Pelemahan KPK
A
A
A
Prof Amzulian Rifai, PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Bangsa Indonesia sepakat bahwa institusi hukum di Indonesia harus kuat dan berwibawa, termasuk Polri dan KPK. Karena itu, kita mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang membentuk tim independen dalam menyikapi kisruh KPK dan Polri.
Modal dasar tim independen ini karena berisikan tujuh orang yang memiliki rekam jejak baik dan tepercaya yang dimotori oleh Profesor Jimly Asshiddiqie. Melalui tim independen ini diharapkan ada solusi tuntas dari permasalahan pelik ini dengan mempertimbangkan suara publik. Kita meyakini kenegarawanan semua anggota tim. Namun, hal yang juga mesti disadari bahwa publik semakin merasa baik secara kebetulan atau memang diskenariokan, upaya pelemahan terhadap KPK itu semakin nyata.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kondisi sekarang mengganggu misi pemberantasan korupsi di negeri ini. Sejak awal penetapan calon Kapolri sebagai tersangka,13 Januari 2015, saya sudah “ngeringeri sedap” sekaligus khawatir akan terjadi apa-apa dengan KPK. Bayangkan saja, sosok luar biasa sekaliber Komjen BG yang bakal memimpin institusi tertinggi Polri, terjegal oleh KPK yang dalam kondisi normal hanya beranggotakan lima orang. Status itu disandang hanya sehari menjelang tes kelayakan di DPR.
Jangankan Komjen BG, publik juga tersentak dengan peristiwa yang mungkin pertama kali di dunia calon kepala polisi negara berstatus tersangka. Hancur sudah reputasi Komjen BG yang sudah dibangun sejak lama, sosok perwira Polri yang dinilai brilian. Logika manusia biasa, pastilah akan ada perlawanan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Perlawanan itu dapat oleh yang bersangkutan ataupun dilakukanpara pendukungnyade-ngan berbagai cara yang terkadang tidak terkira.
Serangan terhadap KPK
Mungkin hanya kebetulan saja, namun faktanya sejak penetapan status tersangka terhadap calon “orang nomor satu” di Polri, episode teror terhadap KPK dimulai. Babak pertama beredar foto mesra Abraham Samad dengan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira. Pelemahan terhadap KPK terjadi ketika sidang paripurna DPR, menyetujui penundaan pemilihan pemimpin KPK pengganti Busyro Muqoddas.
Pemilihan akan dilakukan bersamaan dengan penggantian empat komisioner KPK lain pada akhir 2015. Putusan ini memengaruhi kinerja KPK karena pimpinan tinggal empat orang saja dalam keadaan yang rentan. Serangan berikutnya ketika diajukannya gugatan praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hal ini dilanjutkan dengan melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung karena menilai penetapan tersangka Budi tidak sah lantaran tidak ditandatangani seluruh pimpinan yang bersifat kolektif itu. Bukan itu saja, pimpinan KPK dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Mereka dituding membocorkan rahasia negara, berupa hasil penelusuran PPATK terhadap rekening Budi dan keluarganya, serta mencemarkan nama baik.
Publik juga dikagetkan dengan langkah Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang melakukan jumpa pers dan membeberkan bahwa ada dendam pribadi Abraham Samad terhadap Budi Gunawan. “Yang menggagalkan saya jadi cawapres adalah Pak Budi Gunawan. Ada saya dan ada saksi di situ,” ujar Hasto menirukan ucapan Samad.
Sulit untuk tidak menyatakan tindakan ini sebagai serangan terhadap KPK. Luar biasa implikasinya terhadap KPK ketika Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim dengan cara di borgol oleh belasan polisi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Memang akhirnya Bambang Widjojanto ditangguhkan penahanannya Sabtu (24/1) dini hari, namun tetap berstatus sebagai tersangka.
Tidak berhenti di situ, serangan terbaru kepada KPK dengan cara mengkriminalisasi para komisioner lain. Setelah BW ternyata tiga komisioner tersisa, yaitu Adnan Pandu Praja, Abraham Samad, dan Zulkarnaen juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Abraham Samad, misalnya, dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 36danPasal65Undang-Undang KPK. Adnan Pandu Praja dituduh memalsukan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.
Alternatif Solusi
Seperti biasa, dalam banyak kejadian di negeri ini terhadap persoalanruwet semacam gesekan KPK dan Polri ini, ada saja yang ngeles, berargumentasi, atau malah saling melempar bola panas. Prosesnya seperti “berputar-putar” bagai tak berujung, tak berkesudahan.
Jika nanti rakyat bersatu langsung diberi label “ikut-ikutan saja” atau malah dianggap rakyat yang tidak jelas. Padahal, rakyat hanya ingin isu pokok pemberantasan korupsi tidak boleh melenceng. Memang kini problemnya sudah sedemikian runyam. Seandainya saja pengisian jabatan publik, apalagi sekaliber kepala Polri, secara konsisten dilakukan secara transparan dan akuntabel, pastilah kejadian semacam ini bisa terhindarkan.
Sudah benar dan publik berharap banyak di saat penunjukanpara menteriKabinetKerja dengan melibatkan PPATK dan KPK. Ada yang berpandangan, salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan adalah Presiden mencalonkan kepala Polri baru. Polri jelas institusi yang sangat diperlukan selama negara ini ada. Hajat hidup orang banyak bukan hanya soal pemberantasan korupsi semata, juga terkait dengan keamanan dan ketertiban masyarakat yang juga parah kondisinya.
Solusi apa pun yang diambil harus juga dengan semangat tidak untuk menjatuhkan institusi Polri yang sangat ditentukan siapa pimpinan tertingginya. Persoalan bertambah pelik jika tetap dipaksakan untuk melantik Komjen BG dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkannya dan institusi Polri. Memang ada yang menyayangkan jika sampai BW mengundurkan diri dari KPK.
Walaupun bagi paham legalistik, kemunduran BW justru dalam rangka mematuhi undangundang. Pasal 32 (2) menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya dikarenakan menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.
Dalam Pasal 32 (3) UU KPK ditegaskan bahwa pemberhentian sementara itu ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Apapun solusi yang diambil, mestinya kita semua menyadari bahwa musuh bersama bangsa ini adalah korupsi, bukan malah Polri dan KPK terus bersengketa beserta masing-masing pengikutnya.
Mestinya kita tidak menjadi lengah karena isunya cenderung beralih dari pemberantasan korupsi menjadi sengketa antardua lembaga. Bangsa ini harus fokus dengan esensi masalah, bukan malah menghabiskan energi sia-sia terhadap isu yang sengaja dialihkan. Perlawanan para koruptor menjadi sempurna setelah pelemahan terhadap KPK semakin nyata.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Bangsa Indonesia sepakat bahwa institusi hukum di Indonesia harus kuat dan berwibawa, termasuk Polri dan KPK. Karena itu, kita mendukung langkah Presiden Joko Widodo yang membentuk tim independen dalam menyikapi kisruh KPK dan Polri.
Modal dasar tim independen ini karena berisikan tujuh orang yang memiliki rekam jejak baik dan tepercaya yang dimotori oleh Profesor Jimly Asshiddiqie. Melalui tim independen ini diharapkan ada solusi tuntas dari permasalahan pelik ini dengan mempertimbangkan suara publik. Kita meyakini kenegarawanan semua anggota tim. Namun, hal yang juga mesti disadari bahwa publik semakin merasa baik secara kebetulan atau memang diskenariokan, upaya pelemahan terhadap KPK itu semakin nyata.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kondisi sekarang mengganggu misi pemberantasan korupsi di negeri ini. Sejak awal penetapan calon Kapolri sebagai tersangka,13 Januari 2015, saya sudah “ngeringeri sedap” sekaligus khawatir akan terjadi apa-apa dengan KPK. Bayangkan saja, sosok luar biasa sekaliber Komjen BG yang bakal memimpin institusi tertinggi Polri, terjegal oleh KPK yang dalam kondisi normal hanya beranggotakan lima orang. Status itu disandang hanya sehari menjelang tes kelayakan di DPR.
Jangankan Komjen BG, publik juga tersentak dengan peristiwa yang mungkin pertama kali di dunia calon kepala polisi negara berstatus tersangka. Hancur sudah reputasi Komjen BG yang sudah dibangun sejak lama, sosok perwira Polri yang dinilai brilian. Logika manusia biasa, pastilah akan ada perlawanan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Perlawanan itu dapat oleh yang bersangkutan ataupun dilakukanpara pendukungnyade-ngan berbagai cara yang terkadang tidak terkira.
Serangan terhadap KPK
Mungkin hanya kebetulan saja, namun faktanya sejak penetapan status tersangka terhadap calon “orang nomor satu” di Polri, episode teror terhadap KPK dimulai. Babak pertama beredar foto mesra Abraham Samad dengan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira. Pelemahan terhadap KPK terjadi ketika sidang paripurna DPR, menyetujui penundaan pemilihan pemimpin KPK pengganti Busyro Muqoddas.
Pemilihan akan dilakukan bersamaan dengan penggantian empat komisioner KPK lain pada akhir 2015. Putusan ini memengaruhi kinerja KPK karena pimpinan tinggal empat orang saja dalam keadaan yang rentan. Serangan berikutnya ketika diajukannya gugatan praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hal ini dilanjutkan dengan melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung karena menilai penetapan tersangka Budi tidak sah lantaran tidak ditandatangani seluruh pimpinan yang bersifat kolektif itu. Bukan itu saja, pimpinan KPK dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Mereka dituding membocorkan rahasia negara, berupa hasil penelusuran PPATK terhadap rekening Budi dan keluarganya, serta mencemarkan nama baik.
Publik juga dikagetkan dengan langkah Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang melakukan jumpa pers dan membeberkan bahwa ada dendam pribadi Abraham Samad terhadap Budi Gunawan. “Yang menggagalkan saya jadi cawapres adalah Pak Budi Gunawan. Ada saya dan ada saksi di situ,” ujar Hasto menirukan ucapan Samad.
Sulit untuk tidak menyatakan tindakan ini sebagai serangan terhadap KPK. Luar biasa implikasinya terhadap KPK ketika Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim dengan cara di borgol oleh belasan polisi setelah mengantarkan anaknya ke sekolah. Memang akhirnya Bambang Widjojanto ditangguhkan penahanannya Sabtu (24/1) dini hari, namun tetap berstatus sebagai tersangka.
Tidak berhenti di situ, serangan terbaru kepada KPK dengan cara mengkriminalisasi para komisioner lain. Setelah BW ternyata tiga komisioner tersisa, yaitu Adnan Pandu Praja, Abraham Samad, dan Zulkarnaen juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Abraham Samad, misalnya, dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 36danPasal65Undang-Undang KPK. Adnan Pandu Praja dituduh memalsukan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.
Alternatif Solusi
Seperti biasa, dalam banyak kejadian di negeri ini terhadap persoalanruwet semacam gesekan KPK dan Polri ini, ada saja yang ngeles, berargumentasi, atau malah saling melempar bola panas. Prosesnya seperti “berputar-putar” bagai tak berujung, tak berkesudahan.
Jika nanti rakyat bersatu langsung diberi label “ikut-ikutan saja” atau malah dianggap rakyat yang tidak jelas. Padahal, rakyat hanya ingin isu pokok pemberantasan korupsi tidak boleh melenceng. Memang kini problemnya sudah sedemikian runyam. Seandainya saja pengisian jabatan publik, apalagi sekaliber kepala Polri, secara konsisten dilakukan secara transparan dan akuntabel, pastilah kejadian semacam ini bisa terhindarkan.
Sudah benar dan publik berharap banyak di saat penunjukanpara menteriKabinetKerja dengan melibatkan PPATK dan KPK. Ada yang berpandangan, salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan adalah Presiden mencalonkan kepala Polri baru. Polri jelas institusi yang sangat diperlukan selama negara ini ada. Hajat hidup orang banyak bukan hanya soal pemberantasan korupsi semata, juga terkait dengan keamanan dan ketertiban masyarakat yang juga parah kondisinya.
Solusi apa pun yang diambil harus juga dengan semangat tidak untuk menjatuhkan institusi Polri yang sangat ditentukan siapa pimpinan tertingginya. Persoalan bertambah pelik jika tetap dipaksakan untuk melantik Komjen BG dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkannya dan institusi Polri. Memang ada yang menyayangkan jika sampai BW mengundurkan diri dari KPK.
Walaupun bagi paham legalistik, kemunduran BW justru dalam rangka mematuhi undangundang. Pasal 32 (2) menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya dikarenakan menjadi tersangka tindak pidana kejahatan.
Dalam Pasal 32 (3) UU KPK ditegaskan bahwa pemberhentian sementara itu ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Apapun solusi yang diambil, mestinya kita semua menyadari bahwa musuh bersama bangsa ini adalah korupsi, bukan malah Polri dan KPK terus bersengketa beserta masing-masing pengikutnya.
Mestinya kita tidak menjadi lengah karena isunya cenderung beralih dari pemberantasan korupsi menjadi sengketa antardua lembaga. Bangsa ini harus fokus dengan esensi masalah, bukan malah menghabiskan energi sia-sia terhadap isu yang sengaja dialihkan. Perlawanan para koruptor menjadi sempurna setelah pelemahan terhadap KPK semakin nyata.
(ars)