Pesta demokrasi

Minggu, 06 April 2014 - 09:18 WIB
Pesta demokrasi
Pesta demokrasi
A A A
DI mana-mana yang namanya ”pesta” selalu bermakna keceriaan, sukasuka, dan hura-hura. Tidak ada orang berpesta, tetapi harus berpikir serius seperti anak sekolah sedang mengejakan PR (pekerjaan rumah) atau pengusaha sedang menghitung budget untuk memenangkan tender.

Pesta dan serius adalah dua hal yang bertolak belakang. Sesudah orang serius sekian lama, bolehlah sesekali orang berpesta: pesta ulang tahun, pesta HUT DKI, pesta tahun baru, pesta lulus sekolah, atau pesta yang lain. Pesta miras (minuman keras) atau pesta narkoba bahkan disebut pesta juga karena memang isinya hanya hura-hura belaka.

Tetapi di samping hura-hura, ada dua ciri lain dari setiap pesta. Yang pertama, persiapannya biasanya serius. Makin tinggi tingkat keriaan yang diharapkan makin serius persiapannya. Ibu-ibu yang mau memestakan ulang tahun anaknya sudah memikirkannya sejak lama.

Dia cari lokasi yang baik, yang banyak mainan anak-anaknya. Dan para ibunya juga senang karena bisa makan enak, dia siapkan tukang sulap yang paling pinter ngibulin anak kecil dan sebagainya. Kalau suatu pesta mengandung unsur surprise, persiapannya lebih rumit lagi karena orang-orang tertentu harus diajak kongkalikong untuk membuat sasaran terkejut dan akhirnya tertawa bahagia.

Pesta miras dan narkoba pun perlu persiapan yang serius, mulai pengadaan barangnya sampai pemilihan tempat yang aman dari pengawasan polisi. Ciri kedua dari pesta adalah bahwa pada saat pesta ada anomali (kelainan) yang justru diperbolehkan bahkan disarankan untuk memeriahkan pesta itu.

Di pesta Valentine semua berpakaian warna pink, di pesta Halloween semua orang bertopeng yang seramseram, malah ada yang pakai baju pocong, yaitu baju-baju yang tidak akan dipakai ke sekolah misalnya. Di HUT DKI ada kembang api yang di malam takbiran pun dilarang. Di pesta tahun baru, pas jam 00.00 orang-orang cikaciki (artinya: cium-kanan cium- kiri walaupun bukan muhrim), yang berbeda dari cipika-cipiki (cium-pipi-kanan cium- pipi-kiri) yang lazim dilakukan di Indonesia (walaupun dengan sesama jenis). Apalagi kalau pesta miras atau narkoba, pasti hampir seluruhnya anomali.

Ciri yang terakhir adalah pascapesta, biasanya orangorang langsung pulang, kembali ke urusan masing-masing, barangkali masih tersenyamsenyum mengingat-ingat betapa serunya pesta barusan, tetapi sesudah itu lupa. Urusan- urusan pascapesta biasanya dilakukan oleh OB (office boy), atau PRT (pembantu rumah tangga), atau Dinas Kebersihan, bahkan tidak jarang sampah terserak begitu saja di bekas lokasi pesta (biasanya di tempat umum) tanpa ada yang membereskannya.

Untuk menghindari itu, sekarang ada yang namanya WO (wedding organizer) yaitu perusahaan yang mengurus pesta perkawinan dari mulai persiapannya sampai bersih-bersih pascapestanya sehingga keluarga dua mempelai bisa tidur nyenyak pascapesta (walaupun kedua mempelai sendiri biasanya tidak tidur semalaman karena asyik saling bereksperimen). Karena ciri-ciri pesta yang seperti itu, saya tidak habis pikir, mengapa pemilu selalu disebut sebagai ”pesta demokrasi”?

Wajarlah kalau di setiap pemilu selalu ramai dengan pagelaran musik dangdut, dengan menghadirkan penyanyi montok seronok, dan selalu ada pembagian uang sebagai tanda ikut bersukacita (sama dengan kebiasaan angpau atau bagi-bagi duit di hari raya Imlek atau Idul Fitri), yang katanya tidak ada kaitannya dengan politik uang.

Wajarlah kalau banyak yang golput karena mereka pikir pemilu ini bukan hal yang serius, cuma orang pesta-pesta saja. Pantas juga jika setelah pemilu tidak ada orang yang memikirkan bagaimana kelanjutannya, tidak ada yang mau bertanggung jawab.

Namanya juga pesta. Pascapesta bagian OB atau Dinas Kebersihanlah yang mengurus. Wajar juga kalau di pesta demokrasi itu ada konflik, berantem, tawuran, malah bunuh-bunuhan. Tengoklah pesta-pesta dangdut atau musik rock yang sering diselenggarakan di mana-mana, hampir selalu berakhir dengan ricuh, tonjok-tonjokkan, ataupun tawuran, bahkan beberapa di antaranya sampai ada yang tewas. Gara-garanya hanya saling senggol (namanya juga goyang itik, pastilah senggol-senggolan, mana ada gerombolan itik tidak senggol-senggolan).

Padahal sebenarnya pemilu adalah hal yang sangat serius banget. Waktu orang sedang mencoblos itu pada hakikatnya sama dengan seorang anak sekolah yang akhirnya melingkari satu jawaban dari pilihan ganda yaitu setelah ia berpikir serius untuk beberapa saat (bahkan kalau itu PR yang dikerjakan di rumah, anak itu sudah bertanya ke papa-mamanya, ke kakak, ke PRT, bahkan ke satpamnya dulu sebelum ia melingkari jawaban yang benar yang justru didapat dari satpamnya). Untuk kerja serius itu, persiapan pemilu juga sangat serius.

Serangkaian UU harus disiapkan dan disahkan, KPU pusat dan daerah dibentuk dan dilantik, begitu pula Bawaslu, parpol pesertapemiluperludidaftarkan, diverifikasi dan disahkan, DPT dicek jangan sampai ada WNI yang kehilangan haknya dan seterusnya. Sedemikian rupa sehingga pada hari H, pemilu benar-benar bisa berlangsung luber (langsung, bebas, dan rahasia) serta jurdil (jujur dan adil). Setiap orang bisa memilih yang benar sesuai akal sehat atau nalarnya.

Demikian pula pascapemilu, anggota parlemen, maupun presiden dan wakilnya siap bekerja keras untuk menindak lanjuti program-program yang sudah dicanangkan dalam masa kampanye. Rakyat pun balik ke tugasnya masing-masing dengan semangat kerja yang lebih tinggi sehingga menghasilkan yang lebih baik buat bangsa ini. Tidak ada yang boleh santai. Lepas tangan dan lepas tanggung jawab seperti pasca sebuah pesta. Karena itu, sebut saja pemilu dengan pemilu. Tidak perlu dieupheumisme-kan menjadi ”Pesta Demokrasi”. Selamat mencoblos partai yang menurut Anda paling bisa diserahi tugas-tugas menyejahterakan bangsa pasca pemilu.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0995 seconds (0.1#10.140)