Pendidikan dalam Visi-Misi Capres-Cawapres
A
A
A
MENGIKUTI putaran keempat debat capres-cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu 29 Juni 2014, yang menghadirkan calon wakil presiden Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla, telah memberi harapan besar akan terus berlanjutnya program-program strategis yang ada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), siapa pun yang kelak akan memimpin negeri ini.
Ini penting dijadikan pegangan sekaligus sebagai bahan untuk menentukan pilihan. Meski tidak secara spesifik dan panjang lebar menyebut soal Kurikulum 2013 –satu dari sekian banyak program di Kemendikbud– baik Hatta Rajasa maupun Jusuf Kalla, dalam bahasa lain telah bersepakat untuk tetap menomorsatukan bidang pendidikan dan menjalankan apa yang menjadi program strategis di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kerangka pemberian akses dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadi pokok bahasan dalam acara debat tersebut.
Program Afirmasi
Dalam konteks visi-misi dua pasangan capres-cawapres, jelas tergambar bahwa terkait dengan pemenuhan hak terhadap pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas, semua sepakat harus terus dilakukan. Memang capaian angka partisipasi kasar (APK) di jenjang SD dan SMP (baca: pendidikan dasar), rata-rata nasional telah tercapai, tapi jika ditelusuri lebih jauh di tingkat kabupaten/kota, masih ada sekitar 25 kabupaten/ kota yang APK-nya masih di bawah 75%.
Apa maknanya? Meski ketercapaian APK dalam wajib belajar sembilan tahun, sudah tercapai secara nasional, tapi tetap dibutuhkan program afirmasi pada kabupaten-kabupaten yang APK-nya masih di bawah rata-rata nasional, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terpencil) dengan tidak hanya memikirkan pada capaian semata, tapi juga pada upaya peningkatan kualitas, dengan berpedoman pada pemenuhan standar pelayanan umum secara bertahap. Penyediaan bantuan terutama bagi peserta didik kurang mampu, agar tidak putus sekolah dan pembangunan unit sekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), serta program rehabilitasi sekolah, menjadi titik perhatian, di samping upaya membangun budaya dan pola pikir di sebagian masyarakat yang masih menganggap sekolah hanya sekadar menghabiskan biaya, tanpa jaminan memperoleh lapangan kerja.
Kini beberapa program afirmasi memang sudah dijalankan, mulai dari pemberian beasiswa (BSM dan Bidikmisi), pengiriman guru ke daerah 3T (SM3T), afirmasi pendidikan menengah (Adem) 3T, afirmasi pendidikan tinggi (Adik), dan lainnya. Hasilnya cukup signifikan, jumlah anak-anak putus sekolah di tiap jenjang dapat dikurangi, sementara mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, terus bertambah. Sejalan dengan itu pulalah, maka dapat dilihat, visi-misi kedua pasangan capres-cawapres bersepakat untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun dengan biaya negara –istilah yang digunakan pasangan Prabowo-Hatta, atau wajib belajar 12 tahun bebas pungutan –bahasa pasangan Jokowi-JK.
Dalam kebijakan yang kini berjalan program wajib belajar 12 tahun, dikenal sebagai pendidikan menengah universal (PMU), di mana peserta didik jenjang SMA/SMK mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS). Kita optimistis, ke depan siapa pun yang nanti terpilih, program wajib belajar 12 tahun (baca: PMU) tetap akan dijalankan, sesuai visi-misi yang diusung kedua pasangan Capres-Cawapres, dan ini terkait pula dengan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, sekaligus mengubah struktur ketenagakerjaan yang ada saat masih terbilang belum kompetitif.
Tentu ini semua dilakukan dalam upaya mengejar ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa (baca: Global Comvetitivenes Index—GCI). Laporan data Statistik World Bank2011dan TheGlobalCompetitiveness Report2010-2011, menyajikan data, bahwa lama sekolah (baca:makin tinggi mengenyam pendidikan) berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI).
Mutu Lulusan
Lalu bagaimana visi-misi dua pasangan capres-cawapres berkait dengan kualitas? Keduanya sepakat untuk menitikberatkannya pada peningkatan kualitas pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat kurikulum dan upaya peningkatan kesejahteraan guru. Pasangan Prabowo-Hatta menggunakan istilah merevisi kurikulum nasional dengan memantapkan pengembangan budaya lokal bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sementara Jokowi-JK, memakai istilah memperjuangkan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan aspek nasional. Berbicara kurikulum memang tidak hanya sebatas pada mata pelajaran (standar isi), karena di dalam kurikulum itu ada empat aspek dari delapan standar pendidikan, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, yaitu standar kompetensi lulusan; standar isi, standar proses pembelajaran; dan proses penilaian.
Kini Kurikulum 2013 sudah disiapkan dengan mempertimbangkan keempat standar itu, yang memasukkan unsur sikap (sosial dan spiritual), pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang dan utuh, serta tidak berdiri sendiri, tetapi ada dalam tiap tema atau topik bahasan pelajaran. Sehingga tiap guru dan tiap mata pelajaran punya kontribusi yang sama dalam membekali peserta didik terkait sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pengembangan Guru
Tentu berbicara kurikulum belumlah lengkap ketika tidak menyentuh pada persoalan guru. Karena kurikulum yang baik, jika tidak disampaikan dengan baik oleh guru yang memiliki pengetahuan memadai maka kurikulum tinggallah kurikulum. Sebaliknya guru yang baik dengan tingkat pengetahuan memadai, jika tidak disiapkan dengan rancangan kurikulum yang baik, juga akan sia-sia. Itulah sebabnya keduanya harus dijalankan secara bersama-sama, seiring sejalan, karena memang keduanya–kurikulum dan guru–tidak bisa dipisahkan.
Pada titik ini pulalah, hal penting berkait dengan implementasi Kurikulum 2013 adalah guru. Pemerintah sekarang telah merintis upaya untuk pengembangan guru secara komprehensif dan terpadu melalui model ”segitiga sama sisi”. Di mana alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sedang dua sisi lainnya masing-masing berkait dengan pengukuran dan peningkatan kinerja; dan peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah bentuk segitiga yang kukuh, tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh yang satu sama lain saling berhubungan.
Nasib UN
Hal penting lain yang menjadi titik perhatian publik terkait dengan visi-misi bidang pendidikan capres-cawapres adalah pelaksanaan ujian nasional (UN). Bagaimana nasib UN pada pemerintahan ke depan? Dalam pandangan kedua pasangan capres-cawapres, UN diposisikan sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran, yang di dalamnya selalu ada evaluasi atau proses penilaian, sebagaimana ada dalam satu kesatuan kurikulum. Karena itu, UN ke depan sudah dapat dipastikan akan mengalami perubahan (baca: bukan dihapuskan). Hal ini tentu sejalan dengan penerapan penilaian pada Kurikulum 2013, yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif semata, tapi juga aspek psikomotorik dan afektif peserta didik.
Jelas, melihat visi-misi kedua pasangan capres-cawapres yang tergambar baik dalam pernyataan-pernyataan saat kampanye, maupun dalam acara debat, pendidikan tetap menjadi hal utama untuk menjadikan bangsa ini lebih baik lagi. Kata kuncinya kedua pasangan sama-sama menekankan pentingnya pengawasan, akuntabilitas, transparansi dalam pemanfaatan anggaran pendidikan, sehingga bisa lebih efektif dan tepat sasaran serta penggunaan.
Tentu tulisan ini tidak hendak menggiring dan mengarahkan pembaca untuk memilih satu di antara kedua pasangan capres-cawapres, tapi lebih pada mengingatkan kepada kedua pasangan, agar mengetahui bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam visi-misi mereka, sebagian sudah dijalankan pada pemerintahan saat ini. Tinggal melanjutkan apa yang baik dan membuang apa yang kurang baik, sekaligus menambah apaapa yang dianggap belum dilakukan. Acuannya tentu sebagaimana yang ada dalam tahapan pembangunan, yaitu rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Semoga!
SUKEMI
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
Ini penting dijadikan pegangan sekaligus sebagai bahan untuk menentukan pilihan. Meski tidak secara spesifik dan panjang lebar menyebut soal Kurikulum 2013 –satu dari sekian banyak program di Kemendikbud– baik Hatta Rajasa maupun Jusuf Kalla, dalam bahasa lain telah bersepakat untuk tetap menomorsatukan bidang pendidikan dan menjalankan apa yang menjadi program strategis di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kerangka pemberian akses dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadi pokok bahasan dalam acara debat tersebut.
Program Afirmasi
Dalam konteks visi-misi dua pasangan capres-cawapres, jelas tergambar bahwa terkait dengan pemenuhan hak terhadap pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas, semua sepakat harus terus dilakukan. Memang capaian angka partisipasi kasar (APK) di jenjang SD dan SMP (baca: pendidikan dasar), rata-rata nasional telah tercapai, tapi jika ditelusuri lebih jauh di tingkat kabupaten/kota, masih ada sekitar 25 kabupaten/ kota yang APK-nya masih di bawah 75%.
Apa maknanya? Meski ketercapaian APK dalam wajib belajar sembilan tahun, sudah tercapai secara nasional, tapi tetap dibutuhkan program afirmasi pada kabupaten-kabupaten yang APK-nya masih di bawah rata-rata nasional, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terpencil) dengan tidak hanya memikirkan pada capaian semata, tapi juga pada upaya peningkatan kualitas, dengan berpedoman pada pemenuhan standar pelayanan umum secara bertahap. Penyediaan bantuan terutama bagi peserta didik kurang mampu, agar tidak putus sekolah dan pembangunan unit sekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), serta program rehabilitasi sekolah, menjadi titik perhatian, di samping upaya membangun budaya dan pola pikir di sebagian masyarakat yang masih menganggap sekolah hanya sekadar menghabiskan biaya, tanpa jaminan memperoleh lapangan kerja.
Kini beberapa program afirmasi memang sudah dijalankan, mulai dari pemberian beasiswa (BSM dan Bidikmisi), pengiriman guru ke daerah 3T (SM3T), afirmasi pendidikan menengah (Adem) 3T, afirmasi pendidikan tinggi (Adik), dan lainnya. Hasilnya cukup signifikan, jumlah anak-anak putus sekolah di tiap jenjang dapat dikurangi, sementara mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, terus bertambah. Sejalan dengan itu pulalah, maka dapat dilihat, visi-misi kedua pasangan capres-cawapres bersepakat untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun dengan biaya negara –istilah yang digunakan pasangan Prabowo-Hatta, atau wajib belajar 12 tahun bebas pungutan –bahasa pasangan Jokowi-JK.
Dalam kebijakan yang kini berjalan program wajib belajar 12 tahun, dikenal sebagai pendidikan menengah universal (PMU), di mana peserta didik jenjang SMA/SMK mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS). Kita optimistis, ke depan siapa pun yang nanti terpilih, program wajib belajar 12 tahun (baca: PMU) tetap akan dijalankan, sesuai visi-misi yang diusung kedua pasangan Capres-Cawapres, dan ini terkait pula dengan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, sekaligus mengubah struktur ketenagakerjaan yang ada saat masih terbilang belum kompetitif.
Tentu ini semua dilakukan dalam upaya mengejar ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa (baca: Global Comvetitivenes Index—GCI). Laporan data Statistik World Bank2011dan TheGlobalCompetitiveness Report2010-2011, menyajikan data, bahwa lama sekolah (baca:makin tinggi mengenyam pendidikan) berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI).
Mutu Lulusan
Lalu bagaimana visi-misi dua pasangan capres-cawapres berkait dengan kualitas? Keduanya sepakat untuk menitikberatkannya pada peningkatan kualitas pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat kurikulum dan upaya peningkatan kesejahteraan guru. Pasangan Prabowo-Hatta menggunakan istilah merevisi kurikulum nasional dengan memantapkan pengembangan budaya lokal bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sementara Jokowi-JK, memakai istilah memperjuangkan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan aspek nasional. Berbicara kurikulum memang tidak hanya sebatas pada mata pelajaran (standar isi), karena di dalam kurikulum itu ada empat aspek dari delapan standar pendidikan, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, yaitu standar kompetensi lulusan; standar isi, standar proses pembelajaran; dan proses penilaian.
Kini Kurikulum 2013 sudah disiapkan dengan mempertimbangkan keempat standar itu, yang memasukkan unsur sikap (sosial dan spiritual), pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang dan utuh, serta tidak berdiri sendiri, tetapi ada dalam tiap tema atau topik bahasan pelajaran. Sehingga tiap guru dan tiap mata pelajaran punya kontribusi yang sama dalam membekali peserta didik terkait sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pengembangan Guru
Tentu berbicara kurikulum belumlah lengkap ketika tidak menyentuh pada persoalan guru. Karena kurikulum yang baik, jika tidak disampaikan dengan baik oleh guru yang memiliki pengetahuan memadai maka kurikulum tinggallah kurikulum. Sebaliknya guru yang baik dengan tingkat pengetahuan memadai, jika tidak disiapkan dengan rancangan kurikulum yang baik, juga akan sia-sia. Itulah sebabnya keduanya harus dijalankan secara bersama-sama, seiring sejalan, karena memang keduanya–kurikulum dan guru–tidak bisa dipisahkan.
Pada titik ini pulalah, hal penting berkait dengan implementasi Kurikulum 2013 adalah guru. Pemerintah sekarang telah merintis upaya untuk pengembangan guru secara komprehensif dan terpadu melalui model ”segitiga sama sisi”. Di mana alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sedang dua sisi lainnya masing-masing berkait dengan pengukuran dan peningkatan kinerja; dan peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah bentuk segitiga yang kukuh, tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh yang satu sama lain saling berhubungan.
Nasib UN
Hal penting lain yang menjadi titik perhatian publik terkait dengan visi-misi bidang pendidikan capres-cawapres adalah pelaksanaan ujian nasional (UN). Bagaimana nasib UN pada pemerintahan ke depan? Dalam pandangan kedua pasangan capres-cawapres, UN diposisikan sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran, yang di dalamnya selalu ada evaluasi atau proses penilaian, sebagaimana ada dalam satu kesatuan kurikulum. Karena itu, UN ke depan sudah dapat dipastikan akan mengalami perubahan (baca: bukan dihapuskan). Hal ini tentu sejalan dengan penerapan penilaian pada Kurikulum 2013, yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif semata, tapi juga aspek psikomotorik dan afektif peserta didik.
Jelas, melihat visi-misi kedua pasangan capres-cawapres yang tergambar baik dalam pernyataan-pernyataan saat kampanye, maupun dalam acara debat, pendidikan tetap menjadi hal utama untuk menjadikan bangsa ini lebih baik lagi. Kata kuncinya kedua pasangan sama-sama menekankan pentingnya pengawasan, akuntabilitas, transparansi dalam pemanfaatan anggaran pendidikan, sehingga bisa lebih efektif dan tepat sasaran serta penggunaan.
Tentu tulisan ini tidak hendak menggiring dan mengarahkan pembaca untuk memilih satu di antara kedua pasangan capres-cawapres, tapi lebih pada mengingatkan kepada kedua pasangan, agar mengetahui bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam visi-misi mereka, sebagian sudah dijalankan pada pemerintahan saat ini. Tinggal melanjutkan apa yang baik dan membuang apa yang kurang baik, sekaligus menambah apaapa yang dianggap belum dilakukan. Acuannya tentu sebagaimana yang ada dalam tahapan pembangunan, yaitu rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Semoga!
SUKEMI
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
(hyk)