Hargai Kemerdekaan Rakyat
A
A
A
DALAM menyambut peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69 tahun ini, ada satu realitas sosial yang patut dikritisi yaitu masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
Selama ini ada adagium yang selalu digaungkan: ”jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan pada negara”. Adagium ini perlu dibalik ”apa yang sudah diberikan negara (baca pemerintah) terhadap rakyat” sebab sudah 69 tahun kita merdeka, tetapi masih banyak rakyat yang miskin dan menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Padahal, makna hakiki ”kemerdekaan rakyat” bukan sekadar bebas menyampaikan pendapat, beraktivitas, dan berusaha, melainkan yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 28,28 juta jiwa (11,25%) dari total penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Apabila ditambahkan dengan rakyat yang mendekati garis kemiskinan (near poor), jumlahnya menjadi 100 juta jiwa. Ini menggambarkan masih banyak rakyat yang belum menikmati kehidupan yang lebih baik, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Salah satu penyebab utama kemiskinan rakyat adalah perilaku korupsi pegawai negeri dan penyelenggara negara yang mengemplang uang negara yang seharusnya digunakan untuk membuka lapangan kerja dan membangun infrastruktur. Pajak dan hasil pengelolaan kekayaan negara dicoleng oleh koruptor yang membuat program pemberdayaan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan menjadi terabaikan.
Merdeka dari Korupsi
Praktik korupsi yang terus mengganas yang ternyata disikapi secara permisif bukan tidak mungkin akan semakin menjauhkan rakyat dari kemerdekaan sejati. Pergantian pemerintahan setelah pemilihan presiden memang tidak menjamin rakyat akan merasakan hakikat kemerdekaan. Tetapi, harus tetap optimistis dan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai kehidupan baru.
Korupsi harus dilawan lantaran memiliki daya rusak yang sistemik dan berdampak masif. Korupsi terbukti menggerogoti semua potensi yang memungkinkan peningkatan kehidupan rakyat. Kita tidak akan pernah meraih hakikat merdeka sesuai cita-cita luhur para pahlawan dan pendiri negara jika semua potensi kehidupan rakyat dilumpuhkan oleh koruptor.
Meskipun banyak kasus korupsi diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, tetapi laksana gunung es, ditangkap satu tumbuh seribu. Ladang korupsi di sektor pajak dan minyak sebagai sumber pendapatan negara yang luar biasa besar bisa mengantar negeri ini ke jurang kehancuran. Maka itu, kita mengurut dada jika para koruptor dihukum ringan lantaran tidak menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara untuk tidak mewujudkan niatnya.
Peran presiden-wakil presiden baru yang akan diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) harus berani menunjuk tokoh di kabinet yang berintegritas, berani, dan tidak kenal kompromi dalam mencegah dan memerangi korupsi. Pemerintah, masyarakat, elite politik, dan tokoh masyarakat hendaknya mendidik masyarakat bahwa merdeka dari perilaku korupsi merupakan keniscayaan.
Semua warga bangsa harus berani memerangi korupsi, berani tidak memberi sogok saat mengurus keperluan dengan aparat birokrasi dan penegak hukum. Sekiranya ada aparat yang meminta uang pelicin, warga masyarakat tidak boleh takut melaporkannya kepada aparat hukum. Memberi sogok dan menerima suap harus dijadikan musuh bersama sebagai bukti ingin meraih hakikat kemerdekaan sejati.
Paham Kebangsaan
Nasionalisme sebagai manifestasi paham kebangsaan untuk senasib dan sepenanggungan dalam kehidupan bangsa harus terus digelorakan. Dari berbagai dimensi, nasionalisme belakangan ini mulai goyah akibat berbagai konflik dalam proses demokrasi. Saling menjatuhkan, caci-maki, dan saling mengklaim kebenaran yang cenderung memaksakan kehendak seharusnya sudah ditanggalkan.
Demokrasi lebih cenderung dijadikan instrumen yang menggiring rakyat dalam polarisasi secara antagonistik. Sekelompok elite politik yang mengklaim diri selalu benar pada hakikatnya dapat membuat nasionalisme tergerus oleh kepentingan politis. Jika fenomena ini terus menggejala, secara otomatis paham ”konstruksi kebangsaan” dapat mendegradasi keutuhan bangsa. Jangan pernah terjadi perbedaan pilihan dalam pilpres meruntuhkan nasionalisme.
Fenomena yang dapat mengancam paham nasionalisme (kebangsaan) harus segera diantisipasi agar masyarakat yang mulai terpolarisasi tidak terjebak pada romantisme historis dengan mencari wadah untuk mengembangkan diri dengan caranya sendiri. Paham kebangsaan perlu diorientasi dan diperkuat sebab nasionalisme adalah emosi, bukan institusi yang dalam realitasnya bukan produk utuh yang tahan waktu.
Setidaknya nasionalisme masa depan lebih diarahkan pada upaya menumbuhkan semangat sepenanggungan sebagai satu bangsa dengan meminimalisasi ketimpangan sosial-ekonomi, ketidakadilan hukum, dan politik (demokratisasi). Diperlukan dinamisasi dengan membuka penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi keberagaman bangsa (etnis, agama, dan kultur).
Semua persoalan diselesaikan secara demokratis, bahkan melalui mekanisme hukum seperti saat ini di Gedung MK, siapa pun pemenangnya harus diterima. Putusan politik seyogianya menjadi acuan untuk menguatkan paham nasionalisme untuk selalu bersatu setelah perbedaan pilihan memiliki legalitas hukum di MK. Hakikat nasionalisme seyogianya meminimalkan kesenjangan sosial-ekonomi, polarisasi masyarakat, serta keterbukaan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.
Jika secara simultan berbagai persoalan bisa diatasi, terutama menerima putusan hakim konstitusi, optimisme baru rakyat bisa tercapai. Menghargai kemerdekaan rakyat sekaligus menguatkan nasionalisme bukan sekadar menuntut hak, melainkan juga menghargai dan melaksanakan kewajiban sosial.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Selama ini ada adagium yang selalu digaungkan: ”jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan pada negara”. Adagium ini perlu dibalik ”apa yang sudah diberikan negara (baca pemerintah) terhadap rakyat” sebab sudah 69 tahun kita merdeka, tetapi masih banyak rakyat yang miskin dan menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Padahal, makna hakiki ”kemerdekaan rakyat” bukan sekadar bebas menyampaikan pendapat, beraktivitas, dan berusaha, melainkan yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 28,28 juta jiwa (11,25%) dari total penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Apabila ditambahkan dengan rakyat yang mendekati garis kemiskinan (near poor), jumlahnya menjadi 100 juta jiwa. Ini menggambarkan masih banyak rakyat yang belum menikmati kehidupan yang lebih baik, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Salah satu penyebab utama kemiskinan rakyat adalah perilaku korupsi pegawai negeri dan penyelenggara negara yang mengemplang uang negara yang seharusnya digunakan untuk membuka lapangan kerja dan membangun infrastruktur. Pajak dan hasil pengelolaan kekayaan negara dicoleng oleh koruptor yang membuat program pemberdayaan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan menjadi terabaikan.
Merdeka dari Korupsi
Praktik korupsi yang terus mengganas yang ternyata disikapi secara permisif bukan tidak mungkin akan semakin menjauhkan rakyat dari kemerdekaan sejati. Pergantian pemerintahan setelah pemilihan presiden memang tidak menjamin rakyat akan merasakan hakikat kemerdekaan. Tetapi, harus tetap optimistis dan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai kehidupan baru.
Korupsi harus dilawan lantaran memiliki daya rusak yang sistemik dan berdampak masif. Korupsi terbukti menggerogoti semua potensi yang memungkinkan peningkatan kehidupan rakyat. Kita tidak akan pernah meraih hakikat merdeka sesuai cita-cita luhur para pahlawan dan pendiri negara jika semua potensi kehidupan rakyat dilumpuhkan oleh koruptor.
Meskipun banyak kasus korupsi diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, tetapi laksana gunung es, ditangkap satu tumbuh seribu. Ladang korupsi di sektor pajak dan minyak sebagai sumber pendapatan negara yang luar biasa besar bisa mengantar negeri ini ke jurang kehancuran. Maka itu, kita mengurut dada jika para koruptor dihukum ringan lantaran tidak menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara untuk tidak mewujudkan niatnya.
Peran presiden-wakil presiden baru yang akan diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) harus berani menunjuk tokoh di kabinet yang berintegritas, berani, dan tidak kenal kompromi dalam mencegah dan memerangi korupsi. Pemerintah, masyarakat, elite politik, dan tokoh masyarakat hendaknya mendidik masyarakat bahwa merdeka dari perilaku korupsi merupakan keniscayaan.
Semua warga bangsa harus berani memerangi korupsi, berani tidak memberi sogok saat mengurus keperluan dengan aparat birokrasi dan penegak hukum. Sekiranya ada aparat yang meminta uang pelicin, warga masyarakat tidak boleh takut melaporkannya kepada aparat hukum. Memberi sogok dan menerima suap harus dijadikan musuh bersama sebagai bukti ingin meraih hakikat kemerdekaan sejati.
Paham Kebangsaan
Nasionalisme sebagai manifestasi paham kebangsaan untuk senasib dan sepenanggungan dalam kehidupan bangsa harus terus digelorakan. Dari berbagai dimensi, nasionalisme belakangan ini mulai goyah akibat berbagai konflik dalam proses demokrasi. Saling menjatuhkan, caci-maki, dan saling mengklaim kebenaran yang cenderung memaksakan kehendak seharusnya sudah ditanggalkan.
Demokrasi lebih cenderung dijadikan instrumen yang menggiring rakyat dalam polarisasi secara antagonistik. Sekelompok elite politik yang mengklaim diri selalu benar pada hakikatnya dapat membuat nasionalisme tergerus oleh kepentingan politis. Jika fenomena ini terus menggejala, secara otomatis paham ”konstruksi kebangsaan” dapat mendegradasi keutuhan bangsa. Jangan pernah terjadi perbedaan pilihan dalam pilpres meruntuhkan nasionalisme.
Fenomena yang dapat mengancam paham nasionalisme (kebangsaan) harus segera diantisipasi agar masyarakat yang mulai terpolarisasi tidak terjebak pada romantisme historis dengan mencari wadah untuk mengembangkan diri dengan caranya sendiri. Paham kebangsaan perlu diorientasi dan diperkuat sebab nasionalisme adalah emosi, bukan institusi yang dalam realitasnya bukan produk utuh yang tahan waktu.
Setidaknya nasionalisme masa depan lebih diarahkan pada upaya menumbuhkan semangat sepenanggungan sebagai satu bangsa dengan meminimalisasi ketimpangan sosial-ekonomi, ketidakadilan hukum, dan politik (demokratisasi). Diperlukan dinamisasi dengan membuka penyelenggaraan pemerintahan yang mengakomodasi keberagaman bangsa (etnis, agama, dan kultur).
Semua persoalan diselesaikan secara demokratis, bahkan melalui mekanisme hukum seperti saat ini di Gedung MK, siapa pun pemenangnya harus diterima. Putusan politik seyogianya menjadi acuan untuk menguatkan paham nasionalisme untuk selalu bersatu setelah perbedaan pilihan memiliki legalitas hukum di MK. Hakikat nasionalisme seyogianya meminimalkan kesenjangan sosial-ekonomi, polarisasi masyarakat, serta keterbukaan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.
Jika secara simultan berbagai persoalan bisa diatasi, terutama menerima putusan hakim konstitusi, optimisme baru rakyat bisa tercapai. Menghargai kemerdekaan rakyat sekaligus menguatkan nasionalisme bukan sekadar menuntut hak, melainkan juga menghargai dan melaksanakan kewajiban sosial.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(hyk)