Turunnya Harga Minyak

Jum'at, 12 Desember 2014 - 09:47 WIB
Turunnya Harga Minyak
Turunnya Harga Minyak
A A A
Harga minyak dunia kali ini terus merosot terendah selama lima tahun terakhir. Banyak analisis yang menjungkirbalikkan prediksi sebelumnya bahwa harga minyak dunia akan terus naik.

Analisis yang tepat, penting bagi pemerintah agar kebijakan yang diambil tidak keliru. Terlebih saat ini banyak suara yang meminta harga BBM diturunkan. Pasalnya, harga premium sudah kurang lebih sama dengan pertamax. Apakah tidak boleh? Ingat pada tahun APBN 1972/73 dan 1973/ 74, Indonesia pernah mengalami “laba BBM” dan sebelumnya malah laba dari premium, avgas dan avtur, di-cross subsidikan dengan harga minyak tanah, solar, diesel, dan minyak bakar.

Karena itu, penulis ingin menyampaikan salah satu analisis yang diulas oleh Keith Kohl dalam publikasi “Energy and Capital“. Menurutnya, apa yang terjadi di pasar minyak dunia saat ini, tidak lain adalah perang harga antara Arab Saudi dan Amerika Serikat. Kalau pada dekade lalu adalah perang naik harga, tapi kali ini turunkan harga.

Apa boleh buat, pasar minyak dunia sangat ditentukan oleh dua raksasa ini, Amerika Serikat sebagai konsumen utama dan Arab Saudi produsen utama. Kenapa pada pertemuan terakhir OPEC tidak memangkas produksinya, padahal dengan harga terus turun, ekonomi negara OPEC akan merosot.

Bisa juga berdampak sosial huru-hara di negara yang pendapatannya sangat bergantung pada minyak seperti Venezuela dan Nigeria. Investasi infrastruktur di hulu juga akan menjadi lebih berisiko dan mahal. Indonesian Petroleum Association memperkirakan investasi hulu migas Indonesia anjlok sebesar 20% dari proyeksi investasi sebesar USD32 miliar.

Senjata Penekan

Alkisah empat dekade lalu, lewat pertemuan Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi dan Anwar Sadat dari Mesir, dimulailah era minyak menjadi senjata untuk menekan pihak lain. Peperangan dan pertikaian politik mendorong kenaikan harga minyak dunia. Perang Yom Kippur antara Israel dan Mesir di tahun 1973, harga melompat naik dari USD2,73 per barel, mencapai USD25,50 di tahun 1977, karena Raja Faisal mengumumkan pembatasan produksi.

Krisis energi muncul, banyak negara industri kewalahan dan tidak siap. Terjadi lagi perang Irak-Iran dan invasi Irak ke Kuwaitpada tahun1990-1991. Harga naik menjadi USD32,29 per barel di tahun 1990 dan menyentuh USD60 dolar per barel di tahun 2004.

Sandiwara potong tambah produksi dimainkan OPEC silih berganti. Kemudian pada dekade berikutnya, persoalan ekonomi lebih mengemuka, negara OPEC membutuhkan uang untuk membangun ekonomi negaranya. Naik-turunnya harga tidak ada lagi berhubungan dengan biaya produksi. Terakhir kita tahu, akhirnya harga sempat menyentuh USD150 per barel.

Migas Amerika Meroket

Permainan harga OPEC sangat menyakitkan Amerika Serikat. Dengan insentif harga tinggi, Amerika kemudian meningkatkan eksplorasi minyak dan shale gas besar-besaran di Teluk Meksiko dan Amerika Utara. Hasilnya bukan main, minyak dan shale gas mengalir deras dari perut bumi.

Target pun ditetapkan, akan tembus 10 juta barel per hari pada 2020. Kenyataannya lebih cepat, sekarang sudah menembus 9 juta. Bagaimana tidak, formasi Bakken sudah menghasilkan 1,2 juta barel per hari, dari Eagle Ford 1,5 juta dan dari Permian mencapai 2 juta barel, belum lagi dari Teluk Meksiko, Texas, dan Oklahoma.

Amerika mengalami booming produksi mencapai angka tertinggi dalam 28 tahun terakhir. Bahkan, Badan Energi Internasional memperkirakan akan segera menyalip Arab Saudi. Dua tahun lalu Amerika menggeser Rusia sebagai produsen gas terbesar. Booming produksi di AS terjadi berkat penerapan teknologi.

Produksi melonjak 60 persen dan kini produksi lebih banyak dari impor. Peningkatan produksi ini telah mengubah segalanya. Amerika mulai mengurangi impor dari negara OPECdanmenargetkan65% dari produksi domestik. Pada Desember 2013, Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali Al Naimi menyatakan Amerika akan mengimpor 1,4-1,5 barel per hari selama 2014, tapi sampai Oktober hanya 878.000 barel per hari.

Arab Saudi mengerang. Bayangkan sejak 2005, impor menurun sebesar54% dari ArabSaudi, 56% dari Venezuela, 59% dari Meksiko, dan 100% dari Nigeria. Pergeseran lanskap sumber dan pasar minyak dunia tentu mempengaruhi perilaku, asumsi, dan kebijakan berbagai negara.

OPEC tidak bisa lagi leluasa memainkan harga dengan cara biasa. Produksi shale gas dengan harga yang sangat murah telah memungkinkan ekspor dalam bentuk LNG. Perkembangan itu telah ikut mengubah paradigma Jepang dalam meningkatkan sekuriti pasokan energi domestiknya dan menjadikan dirinya sebagai “LNG hub“ di Asia.

Arab Saudi Melawan

Kemampuan produksi Amerika itu sangat menakutkan Saudi, untuk itu perlu dihentikan karena semakin merepotkan OPEC. Tapi bukan lagi dengan cara potong produksi. Diam-diam Saudi memberi potongan harga ke negara Asia. Harga pun meluncur turun. Namun, Menteri Perminyakan Arab Saudi membantah isu bahwa negaranya melakukan perang harga.

Pada konferensi di Acapulco, Naimi menyebut, “Kami tidak berusaha memolitisasi minyak, ini adalah murni bisnis,” katanya. Karena itu, Naimi menekankan perlunya dialog lanjutan antara OPEC dengan Negara konsumen, agar pasar dan harga stabil, baik untuk produsen, konsumen, investor, dan negara-negara berkembang”.

Dengan harga di bawah USD70 per barel akan sulit sekali bagi Amerika untuk mengeduk minyak dan perekahan formasi batu, karena biaya produksinya lebih dari USD60 per barel. Dengan harga rendah, bukan hanya Amerika yang terkena, sejagat raya juga akan terkena. Kanada akan kehilangan sebanyak 193 miliar barel yang tidak bisa dikeduk, 19 wilayah shale oil di Amerika akan terkena dampak, karena keuntungan sangat tipis pada harga USD75 dolar per barel.

Perlu Sikap

Kalau analisisnya adalah perang harga, masalah ini bisa bertahan lama. Akan ada sandiwara baru naik-turun harga. Dunia akan masuk pada dimensi baru, dulu atur produksi antarnegara OPEC, ke depan jika berdamai, akan atur produksi antara OPEC dan Amerika. Akan perlu sejumlah aksi bagi Indonesia, yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia kini mempunyai bargaining position kuat untuk impor jangka panjang di saat produsen kesulitan ekspor.

China memanfaatkannya dengan impor gas jangka panjang di saat Rusia khawatir pasokan gas ke Eropa barat terganggu akibat konflik Ukraina. Kedua, perlu segera menetapkan kebijakan subsidi tetap untuk meredam dampak volatilitas. Ketiga, prioritaskan pengembangan jenis energi baru murah, supaya berkembang dan berkelangsungan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8900 seconds (0.1#10.140)