Perselisihan Hasil Pilkada 2015
A
A
A
Dinamika politik nasional saat ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tampaknya akan mendapatkan persetujuan DPR dan disahkan menjadi undangundang (UU).
Persetujuan ini akan menjadi akhir ketidakpastian pengaturan pemilihan kepala daerah yang terjadi sepanjang tahun 2014. Perubahan cepat rezim pemilihan kepala daerah dimulai dari RUU yang memuat alternatif pemilihan dikembalikan kepada DPRD yang pembahasannya memakan waktu cukup lama di DPR.
Pada Mei 2014 keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan bagian dari rezim pemilu sehingga MK tidak memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutusnya. Di pengujung masa pemerintahan SBY, pasca- Pemilu 2014, pembentuk UU mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang menentukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
UU ini mendapat reaksi kuat dari masyarakat sehingga Presiden mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini, hanya gubernur, bupati, dan wali kota masingmasing sebagai kepala daerah dipilih oleh rakyat, tidak termasuk wakil kepala daerah. Karena itu, akronim yang tepat digunakan kembali adalah pilkada. Pemilihan dilakukan serentak secara nasional.
Perubahan lain adalah penegasan kewenangan memutus perselisihan hasil ada pada Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan putusan MK. Sesuai dengan agenda untuk melaksanakan pilkada serentak, KPU telah menyatakan bahwa pada 2015 mendatang akan diselenggarakan 204 pilkada secara serentak. Hal ini tentu membutuhkan berbagai persiapan, termasuk dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.
Kewenangan MA
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang tidak mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 telah mengatur kewenangan dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil. Dengan adanya ketentuan tersebut, secara resmi MK tidak lagi berwenang memutus perselisihan hasil yang akan terjadi.
Hal ini sesuai dengan amar putusan MK yang menyatakan tetap berwenang selama belum ada UU yang mengatur mengenai kewenangan dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menentukan bahwa permohonan pembatalan penetapan hasil pilkada diajukan kepada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh MA.
Dalam hal ini, MA diberi amanat oleh perppu untuk menunjuk empat pengadilan tinggi untuk menangani perselisihan hasil pilkada di seluruh wilayah Indonesia. Kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada sesungguhnya bukan hal baru bagi MA. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebelum beberapa kali diubah, MA memiliki kewenangan tersebut dan telah menjalankan kewenangan tersebut untuk beberapa pilkada antara tahun 2005 sampai pertengahan 2008.
Karena itu, tentu MA tidak akan mengalami banyak kendala untuk menyiapkan dan menjalankan kewenangan tersebut. Sesuai dengan amanat perppu, yang perlu segera dilakukan adalah menentukan empat pengadilan tinggi mana yang akan memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pilkada beserta wilayah kerja masing-masing.
Penentuan pengadilan tinggi ini tentu perlu memperhatikan aspek kesiapan sumber daya, saranaprasarana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah keterjangkauan dan jarak. Perppu menentukan bahwa perselisihan hasil pemilihan ditangani oleh hakim adhoc yang tidak hanya perlu direkrut, namun tentu juga perlu pembinaan dan penyegaran untuk menyelesaikan perkara spesifik dengan batas waktu yang pendek.
Persidangan perselisihan hasil pemilihan memerlukan sarana-prasarana, terutama untuk mengantisipasi perhatian publik yang kuat dan luas. Adapun keterjangkauan menentukan kemudahan akses kepada pengadilan sekaligus jarak yang cukup agar tidak memicu konflik.
Hukum Acara
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 telah mengatur hukum acara secara lebih detail jika dibanding UU Nomor 12 Tahun 2008 saat kewenangan ada pada MK. Selain menentukan objek perkara berupa penetapan perolehan hasil pemilihan yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon terpilih, perppu juga menentukan batas maksimal persentase perbedaan penghitungan antara peserta dan penyelenggara yang dapat diajukan permohonan berdasarkan jumlah penduduk.
Batasan ini tentu diharapkan dapat mengurangi jumlah permohonan yang diajukan ke pengadilan tinggi. Dari sisi batas waktu, peserta pemilihan memiliki batas waktu yang lebih pendek untuk mengajukan permohonan, yaitu 3x24 jam sejak penetapan hasil jika dibandingkan dengan hukum acara di MK di mana pemohon diberi batas waktu tiga hari kerja.
Pengadilan tinggi harus memutus dalam waktu 14 hari kerja sama dengan waktu yang diberikan kepada MK. Namun, putusan pengadilan tinggi tidak bersifat final, tetapi dapat diajukan upaya hukum terakhir ke MA di mana MA diberi batas waktu memutus dalam waktu 14 hari kerja. Hal ini tentu memengaruhi total waktu yang diperlukan untuk penyelesaian perselisihan pilkada yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah.
Melihat kecenderungan pemilihan di masa lalu yang sebagian besar menempuh jalur hukum di MK, sangat besar kemungkinan perkara akan dilanjutkan hingga upaya hukum ke MA. Hukum acara yang telah diatur dalam perppu tentu perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan lebih detail yang dapat dibuat oleh MA dengan mempertimbangkan pengalaman MA dan MK.
Namun demikian, tentu masih ada kemungkinan perkembangan perkara yang tidak dapat diantisipasi atau bahkan berbeda dengan apa yang ditentukan dan diatur oleh perppu. Dalam hal ini, MA memiliki ruang untuk membentuk hukum dengan menerapkan atau menemukan sendiri prinsip-prinsip hukum yang harus mewujud dalam penyelesaian sengketa pilkada. Seperti kata Oliver Wendell Holmes Jr, the life of the has not been logic; it has been experience.
Persetujuan ini akan menjadi akhir ketidakpastian pengaturan pemilihan kepala daerah yang terjadi sepanjang tahun 2014. Perubahan cepat rezim pemilihan kepala daerah dimulai dari RUU yang memuat alternatif pemilihan dikembalikan kepada DPRD yang pembahasannya memakan waktu cukup lama di DPR.
Pada Mei 2014 keluar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan bagian dari rezim pemilu sehingga MK tidak memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutusnya. Di pengujung masa pemerintahan SBY, pasca- Pemilu 2014, pembentuk UU mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang menentukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
UU ini mendapat reaksi kuat dari masyarakat sehingga Presiden mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini, hanya gubernur, bupati, dan wali kota masingmasing sebagai kepala daerah dipilih oleh rakyat, tidak termasuk wakil kepala daerah. Karena itu, akronim yang tepat digunakan kembali adalah pilkada. Pemilihan dilakukan serentak secara nasional.
Perubahan lain adalah penegasan kewenangan memutus perselisihan hasil ada pada Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan putusan MK. Sesuai dengan agenda untuk melaksanakan pilkada serentak, KPU telah menyatakan bahwa pada 2015 mendatang akan diselenggarakan 204 pilkada secara serentak. Hal ini tentu membutuhkan berbagai persiapan, termasuk dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.
Kewenangan MA
Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 yang tidak mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 telah mengatur kewenangan dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil. Dengan adanya ketentuan tersebut, secara resmi MK tidak lagi berwenang memutus perselisihan hasil yang akan terjadi.
Hal ini sesuai dengan amar putusan MK yang menyatakan tetap berwenang selama belum ada UU yang mengatur mengenai kewenangan dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menentukan bahwa permohonan pembatalan penetapan hasil pilkada diajukan kepada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh MA.
Dalam hal ini, MA diberi amanat oleh perppu untuk menunjuk empat pengadilan tinggi untuk menangani perselisihan hasil pilkada di seluruh wilayah Indonesia. Kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada sesungguhnya bukan hal baru bagi MA. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebelum beberapa kali diubah, MA memiliki kewenangan tersebut dan telah menjalankan kewenangan tersebut untuk beberapa pilkada antara tahun 2005 sampai pertengahan 2008.
Karena itu, tentu MA tidak akan mengalami banyak kendala untuk menyiapkan dan menjalankan kewenangan tersebut. Sesuai dengan amanat perppu, yang perlu segera dilakukan adalah menentukan empat pengadilan tinggi mana yang akan memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil pilkada beserta wilayah kerja masing-masing.
Penentuan pengadilan tinggi ini tentu perlu memperhatikan aspek kesiapan sumber daya, saranaprasarana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah keterjangkauan dan jarak. Perppu menentukan bahwa perselisihan hasil pemilihan ditangani oleh hakim adhoc yang tidak hanya perlu direkrut, namun tentu juga perlu pembinaan dan penyegaran untuk menyelesaikan perkara spesifik dengan batas waktu yang pendek.
Persidangan perselisihan hasil pemilihan memerlukan sarana-prasarana, terutama untuk mengantisipasi perhatian publik yang kuat dan luas. Adapun keterjangkauan menentukan kemudahan akses kepada pengadilan sekaligus jarak yang cukup agar tidak memicu konflik.
Hukum Acara
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 telah mengatur hukum acara secara lebih detail jika dibanding UU Nomor 12 Tahun 2008 saat kewenangan ada pada MK. Selain menentukan objek perkara berupa penetapan perolehan hasil pemilihan yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon terpilih, perppu juga menentukan batas maksimal persentase perbedaan penghitungan antara peserta dan penyelenggara yang dapat diajukan permohonan berdasarkan jumlah penduduk.
Batasan ini tentu diharapkan dapat mengurangi jumlah permohonan yang diajukan ke pengadilan tinggi. Dari sisi batas waktu, peserta pemilihan memiliki batas waktu yang lebih pendek untuk mengajukan permohonan, yaitu 3x24 jam sejak penetapan hasil jika dibandingkan dengan hukum acara di MK di mana pemohon diberi batas waktu tiga hari kerja.
Pengadilan tinggi harus memutus dalam waktu 14 hari kerja sama dengan waktu yang diberikan kepada MK. Namun, putusan pengadilan tinggi tidak bersifat final, tetapi dapat diajukan upaya hukum terakhir ke MA di mana MA diberi batas waktu memutus dalam waktu 14 hari kerja. Hal ini tentu memengaruhi total waktu yang diperlukan untuk penyelesaian perselisihan pilkada yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah.
Melihat kecenderungan pemilihan di masa lalu yang sebagian besar menempuh jalur hukum di MK, sangat besar kemungkinan perkara akan dilanjutkan hingga upaya hukum ke MA. Hukum acara yang telah diatur dalam perppu tentu perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan lebih detail yang dapat dibuat oleh MA dengan mempertimbangkan pengalaman MA dan MK.
Namun demikian, tentu masih ada kemungkinan perkembangan perkara yang tidak dapat diantisipasi atau bahkan berbeda dengan apa yang ditentukan dan diatur oleh perppu. Dalam hal ini, MA memiliki ruang untuk membentuk hukum dengan menerapkan atau menemukan sendiri prinsip-prinsip hukum yang harus mewujud dalam penyelesaian sengketa pilkada. Seperti kata Oliver Wendell Holmes Jr, the life of the has not been logic; it has been experience.
(bbg)