Jaksa Agung Rasa Parpol
A
A
A
DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung yang juga anggota partai politik aktif di Partai Nasdem sekaligus saat ini menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Nasdem sungguh mengejutkan.
Di tengah upaya Jokowi-JK melaksanakan revolusi mental birokrasi sesuai dengan janjinya semasa kampanye, publik justru dikejutkan dengan pilihan Presiden untuk mengangkat jaksa agung dengan latar belakang partai politik dan semasa berkarier di lingkungan kejaksaan dulu tak memiliki prestasi yang menonjol yang layak untuk membawanya ditempatkan sebagai jaksa agung.
Dengan pengangkatan jaksa agung tersebut yang notabene sangat kental berlatar belakang dari parpol yang di era pilpres merupakan bagian dari koalisi pendukung Jokowi-JK, sulit menepis anggapan adanya aroma persekongkolan politik di balik pengangkatannya.
Meskipun juga harus diakui bahwa pengangkatan jaksa agung yang berkedudukan setingkat menteri kabinet dalam sistem presidensial selama ini dinisbatkan sebagai hak prerogatif Presiden.
Bahkan, sangat kuat dugaan pengangkatan jaksa agung tersebut merupakan langkah untuk mengurangi tekanan terhadap kekuasaan politik Istana dari lingkungan internalnya sendiri di tengah gencarnya tekanan politik yang dilakukan oleh DPR yang kini sedang berupaya memosisikan diri sebagai penyeimbang dalam konstelasi checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Istana berupaya meminimalkan berbagai risiko politik dengan pengangkatan jaksa agung yang merupakan anggota aktif partai koalisi pendukung kampanye presiden dalam Koalisi Indonesia Hebat.
Sebagaimana diketahui, pintu masuk untuk proses pemakzulan presiden pastilah melalui proses penyidikan dan penuntutan oleh penegak hukum jika terjadi dugaan pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan maupun tindak berat lain atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh seorang presiden sebagaimana diatur oleh Pasal 7A UUD 1945.
Berdasarkan hasil temuan dalam kasuskasus hukum tersebut yang kemudian dibawa ke proses peradilan sampai menghasilkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, DPR bisa melangkah untuk mengajukan proses pemeriksaan ke Mahkamah Konstitusi dengan dukungan 2/3 suara anggota DPR dari 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang membahas proses pemakzulan seorang presiden.
Apabila berdasarkan bukti-bukti yang cukup Mahkamah Konstitusi memutuskan dipenuhinya persyaratan pemakzulan seorang presiden berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945, DPR dapat meneruskan usulan pemakzulan seorang presiden tersebut kepada MPR sebagaimana diatur oleh Pasal 7B ayat (6) UUD 1945.
Dengan gencarnya tekanan politik DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan politik saat ini, Istana berupaya meminimalisasi tekanan politik dari dalam tubuh eksekutif yang bisa dilakukan melalui kasus-kasus hukum dengan palu pengadilan yang bisa diarahkan ke Istana dan bisa menjadi jalan bagi proses pemakzulan seorang presiden.
Maka, tak mengherankan di tengah munculnya sederet nama independen dan berkualitas yang seharusnya lebih layak untuk diangkat sebagai jaksa agung, Presiden justru mengangkat seorang anggota parpol aktif untuk menjadi jaksa agung yang bisa ”menghitam-putihkan” kasus-kasus hukum. Sebelumnya, beberapa nama selain HM Prasetyo sempat muncul, seperti Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto, mantan Deputi UKP4 Mas Achmad Santosa, dan Kepala PPATK M Yusuf.
Dalam teori hukum organisasi pemerintah, kebijakan yang ditempuh oleh seorang pemimpin organisasi dengan pendekatan Goal Setting Theory seharusnya mengacu pada spesifikasi tujuan yang ditetapkan untuk dicapai sebuah organisasi (goal specifity ).
Dalam visi dan misi capres-cawapres yang nantinya harus dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional yang salah satunya adalah tujuan untuk melakukan apa yang selama ini gencar dikampanyekan sebagai ”revolusi mental birokrasi”, seharusnya pengangkatan jabatan-jabatan publik seperti jaksa agung yang mempersyaratkan tingkat independensi yang tinggi dalam pelaksanaan kewenangan, tak boleh mengangkat seseorang yang berlumur warna kepentingan partai politik.
Hal itu pasti akan mengarah pada politisasi hukum yang akan menyebabkan lumpuhnya penegakan hukum atas berbagai kasus hukum yang menyeret kepentingan sang penguasa. Akibatnya, gagasan untuk melaksanakan ”revolusi mental” di lingkungan kejaksaan justru akan ”mental” (dalam ungkapan bahasa Jawa yang artinya memantul alias tak mampu menembus ke dalam tubuh birokrasi kejaksaan).
Tak urung Ketua KPK Abraham Samad turut menyesalkan pengangkatan jaksa agung ”bertopi” parpol tersebut. Dalam pandangan Abraham, keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung tidak tepat. Banyak kalangan menilai, target untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu itu akan sulit dicapai. Apalagi jaksa agung yang diangkat berasal dari parpol dan juga pernah berada di internal Kejaksaan Agung.
Masalah internal birokrasi di lingkungan kejaksaan sejatinya juga bagian dari masalah yang harus diselesaikan sebagai bagian dari kampanye revolusi mental birokrasi. Di sisi lain, jaksa agung yang berlatar belakang parpol sangat tidak memberikan harapan karena diduga tidak objektif dalam melakukan penegakan hukum yang terkait dengan parpol.
Kejaksaan berpotensi disabotase kepentingan politik. Penegakan hukum yang objektif dan equal akan mustahil dicapai. Sejatinya, Jokowi-JK sesuai janji kampanyenya semasa pilpres lalu, kini memiliki momentum pembenahan menyeluruh terhadap seluruh alur proses penegakan hukum yang prosesnya di pengadilan sangat bertumpu pada kejaksaan.
Jokowi-JK yang di era kampanye mengesankan diri akan menjalankan politik perubahan (the politics of change ). Untuk melakukan perubahan di internal birokrasi kejaksaan dalam teori hukum organisasi pemerintah mempersyaratkan adanya aktor-aktor dari luar organisasi (outside change agents) dan aktor-aktor internal perubahan (internal change agents) yang mampu mendorong terjadinya perubahan.
Namun, dengan pengangkatan jaksa agung yang selain berasal dari internal dan sekaligus juga bagian dari kepentingan parpol, kedua teori tersebut hampir mustahil diterapkan. Hal yang justru mungkin terjadi adalah terjadinya involusi kebijakan revolusi mental birokrasi karena kedua latar belakang jaksa agung baru tersebut akan melibas aktor-aktor internal yang bersuara kritis terhadap kebutuhan akan perubahan dalam struktur birokrasi di lingkungan kejaksaan.
Bahkan, kini kebijakan Presiden dengan pengangkatan jaksa agung baru yang sulit menggambarkan wajah ”revolusi mental birokrasi”, justru menjadi bagian dari masalah yang terus bergulir di seputar gagalnya kapasitas birokrasi internal kejaksaan selama ini dalam menopang ”revolusi penegakan hukum”. Sungguh disayangkan jika gagasan revolusi mental yang ditunggutunggu publik justru kandas di tangan para pelaksana di lingkungan birokrasi yang gagal menerjemahkan gagasan tersebut dan pada saatnya justru melakukan ”kudeta merangkak” dari dalam lingkungan birokrasi sendiri.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung yang juga anggota partai politik aktif di Partai Nasdem sekaligus saat ini menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Nasdem sungguh mengejutkan.
Di tengah upaya Jokowi-JK melaksanakan revolusi mental birokrasi sesuai dengan janjinya semasa kampanye, publik justru dikejutkan dengan pilihan Presiden untuk mengangkat jaksa agung dengan latar belakang partai politik dan semasa berkarier di lingkungan kejaksaan dulu tak memiliki prestasi yang menonjol yang layak untuk membawanya ditempatkan sebagai jaksa agung.
Dengan pengangkatan jaksa agung tersebut yang notabene sangat kental berlatar belakang dari parpol yang di era pilpres merupakan bagian dari koalisi pendukung Jokowi-JK, sulit menepis anggapan adanya aroma persekongkolan politik di balik pengangkatannya.
Meskipun juga harus diakui bahwa pengangkatan jaksa agung yang berkedudukan setingkat menteri kabinet dalam sistem presidensial selama ini dinisbatkan sebagai hak prerogatif Presiden.
Bahkan, sangat kuat dugaan pengangkatan jaksa agung tersebut merupakan langkah untuk mengurangi tekanan terhadap kekuasaan politik Istana dari lingkungan internalnya sendiri di tengah gencarnya tekanan politik yang dilakukan oleh DPR yang kini sedang berupaya memosisikan diri sebagai penyeimbang dalam konstelasi checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Istana berupaya meminimalkan berbagai risiko politik dengan pengangkatan jaksa agung yang merupakan anggota aktif partai koalisi pendukung kampanye presiden dalam Koalisi Indonesia Hebat.
Sebagaimana diketahui, pintu masuk untuk proses pemakzulan presiden pastilah melalui proses penyidikan dan penuntutan oleh penegak hukum jika terjadi dugaan pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan maupun tindak berat lain atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh seorang presiden sebagaimana diatur oleh Pasal 7A UUD 1945.
Berdasarkan hasil temuan dalam kasuskasus hukum tersebut yang kemudian dibawa ke proses peradilan sampai menghasilkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, DPR bisa melangkah untuk mengajukan proses pemeriksaan ke Mahkamah Konstitusi dengan dukungan 2/3 suara anggota DPR dari 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang membahas proses pemakzulan seorang presiden.
Apabila berdasarkan bukti-bukti yang cukup Mahkamah Konstitusi memutuskan dipenuhinya persyaratan pemakzulan seorang presiden berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945, DPR dapat meneruskan usulan pemakzulan seorang presiden tersebut kepada MPR sebagaimana diatur oleh Pasal 7B ayat (6) UUD 1945.
Dengan gencarnya tekanan politik DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan politik saat ini, Istana berupaya meminimalisasi tekanan politik dari dalam tubuh eksekutif yang bisa dilakukan melalui kasus-kasus hukum dengan palu pengadilan yang bisa diarahkan ke Istana dan bisa menjadi jalan bagi proses pemakzulan seorang presiden.
Maka, tak mengherankan di tengah munculnya sederet nama independen dan berkualitas yang seharusnya lebih layak untuk diangkat sebagai jaksa agung, Presiden justru mengangkat seorang anggota parpol aktif untuk menjadi jaksa agung yang bisa ”menghitam-putihkan” kasus-kasus hukum. Sebelumnya, beberapa nama selain HM Prasetyo sempat muncul, seperti Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto, mantan Deputi UKP4 Mas Achmad Santosa, dan Kepala PPATK M Yusuf.
Dalam teori hukum organisasi pemerintah, kebijakan yang ditempuh oleh seorang pemimpin organisasi dengan pendekatan Goal Setting Theory seharusnya mengacu pada spesifikasi tujuan yang ditetapkan untuk dicapai sebuah organisasi (goal specifity ).
Dalam visi dan misi capres-cawapres yang nantinya harus dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional yang salah satunya adalah tujuan untuk melakukan apa yang selama ini gencar dikampanyekan sebagai ”revolusi mental birokrasi”, seharusnya pengangkatan jabatan-jabatan publik seperti jaksa agung yang mempersyaratkan tingkat independensi yang tinggi dalam pelaksanaan kewenangan, tak boleh mengangkat seseorang yang berlumur warna kepentingan partai politik.
Hal itu pasti akan mengarah pada politisasi hukum yang akan menyebabkan lumpuhnya penegakan hukum atas berbagai kasus hukum yang menyeret kepentingan sang penguasa. Akibatnya, gagasan untuk melaksanakan ”revolusi mental” di lingkungan kejaksaan justru akan ”mental” (dalam ungkapan bahasa Jawa yang artinya memantul alias tak mampu menembus ke dalam tubuh birokrasi kejaksaan).
Tak urung Ketua KPK Abraham Samad turut menyesalkan pengangkatan jaksa agung ”bertopi” parpol tersebut. Dalam pandangan Abraham, keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk HM Prasetyo sebagai jaksa agung tidak tepat. Banyak kalangan menilai, target untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu itu akan sulit dicapai. Apalagi jaksa agung yang diangkat berasal dari parpol dan juga pernah berada di internal Kejaksaan Agung.
Masalah internal birokrasi di lingkungan kejaksaan sejatinya juga bagian dari masalah yang harus diselesaikan sebagai bagian dari kampanye revolusi mental birokrasi. Di sisi lain, jaksa agung yang berlatar belakang parpol sangat tidak memberikan harapan karena diduga tidak objektif dalam melakukan penegakan hukum yang terkait dengan parpol.
Kejaksaan berpotensi disabotase kepentingan politik. Penegakan hukum yang objektif dan equal akan mustahil dicapai. Sejatinya, Jokowi-JK sesuai janji kampanyenya semasa pilpres lalu, kini memiliki momentum pembenahan menyeluruh terhadap seluruh alur proses penegakan hukum yang prosesnya di pengadilan sangat bertumpu pada kejaksaan.
Jokowi-JK yang di era kampanye mengesankan diri akan menjalankan politik perubahan (the politics of change ). Untuk melakukan perubahan di internal birokrasi kejaksaan dalam teori hukum organisasi pemerintah mempersyaratkan adanya aktor-aktor dari luar organisasi (outside change agents) dan aktor-aktor internal perubahan (internal change agents) yang mampu mendorong terjadinya perubahan.
Namun, dengan pengangkatan jaksa agung yang selain berasal dari internal dan sekaligus juga bagian dari kepentingan parpol, kedua teori tersebut hampir mustahil diterapkan. Hal yang justru mungkin terjadi adalah terjadinya involusi kebijakan revolusi mental birokrasi karena kedua latar belakang jaksa agung baru tersebut akan melibas aktor-aktor internal yang bersuara kritis terhadap kebutuhan akan perubahan dalam struktur birokrasi di lingkungan kejaksaan.
Bahkan, kini kebijakan Presiden dengan pengangkatan jaksa agung baru yang sulit menggambarkan wajah ”revolusi mental birokrasi”, justru menjadi bagian dari masalah yang terus bergulir di seputar gagalnya kapasitas birokrasi internal kejaksaan selama ini dalam menopang ”revolusi penegakan hukum”. Sungguh disayangkan jika gagasan revolusi mental yang ditunggutunggu publik justru kandas di tangan para pelaksana di lingkungan birokrasi yang gagal menerjemahkan gagasan tersebut dan pada saatnya justru melakukan ”kudeta merangkak” dari dalam lingkungan birokrasi sendiri.
(bbg)