Agenda Ekonomi Capres
A
A
A
GENDERANG kampanye presiden sudah dimulai. Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan nomor 2, Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla akan semakin intensif mengomunikasikan visi, misi, dan agenda ekonomi kepada masyarakat.
Jika diperhatikan, visi dua calon presiden (capres) tersebut memiliki artikulasi yang tidak jauh berbeda dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025yaitu”Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.
Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 disebutkan Indonesia akan menjadi negara maju (upper middle-income) pada 2025 dengan pendapatan per kapita sekitar USD14.250-15.500. Dengan demikian, kepemimpinan baru 2014-2019 akan menjadi fase antara untuk menghantarkan Indonesia menuju negara maju.
Ini tentu tidak mudah dan mencapai pertumbuhan tinggi bukan menjadi determinan tunggal untuk menjadi negara maju. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pemerintah mendatang yaitu meningkatkan kualitas pertumbuhan.
Ini tentu saja menghendaki ada perbaikan dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, namun juga perbaikan kualitas lingkungan hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, sangatlah penting untuk menuntaskan empat permasalahan struktural yaitu: (i) turunnya produktivitas; (ii) rendahnya kemampuan dasar industri manufaktur dan struktur industri yang timpang; (iii) stagnasi produktivitas sektor pertanian dan ketahanan pangan; dan (iv) kapabilitas teknologi yang rendah.
Walaupun sudah terlihat ada upaya untuk melakukan reformasi struktural dari masingmasing capres, agenda yang ada bukanlah terlepas dari program pemerintah periode sebelumnya. Kegagalan dan keberhasilan agenda pembangunan masa lalu perlu menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru untuk membuat kebijakan ekonomi yang lebih baik. Becermin dari pelajaran kebijakan ekonomi yang pernah ada, tulisan ini untuk menggugah masyarakat agar tetap kritis dalam memaknai janji-janji pasangan calon presiden.
Kritik Agenda Capres Prabowo
Kritik umum saat membaca visi-misi capres Prabowo yaitu cukup banyak target kuantitatif yang tertuang dalam sembilan lembar kertas kerja mereka di antaranya belanja untuk membangun kawasan ekonomi khusus yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp26 triliun, membangun 2.000 tower rumah susun, mengalokasikan dana sebesar Rp1 miliar per desa/kelurahan per tahun, alokasi dana perbaikan fasilitas sekolah sebesar Rp150 juta per sekolah. Capres Prabowo juga berjanji untuk menghapus pinjaman luar negeri pada 2019 dan mencapai defisit anggaran sebesar 1% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017.
Dengan demikian, guna membiayai agenda pembangunan, capres Prabowo perlu menggalang pendapatan dalam negeri (baik pajak dan bukan pajak) dan mengembangkan pembiayaan dalam negeri (obligasi dalam negeri). Pada waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi akan dipacu hingga 10% dan target porsi belanja negara mencapai minimal 19% dari PDB. Dalam kerangka analisis ekonomi, target-target tersebut sulit dicapai untuk dua alasan utama. Pertama, jika pemerintah dan dunia swasta berebut sumber pendanaan dalam negeri, akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat.
Kondisi ini akan menurunkan kegiatan investasi sektor swasta (istilah ekonomi disebut crowding out). Akibat itu, pihak swasta akan mengandalkan pada pembiayaan luar negeri yang lebih murah. Kondisi ini tengah terjadi dan pemerintah perlu mengawasi perkembangan utang swasta untuk mengantisipasi dampak terburuk yang dapat terjadi. Kedua, target pertumbuhan ekonomi 10% merupakan hal yang sangat berat untuk dicapai dan target tersebut merupakan target tertinggi sejak Indonesia merdeka.
Kondisi pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat, dan perkembangan ekspor yang kurang menyenangkan, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sejak 2011. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi (overheating) dapat memicu inflasi yang tidak saja merugikan masyarakatmiskin, tapijugabisamendorong ketimpangan pendapatan yang makin melebar.
Kritik Agenda Capres Jokowi
Janji Jokowi tidak kalah banyak dengan Prabowo misalkan pencanangan 1.000 Desa Daulat Benih, program 1.000 Desa Organik, pembangunan monorel atau bawah tanah (underground), membangun 50.000 rumah sehat, 6.000 puskesmas, renovasi 5.000 pasar tradisional, dan lainnya.
Tentu saja program-program serupa juga sudah banyak berjalan baik yang dilakukan atas inisiasi pemerintah pusat/ daerah dan badan usaha milik negara. Misalkan program rehabilitasi sekolah yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rehabilitasi pasar yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, ataupun program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan.
Kendala utama dalam menjalankan program-program yang inklusif yaitu masing-masing program umumnya saling berjalan sendiri-sendiri. Lemahnya keterpaduan dan keberlanjutan program membuat banyak program berjalan tidak efektif. Misalkan upaya pengembangan desa organik dalam kondisi perilaku industri yang masih mencemari lingkungan.
Keberadaan pasar tradisional dan modern yang saling bersaing berebut pembeli. Program-program seperti ini juga tidak ubahnya dengan mega proyek yang syarat penyimpangan dan korupsi. Demikian pula, kebijakan Jokowi untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektare menjadi 2 hektare per KK juga bukan hal mudah terutama di wilayah Jawa.
Di balik cerita sukses transmigran asal Jawa, juga banyak kegagalan yang terjadi. Terlebih dua tantangan sektor pertanian saat ini yaitu kepemilikan lahan yang banyak terkonsentrasi pada kelompok pemodal besar dan kecenderungan nilai tukar petani yang makin melemah, mendesak dilakukannya kebijakan afirmatif bagi para petani gurem.
Tantangan Kepemimpinan
Penting untuk melihat dalam debat capres nanti bagaimana masing-masing kandidat dapat mencari kesepakatan dari banyak target pembangunan yang dapat saling bertentangan. Misalkan dalam ideologi negara pembangunan (developmental state), pememerintah perlu meletakkan kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan secara berimbang (the development triangle). Demikian pula, dalam banyak keterbatasan (anggaran dan personel), skala prioritas menjadi sangat penting dilakukan.
Lebih jauh bagaimana gaya kepemimpinan (otoriter dan humanis) dan pengalaman dari masing-masing pasangan capres untuk dapat mengatasi masalah juga penting untuk dicermati. Dalam hal ideologi pembangunan ekonomi kedua pasangan relatif sama, namun keberhasilan pembangunan akan lebih banyak ditentukan oleh agenda prioritas dan cara (the art) untuk mencapai tujuan tersebut.
MAXENSIUS TRI SAMBODO
Peneliti di Puslit Ekonomi–LIPI, Visiting Fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura
Jika diperhatikan, visi dua calon presiden (capres) tersebut memiliki artikulasi yang tidak jauh berbeda dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025yaitu”Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.
Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 disebutkan Indonesia akan menjadi negara maju (upper middle-income) pada 2025 dengan pendapatan per kapita sekitar USD14.250-15.500. Dengan demikian, kepemimpinan baru 2014-2019 akan menjadi fase antara untuk menghantarkan Indonesia menuju negara maju.
Ini tentu tidak mudah dan mencapai pertumbuhan tinggi bukan menjadi determinan tunggal untuk menjadi negara maju. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pemerintah mendatang yaitu meningkatkan kualitas pertumbuhan.
Ini tentu saja menghendaki ada perbaikan dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, namun juga perbaikan kualitas lingkungan hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, sangatlah penting untuk menuntaskan empat permasalahan struktural yaitu: (i) turunnya produktivitas; (ii) rendahnya kemampuan dasar industri manufaktur dan struktur industri yang timpang; (iii) stagnasi produktivitas sektor pertanian dan ketahanan pangan; dan (iv) kapabilitas teknologi yang rendah.
Walaupun sudah terlihat ada upaya untuk melakukan reformasi struktural dari masingmasing capres, agenda yang ada bukanlah terlepas dari program pemerintah periode sebelumnya. Kegagalan dan keberhasilan agenda pembangunan masa lalu perlu menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru untuk membuat kebijakan ekonomi yang lebih baik. Becermin dari pelajaran kebijakan ekonomi yang pernah ada, tulisan ini untuk menggugah masyarakat agar tetap kritis dalam memaknai janji-janji pasangan calon presiden.
Kritik Agenda Capres Prabowo
Kritik umum saat membaca visi-misi capres Prabowo yaitu cukup banyak target kuantitatif yang tertuang dalam sembilan lembar kertas kerja mereka di antaranya belanja untuk membangun kawasan ekonomi khusus yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp26 triliun, membangun 2.000 tower rumah susun, mengalokasikan dana sebesar Rp1 miliar per desa/kelurahan per tahun, alokasi dana perbaikan fasilitas sekolah sebesar Rp150 juta per sekolah. Capres Prabowo juga berjanji untuk menghapus pinjaman luar negeri pada 2019 dan mencapai defisit anggaran sebesar 1% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017.
Dengan demikian, guna membiayai agenda pembangunan, capres Prabowo perlu menggalang pendapatan dalam negeri (baik pajak dan bukan pajak) dan mengembangkan pembiayaan dalam negeri (obligasi dalam negeri). Pada waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi akan dipacu hingga 10% dan target porsi belanja negara mencapai minimal 19% dari PDB. Dalam kerangka analisis ekonomi, target-target tersebut sulit dicapai untuk dua alasan utama. Pertama, jika pemerintah dan dunia swasta berebut sumber pendanaan dalam negeri, akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat.
Kondisi ini akan menurunkan kegiatan investasi sektor swasta (istilah ekonomi disebut crowding out). Akibat itu, pihak swasta akan mengandalkan pada pembiayaan luar negeri yang lebih murah. Kondisi ini tengah terjadi dan pemerintah perlu mengawasi perkembangan utang swasta untuk mengantisipasi dampak terburuk yang dapat terjadi. Kedua, target pertumbuhan ekonomi 10% merupakan hal yang sangat berat untuk dicapai dan target tersebut merupakan target tertinggi sejak Indonesia merdeka.
Kondisi pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat, dan perkembangan ekspor yang kurang menyenangkan, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sejak 2011. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi (overheating) dapat memicu inflasi yang tidak saja merugikan masyarakatmiskin, tapijugabisamendorong ketimpangan pendapatan yang makin melebar.
Kritik Agenda Capres Jokowi
Janji Jokowi tidak kalah banyak dengan Prabowo misalkan pencanangan 1.000 Desa Daulat Benih, program 1.000 Desa Organik, pembangunan monorel atau bawah tanah (underground), membangun 50.000 rumah sehat, 6.000 puskesmas, renovasi 5.000 pasar tradisional, dan lainnya.
Tentu saja program-program serupa juga sudah banyak berjalan baik yang dilakukan atas inisiasi pemerintah pusat/ daerah dan badan usaha milik negara. Misalkan program rehabilitasi sekolah yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rehabilitasi pasar yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, ataupun program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan.
Kendala utama dalam menjalankan program-program yang inklusif yaitu masing-masing program umumnya saling berjalan sendiri-sendiri. Lemahnya keterpaduan dan keberlanjutan program membuat banyak program berjalan tidak efektif. Misalkan upaya pengembangan desa organik dalam kondisi perilaku industri yang masih mencemari lingkungan.
Keberadaan pasar tradisional dan modern yang saling bersaing berebut pembeli. Program-program seperti ini juga tidak ubahnya dengan mega proyek yang syarat penyimpangan dan korupsi. Demikian pula, kebijakan Jokowi untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektare menjadi 2 hektare per KK juga bukan hal mudah terutama di wilayah Jawa.
Di balik cerita sukses transmigran asal Jawa, juga banyak kegagalan yang terjadi. Terlebih dua tantangan sektor pertanian saat ini yaitu kepemilikan lahan yang banyak terkonsentrasi pada kelompok pemodal besar dan kecenderungan nilai tukar petani yang makin melemah, mendesak dilakukannya kebijakan afirmatif bagi para petani gurem.
Tantangan Kepemimpinan
Penting untuk melihat dalam debat capres nanti bagaimana masing-masing kandidat dapat mencari kesepakatan dari banyak target pembangunan yang dapat saling bertentangan. Misalkan dalam ideologi negara pembangunan (developmental state), pememerintah perlu meletakkan kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan secara berimbang (the development triangle). Demikian pula, dalam banyak keterbatasan (anggaran dan personel), skala prioritas menjadi sangat penting dilakukan.
Lebih jauh bagaimana gaya kepemimpinan (otoriter dan humanis) dan pengalaman dari masing-masing pasangan capres untuk dapat mengatasi masalah juga penting untuk dicermati. Dalam hal ideologi pembangunan ekonomi kedua pasangan relatif sama, namun keberhasilan pembangunan akan lebih banyak ditentukan oleh agenda prioritas dan cara (the art) untuk mencapai tujuan tersebut.
MAXENSIUS TRI SAMBODO
Peneliti di Puslit Ekonomi–LIPI, Visiting Fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura
(nfl)