced to a barter economy. Every item someone wanted to purchase would have to be exchanged for something that person could provide ”. Sementara itu, keluarnya Yunani akan membuat kepercayaan terhadap euro menurun.

Di pihak lain, gejolak ekonomi yang ditimbulkannya juga akan berdampak negatif kepada dolar. Sistem pembayaran barter adalah cikal bakal dari sistem pembayaran dengan uang virtual seperti Bitcoin dan dolar Itex. Sistem pembayaran dengan uang virtual akan semakin banyak digunakan pada masa depan akibat krisis sistem pembayaran di Eropa jika Yunani keluar dari euro.

Pada dasarnya, barter adalah kegiatan tukar-menukar barang atau jasa yang terjadi tanpa perantaraan uang. Tahap selanjutnya menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari dari orang yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang lain yang dibutuhkannya. Akibatnya barter yaitu barang ditukar dengan barang. Pada masa ini timbul bendabenda yang selalu dipakai dalam pertukaran.

Kesulitan yang dialami oleh manusia dalam barter adalah kesulitan mempertemukan orang-orang yang saling membutuhkan dalam waktu bersamaan. Kesulitan itu telah mendorong manusia untuk menciptakan kemudahan dalam pertukaran dengan menetapkan benda-benda tertentu sebagai alat tukar.

Sampai sekarang barter masih dipergunakan saat terjadi krisis ekonomi di mana nilai mata uang mengalami devaluasi akibat hiperinflasi. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain di mana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negara yang bersangkutan.

Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai, namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan pemerintah.

Tandatanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Intinya produktivitas nasional kalah dibandingkan dengan negara lain. Secara formal hiperinflasi terjadi jika tingkat inflasi lebih dari 50% dalam satu bulan.

Sebagai sebuah rule of thumb , inflasi biasanya dilaporkan setahun sekali, namun dalam kondisi hiperinflasi tingkat inflasi dilaporkan dalam interval yang lebih singkat, biasanya satu bulan sekali. Hiperinflasi biasanya muncul ketika ada peningkatan persediaan uang yang tidak diketahui atau perubahan sistem mata uang secara drastis.

Hiperinflasi biasanya dikaitkan dengan perang, depresi ekonomi, dan memanasnya kondisi politik atau sosial suatu negara. Dalam konteks menghadapi inflasi yang semakin tinggi di Amerika Serikat, American Express (Amex) melakukan restrukturisasi usaha dalam rangka memfokuskan usaha mereka tetapi juga memainkan peran pembayaran dengan uang virtual.

Perancang strategi Amex berpikiran bahwa perekonomian Amerika Serikat akan menghadapi hiperinflasi masa depan akibat program quantitative easing yang dilakukan hingga saat ini. Mereka sangat percaya bahwa hantu inflasi sudah terbit di horizon perekonomian Amerika Serikat.

Kebijakan moneter di Amerika Serikat pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga, serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.

Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Dengan demikian, tekanan dari rendahnya produktivitas akan menyebabkan devaluasi kemudian hiperinflasi dan muncul sistem pembayaran barter yang pada zaman teknologi maju saat ini berbentuk uang virtual seperti Bitcoin yang merupakan uang virtual (elektronik) yang dibuat pada 2009 oleh Satoshi Nakamoto.

Nama tersebut juga dikaitkan dengan perangkat lunak sumber terbuka yang dia rancang dan menggunakan jaringan peer-to-peer tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal. Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut Bitcoin sebuah mata uang yang terdesentralisasi.

Tidak seperti mata uang pada umumnya, Bitcoin tidak tergantung dengan mempercayai penerbit utama. Bitcoin menggunakan sebuah database yang didistribusikan dan menyebar ke berbagai node dari sebuah jaringan peer-to-peer ke jurnal transaksi dan menggunakan kriptografi untuk menyediakan fungsi-fungsi keamanan dasar seperti memastikan bahwa Bitcoin hanya dapat dihabiskan oleh orang yang memilikinya dan tidak pernah boleh dilakukan lebih dari satu kali.

Jelas sekali bahwa sistem pembayaran barter tidak akan mati, tetapi hanya berubah bentuk menjadi sistem pembayaran virtual berkat ada teknologi!

Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5401 seconds (0.1#10.140)