Hak Ingkar atas Arbiter
A
A
A
HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang kerap digunakan pelaku usaha. Arbitrase merupakan alternatif dari pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa.
Meski dalam arbitrase dimungkinkan peran dari pengadilan, pengadilan harus ekstra-hati-hati dalam menjalankan perannya. Jangan sampai peran pengadilan dianggap sebagai intervensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Hak Ingkar
Salah satu yang mungkin dikesankan sebagai intervensi pengadilan atas proses arbitrase adalah hak ingkar dari arbiter yang ditunjuk. Hak ingkar atas arbiter adalah hak yang diberikan kepada pihak yang beperkara untuk diajukan keberatan atas arbiter yang menyelesaikan perkara.
Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase disebutkan, ”Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.” Intinya arbiter yang diajukan hak ingkar dapat dicoret dan diminta tidak menjadi arbiter dalam suatu perkara.
Memang dalam Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase pengadilan diberi peran. Pasal tersebut menyebutkan, ”Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada ketua pengadilan negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.”
Menjadi pertanyaan apakah ketentuan itu berlaku bagi arbitrase yang dilakukan secara permanen seperti di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? Apakah pengadilan mempunyai peran? Bolehkah pengadilan menerima tuntutan hak ingkar dari salah satu pihak yang beperkara? Jawaban secara tegas adalah pengadilan tidak dapat berperan ketika para pihak yang bersengketa memilih arbitrase permanen.
Hal ini mengacu pada Pasal 34 ayat (2) UU Arbitrase. Pasal tersebut menyebutkan, ”Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.”
Artinya apabila para pihak telah menunjuk BANI sebagai lembaga arbitrase yang menyelesaikan perkara mereka maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara BANI yang disebut sebagai Peraturan BANI. Perlu dipahami ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase hanya berlaku bagi arbitrase yang bersifat ad hoc atau arbitrase yang tidak permanen.
Peraturan BANI
Dalam Peraturan BANI disebutkan mengenai situasi di mana para pihak dalam beperkara tidak menyetujui arbiter tertentu. Dalam Pasal 10 ayat (5) paragraf (2) Peraturan BANI disebutkan, ”Dalam hal pihak-pihak tersebut tidak setuju dengan penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah diserahkan kepada ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak tersebut.”
Dari ketentuan di sini jelas bila ada hak ingkar atas arbiter tertentu, adalah kewenangan dari ketua BANI untuk memilih. Bahkan dalam Pasal 10 ayat (6) Peraturan BANI disebutkan, ”Keputusan atau persetujuan akhir mengenai penunjukan semua arbiter berada di tangan ketua BANI.”
Oleh karenanya adalah tidak tepat bila pengadilan berperan saat para pihak telah sepakat menyelesaikan sengketa mereka ke BANI dan ada pihak tertentu yang menuntut dicoretnya arbiter tertentu. Peraturan BANI harus menjadi acuan. Dalam proses berarbitrase, peran pengadilan harus dibatasi.
Peran tersebut hanya dilakukan apabila memang diperbolehkan oleh undang-undang. Peran yang besar dari pengadilan bahkan yang tidak didasarkan aturan yang jelas akan membuat proses penyelesaian perkara melalui arbitrase tidak berwibawa. Bahkan arbitrase sebagai alternatif lembaga penyelesaian sengketa selain pengadilan akan dijauhi dan ditinggalkan. Di sini pentingnya pengadilan tegas untuk menolak segala upaya untuk melibatkan dirinya dalam proses berarbitrase yang dilakukan pihak yang beperkara.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang kerap digunakan pelaku usaha. Arbitrase merupakan alternatif dari pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa.
Meski dalam arbitrase dimungkinkan peran dari pengadilan, pengadilan harus ekstra-hati-hati dalam menjalankan perannya. Jangan sampai peran pengadilan dianggap sebagai intervensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Hak Ingkar
Salah satu yang mungkin dikesankan sebagai intervensi pengadilan atas proses arbitrase adalah hak ingkar dari arbiter yang ditunjuk. Hak ingkar atas arbiter adalah hak yang diberikan kepada pihak yang beperkara untuk diajukan keberatan atas arbiter yang menyelesaikan perkara.
Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase disebutkan, ”Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.” Intinya arbiter yang diajukan hak ingkar dapat dicoret dan diminta tidak menjadi arbiter dalam suatu perkara.
Memang dalam Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase pengadilan diberi peran. Pasal tersebut menyebutkan, ”Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada ketua pengadilan negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.”
Menjadi pertanyaan apakah ketentuan itu berlaku bagi arbitrase yang dilakukan secara permanen seperti di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)? Apakah pengadilan mempunyai peran? Bolehkah pengadilan menerima tuntutan hak ingkar dari salah satu pihak yang beperkara? Jawaban secara tegas adalah pengadilan tidak dapat berperan ketika para pihak yang bersengketa memilih arbitrase permanen.
Hal ini mengacu pada Pasal 34 ayat (2) UU Arbitrase. Pasal tersebut menyebutkan, ”Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.”
Artinya apabila para pihak telah menunjuk BANI sebagai lembaga arbitrase yang menyelesaikan perkara mereka maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara BANI yang disebut sebagai Peraturan BANI. Perlu dipahami ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Arbitrase hanya berlaku bagi arbitrase yang bersifat ad hoc atau arbitrase yang tidak permanen.
Peraturan BANI
Dalam Peraturan BANI disebutkan mengenai situasi di mana para pihak dalam beperkara tidak menyetujui arbiter tertentu. Dalam Pasal 10 ayat (5) paragraf (2) Peraturan BANI disebutkan, ”Dalam hal pihak-pihak tersebut tidak setuju dengan penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah diserahkan kepada ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak tersebut.”
Dari ketentuan di sini jelas bila ada hak ingkar atas arbiter tertentu, adalah kewenangan dari ketua BANI untuk memilih. Bahkan dalam Pasal 10 ayat (6) Peraturan BANI disebutkan, ”Keputusan atau persetujuan akhir mengenai penunjukan semua arbiter berada di tangan ketua BANI.”
Oleh karenanya adalah tidak tepat bila pengadilan berperan saat para pihak telah sepakat menyelesaikan sengketa mereka ke BANI dan ada pihak tertentu yang menuntut dicoretnya arbiter tertentu. Peraturan BANI harus menjadi acuan. Dalam proses berarbitrase, peran pengadilan harus dibatasi.
Peran tersebut hanya dilakukan apabila memang diperbolehkan oleh undang-undang. Peran yang besar dari pengadilan bahkan yang tidak didasarkan aturan yang jelas akan membuat proses penyelesaian perkara melalui arbitrase tidak berwibawa. Bahkan arbitrase sebagai alternatif lembaga penyelesaian sengketa selain pengadilan akan dijauhi dan ditinggalkan. Di sini pentingnya pengadilan tegas untuk menolak segala upaya untuk melibatkan dirinya dalam proses berarbitrase yang dilakukan pihak yang beperkara.
(bbg)