Charlie Hebdo dan Kegagalan Multikulturalisme

Rabu, 14 Januari 2015 - 11:14 WIB
Charlie Hebdo dan Kegagalan Multikulturalisme
Charlie Hebdo dan Kegagalan Multikulturalisme
A A A
Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Pesta kembang api menyambut tahun 2015 belum usai. Eropa yang tengah membeku di musim dingin membara oleh serangan bersenjata di kantor majalah Charlie Hebdo dan toko milik orang Yahudi.

Apa motif penyerangan masih diselidiki pihak berwenang di Prancis. Walaupun di tengah aksinya penyerang Charlie Hebdo meneriakkan takbir, presiden Prancis mengatakan serangan tidak terkait dengan agama (Islam). Benarkah demikian? Mengapa dalam satu dasawarsa terakhir haru biru kerap terjadi di benua biru?

Kegagalan Multikulturalisme

Salah satu sebab haru biru di benua biru adalah kegagalan multikulturalisme. Kasus Charlie Hebdoseakan membenarkan pernyataan Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Kanselir Jerman Angela Merkel.

Dalam satu dasawarsa terakhir, di negara-negara Eropa dan Barat muncul gejala multi hated society(Amali, dkk, 2013). Multi-hated society terjadi karena beberapa hal. Pertama, strategi kebijakan kewargaan yang menempatkan kaum minoritas, khususnya imigran, sebagai kelompok masyarakat kelas dua. Mayoritas imigran di Eropa berasal dari negara-negara bekas jajahan yang hijrah ke Eropa sebagai blue-collar workers.

Demi ”persatuan” bangsa, negara-negara menerapkan kebijakan integrasi dan asimilasi satu arah. Kelompok minoritas harus menyesuaikan diri dengan pandangan hidup, perilaku dan bahasa Eropa (Nielsen, 2004). Kebijakan ini mengancam eksistensi agama, identitas, dan budaya imigran. Fundamentalisme dalam berbagai bentuk dan ekspresi lahir sebagai reaksi atas kebijakan asimilasi satu arah dan perjuangan untuk mempertahankan identitas.

Kedua, multi-hated society terjadi karena kesenjangan nilai antar kelompok masyarakat. Dalam konteks Eropa, kesenjangan dapat terjadi antara kelompok agama, etnis, ras, dan budaya. Kasus Majalah Charlie Hebdo (Prancis) dan Jyland- Posten (Denmark) yang dinilai menghina Nabi Muhammad dan tokoh-tokoh agama yang sangat dihormati umat beragama menunjukkan kesenjangan nilai-nilai agama dengan sekularisme dan liberalisme.

Karena sama-sama mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai yang dianut, baik pelaku penyerangan maupun redaksi Charlie Hebdo samasama merasa berada pada ”jalan yang benar”. Walaupun lahir dan tumbuh di Eropa, sebagian imigran— masih—berperilaku sebagai orang asing dan eksklusif. Ketiga, multihated society terjadi karena ketegangan antara imigran dengan ”orang asli”.

Di kalangan orang asli terdapat kepanikan demografis, kecemburuan ekonomi, dan kebencian rasial karena ledakan jumlah, kemajuan ekonomi dan posisi sosial-politik imigran. Sebagaimana penelitian Tamas Berecs dan Kristof Domina (2012) negara-negara mengalami masalah keamanan yang disebabkan oleh meningkatnya domestic extremism dalam bentuk Islamophobia, rasisme, antisemitisme, dan xenophobia.

Keempat, multi-hated society timbul karena kebijakan pemerintah yang dilatarbelakangi oleh kebencian. Sejak peristiwa pengeboman 11 September, muslim dan umat Islam di negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa mengalami tekanan, diskriminasi dan kriminalisasi. Kebijakan yang diterapkan atas dasar kebencian dirasakan oleh komunitas muslim dalam layanan sosial, permukiman, keterwakilan, keyakinan dan budaya (Amali, dkk., 2014).

Muslim menjadi korban cultural stereotype, pesakitan dan kambing hitam atas berbagai permasalahan. Kebijakan yang demikian sangat berpengaruh terhadap psikologi kaum muslim di Eropa yang cenderung berkepribadian konservatif.

Menghidupkan Pembicaraan Global

Redaksi Charlie Hebdo akan menerbitkan majalah lebih awal. Halaman depan memuat kartun Nabi Muhammad. Tiras yang semula 60.000 akan dilipatgandakan menjadi 3 juta, diterbitkan dalam 16 bahasa dan diedarkan di seluruh dunia. Masalah Charlie Hebdo tidak hanya urusan dalam negeri Prancis.

Dimungkinkan terjadi reaksi global yang sulit diperkirakan. Dalam jangka pendek, pemerintah dan perwakilan Prancis, terutama di negara mayoritas muslim, perlu mengambil langkah proaktif dengan membuka dan memfasilitasi pembicaraan dengan masyarakat muslim.

Dalam jangka panjang, masyarakat dunia perlu menghidupkan kembali global conversation (pembicaraan global), terutama antara tokoh atau kelompok yang berseberangan (Mahbubani, 2013). Menurut Mahbubani, di tengah berbagai ketegangan yang terjadi, dunia telah mengalami konvergensi nilai yang memungkinkan masyarakat dunia yang bersatu, menerima etika global, saling menghormati dan bekerja sama.

Masyarakat dan negara-negara Barat perlu lebih realistis dan arif terhadap dunia lain. Perlu perubahan paradigma dan implementasi multikulturalisme yang lebih terbuka. Sudah waktunya masyarakat Barat melihat masyarakat Timur dengan rasa hormat dan, jika perlu, belajar dari nilai-nilai dan kearifan mereka. Kasus Charlie Hebdo adalah sinyal kuat wajah Eropa yang berubah.

Sudah waktunya, pemerintah negaranegara Barat mengubah haluan multikulturalisme ke arah yang lebih inklusif dan humanis. Kasus Charlie Hebdo memberi pesan pentingnya makna saling menghormati. Keamanan negara tidak ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, melainkan oleh kerukunan masyarakatnya. Sebagai bangsa multikultur, Indonesia perlu belajar agar peristiwa serupa tidak terjadi di tanah air kita.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8131 seconds (0.1#10.140)