Papua Berdikari dan Poros Maritim

Kamis, 27 November 2014 - 10:49 WIB
Papua Berdikari dan...
Papua Berdikari dan Poros Maritim
A A A
AMIRUDDIN AL-RAHAB
Pemerhati Permasalahan Sosial- Politik Papua,
Penulis Buku “Ekonomi Berdikari Sukarno”

Tebersit di Jakarta bahwa dalam rangka menyongsong era Pasifik telah disusun doktrin baru untuk mengelola Indonesia yaitu “poros maritime Nusantara” yang kuncinya wilayah lautan.

Poros maritim ini untuk mengimbangi pemain utama di Pasifik di antaranya kekuatan ekonomi raksasa China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Papua adalah wilayah terdepan Indonesia menghadap Pasifik dengan tanah dan lautan mahaluas. Jika ingin doktrin poros maritim Nusantara itu bisa berwujud, Papua seharusnya diposisikan sebagai pintu masuk dan keluar dari benteng Indonesia menuju Pasifik.

Papua adalah benteng di era Pasifik. Mengapa demikian? Sebagai pintu depan, Papua adalah tanah mahaluas di bibir Pasifik yaitu 41.600.000 ha dengan luas lautan 1.679.545 km2. Penduduknya kurang dari lima juta jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sembilan jiwa per km2. Penduduk yang sedikit itu bermukim secara terpencar dan terpencil pula di lembah-lembah bergunung menjulang, hulu-hulu sungai, dan sabana rawa-rawa mahaluas.

Namun, benteng itu kini rapuh. Agar poros maritim Nusantara menjadi kokoh, benteng Papua harus diperkuat. Untuk itu, jadikanlah Papua mampu berdikari agar bisa keluar dari segala kesulitan yang ada saat ini. Pada masa datang Papua nan mahaluas tanah dan lautannya ini harusnya menjadi kekuatan Indonesia, bukan kelemahan lagi.

Bukankah Presiden Jokowi hendak menjalankan garis ekonomi berdikari itu? Garis politik berdikari itu sudah jelas panduannya. Soekarno dalam kebijakan pada Deklarasi Ekonomi (Dekon) menggariskan bahwa untuk meningkatkan ekonomi nasional program pokoknya adalah mengutamakan pertanian dan perkebunan serta pertambangan. Tentu dengan langkah memodernkan teknologi dan meningkatkan kemampuan rakyatnya.

Peningkatan pertanian dan perkebunan bisa dilihat sebagai langkah untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dalam negeri agar tidak bergantung pada impor. Di sisi lain perkebunan bisa ditujukan untuk ekspor dalam rangka memperkuat devisa negara. Kedua bidang tersebut juga sekaligus menjadi lahan penyerap tenaga kerja agar rakyat bisa produktif dan mengonsumsi produksi dalam negeri.

Sementara pertambangan dalam kerangka pikir berdikari menggunakan kekuatan kekayaan sumber daya alam sebagai kekayaan nasional untuk kekuatan ekonomi nasional. Intinya kekayaan mineral tambang harus menjadi milik Indonesia. Jikapun asing menanam modal, saham Indonesia harus lebih besar dengan kepemilikan tetap di tangan Indonesia.

Secara garis besar itulah fondasi dari ekonomi berdikari, yang menjadi salah satu kesaktian Trisakti Sukarno. Modal untuk ketiga fondasi ekonomi berdikari itu ada di Papua yaitu tanah dan laut yang mahaluas dan kekayaan mineral tambang yang luar bisa pula. Permasalahannya adalah manusia Papua.

Artinya berapa banyak manusia Papua yang akan memperoleh kemakmuran dan kenyamanan nyata dari garis ekonomi yang demikian itu. Selama ini manusia Papua itu kerap dilupakan dalam membuat kebijakan dan program pembangunan. Faktor itulah yang membuat benteng Indonesia di Papua rapuh.

Ciri dari rapuhnya benteng Indonesia di Papua itu adalah instabilitas persepsi politik mudah tercipta, baik karena disharmoni sosial antarkelompok yang kronis maupun oleh masih aktifnya kelompok perlawanan bersenjata. Rendahnya mutu dan fasilitas pendidikan menyebabkan rendahnya kemampuan sebagian besar masyarakat asli dalam merespons perkembangan.

Buruknya fasilitas dan pelayanan kesehatan membuat masyarakat asli Papua tidak kompetitif dalam mengisi peluang-peluang baru yang datang. Angka kemiskinan dan tidak melek huruf pun tinggi. Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi serta komunikasi membuat masyarakat asli Papua terlambat mengakses dan diakses oleh perkembangan sistem ekonomi modern.

Itu tampak dari tidak ada sektor produktif yang bisa melibatkan manusia Papua secara massal. Tidak ada pabrik dan produksi barang kebutuhan di Papua. Semua barang datang dari luar dengan harga sangat mahal. Sementara hasil pertanian dan kebun rakyat tidak bisa dipasarkan karena mahalnya ongkos transportasi. Implikasinya ekonomi masyarakat asli Papua menjadi stagnan.

Dana otsus yang triliunan rupiah belum mampu untuk menggerakkan ekonomi yang stagnan itu karena perencanaan yang buruk, program yang tidak fokus, serta tidak ada ruang produktif yang tercipta. Hasilnya uang otsus itu hanya singgah di Papua dan selanjutnya lenyap. Dalam kondisi begitu, tentu Papua tidak akan bisa berdikari secara ekonomi. Padahal Papua adalah pintu terdepan di Pasifik.

Maka itu, Papua harus berdikari secara ekonomi agar masyarakatnya bisa menjadi benteng terkuat bagi poros maritim Nusantara. Maka itu, kabinet baru Jokowi- JK harus bisa merancang program pembangunan ekonomi yang bisa memberikan pengecualian dan pendampingan kepada masyarakat asli Papua agar kekayaan yang mereka milik bisa memakmurkan mereka.

Untuk itu, koordinasi dalam perencanaan dan implementasi dari setiap program pembangunan harus kuat dan tegas. Hanya dengan manusia Papua yang produktif dan makmur serta pandailah poros maritim Nusantara jadi bermakna di Papua dan seluruh Indonesia. Jika tidak, poros maritim itu hanya akan menjadi slogan kosong.

Agar tidak berhenti sekadar menjadi slogan, siapkanlah manusia Papua untuk menjadi pemain utama dalam percaturan ekonomi produktif di Papua. Untuk itu, benahi dunia pendidikan dan pelayanan kesehatan. Dirikan pabrik yang berkaitan dengan pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Bangunlah jalan, pelabuhan, dan bandara agar konektivitas ada.

Beri kesempatan bagi orang muda Papua untuk berperan besar di dalamnya. Hanya dengan begitu, Papua bisa berdikari dan akan menjelma menjadi benteng terkuat di pintu masuk dan keluar Indonesia dalam menghadapi era Pasifik. Jadikan kampung-kampung yang menjadi tempat bermukim orang asli Papua sebagai centrum pembangunan Papua.

UU Desa yang baru telah pula memberi jalan untuk itu. Saya rasa, jika UU Desa dijalankan secara konsisten dan konsekuen di Papua dengan memajukan peningkatan kualitas dan kemampuan manusia Papua, bersama segala infrastruktur dasar, tidak ada kata tidak mungkin untuk Papua bisa berdikari pada era Pasifik. Semoga.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0538 seconds (0.1#10.140)