Pasang-surut solusi lingkungan
A
A
A
MINGGU ini penduduk di Jakarta, Manado, Bekasi, Tangerang, dan beberapa daerah lain mengalami penderitaan karena bencana banjir yang telah memorak-porandakan harta benda dan kehidupan.
Kita dapat dibayangkan berapa kerugian yang mereka alami; tidak hanya dari segi finansial tetapi juga waktu, tenaga bahkan kesehatan. Kondisi mereka mungkin akan bertambah buruk sejalan curah hujan yang masih terus tinggi dan sulitnya mendapatkan air bersih serta sarana kebersihan. Ada ancaman serangan penyakit bagi para korban banjir. Di berbagai belahan dunia lain ada bentuk bencana lain.
Ada bencana hawa superdingin di Amerika Serikat (AS) yang mencapai minus 50 derajat Celsius, atau sebaliknya bencana hawa panas di Australia yang dapat mencapai suhu 49 derajat Celsius. Patutlah kita bertanya, apakah ada yang salah dengan cara kita merawat bumi ini? Apakah kejadian yang terjadi belakangan ini benar-benar faktor alam yang tak ada hubungannya dengan tangan manusia? Atau bila kita campur tangan, apakah suasananya akan lebih baik?
Atau sebaliknya, bencana tersebut justru terjadi karena faktor manusia yang semakin dominan atas alam dan telah mengubah tradisi atau kebiasaan alam yang telah berlangsung selama ribuan abad.
Para ahli lingkungan yang tergabung dalam panel para ahli lingkungan telah memperingatkan, suhu bumi yang kini menghangat 2 derajat Celsius dari tahun-tahun sebelumnya akan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat serius, antara lain tidak stabilnya siklus cuaca, perubahan cuaca yang terjadi tiba-tiba, curah hujan yang lebat, kekeringan.
Suhu bumi yang menghangat 2 derajat Celsius sama halnya dengan jumlah emisi karbon yang berjumlah 1 triliun ton karbon ke udara. Dalam sejarah, bumi membutuhkan waktu 250 tahun untuk menghasilkan emisi hanya setengah dari 1 triliun ton karbon, namun kita manusia yang hidup setelah Revolusi Industri, hanya membutuhkan 30 tahun untuk mencapai batas tersebut (trilionthton.org).
Masalah ini yang menjadi pokok pembicaraan dalam diplomasi perubahan iklim yang diadakan setiap tahun secara bergilir di setiap negara. Masing-masing negara saling menuding dan melindungi diri sendiri tentang siapa yang bersalah atas keadaan tersebut. Siapa yang harus bertanggung jawab membersihkan polusi tersebut? Siapa yang harus menyumbangkan dana lebih besar untuk perbaikan lingkungan?
Apakah negara-negara maju yang sudah memulai mengotori udara dunia lewat cerobong-cerobong asappabrik-pabrik mereka ketika Revolusi Industri terjadi, ataukah negara-negara berkembang yang saat ini tengah mengupayakan pengentasan kemiskinan dengan menggalakkan industrialisasi di segala sektor termasuk di sektor kehutanan? Pada saat ini, negara yang menyumbangkan emisi karbon terbanyak menurut PBL Netherland Environmental Agency adalah China.
Sekarang total emisi global di dunia (2012) adalah 34,5 miliar ton karbon dioksida. Sebanyak 55% dari total emisi tersebut disumbangkan oleh China dan negaranegara berkembang lainnya. Emisi China sendiri lebih besar (29%) dibandingkan jumlah emisi seluruh negara-negara berkembang. Apakah dengan demikian China dapat disalahkan dan menanggung beban yang lebih besar daripada negara yang menyumbangkan emisi terkecil?
Apa yang terjadi sesungguhnya menurut PBB adalah outsourcing emisi dari negara-negara maju seperti Eropa dan AS ke China? Masyarakat Eropa dan AS menikmati murahnya produk elektronik seperti handphone, tablet, tekstil, sepatu, dan barang-barang manufaktur lain. Besarnya tekanan konsumsi tersebut mendorong pembangkit- pembangkit listrik di China untuk kehausan energi karena pabrik-pabrik di China bekerja 24 jam terus-menerus tanpa henti.
Konsumsi energi ini kemudian mendorong eksploitasi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan mineral seperti batu bara di berbagai negara yang memiliki sumber daya tersebut, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, masalah ini menjadi semakin rumit karena setiap negara memiliki kepentingan pembangunan yang harus dipertahankan. Tingginya emisi China dibandingkan dengan negara-negara maju juga tidak berarti bahwa negara maju berhasil mengurangi emisi.
Beberapa pihak menyanggah dengan menyampaikan argumen, bahwa krisis ekonomi di wilayah tersebut yang lebih menjadi faktor dominan rendahnya emisi dan bukan karena komitmen mereka pada kelestarian lingkungan.
Dari kenyataan di atas, kita dapat melihat bahwa jalan keluar perubahan iklim tidak hanya dapat diselesaikan melalui rekayasa teknik lingkungan tetapi melibatkan faktor-faktor lain seperti budaya, sosial, dan ekonomi masing-masing negara.
Masalah ini sebetulnya telah dibahas dan bahkan negaranegara bersedia mengikat diri dalam sebuah kesepakatan yang disebut Protokol Kyoto. Dalam protokol itu sendiri telah diakui beban yang paling berat adalah negara-negara maju yang telah menyumbangkan emisi selama 150 tahun sejak Revolusi Industri mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Para pihak yang menandatangani protokol ini sepakat bahwa tingkah laku manusia adalah penyebab utama terjadinya perubahan iklim.
Kesepakatan atau pengertian ini penting karena menjadi dasar untuk mendirikan argumen dan aturan-aturan lain yang mengikat negara maju untuk mengurangi emisi. Sebagai satusatunya kesepakatan internasional dalam mengurangi emisi karbon, nasib Protokol Kyoto pun hingga saat ini tidak jelas. Hanya 37 negara maju dan anggota Uni Eropa yang sepakat untuk mendukung komitmen-komitmen dalam protokol tersebut.
Namun sayangnya, negara tersebut bukan bagian dari negara yang menghasilkan emisi karbon terbesar. Negara-negara maju penyumbang emisi karbon terbanyak seperti AS dan Kanada enggan dan bahkan keluar kesepakatan. Tindakan tersebut yang kemudian memprovokasi negara-negara lain untuk mengikuti jejak mereka dan membuat buntunya negosiasi penanganan perubahan iklim.
Ada negara seperti Selandia Baru dan Jepang yang tetap berada di dalam kesepakatan Kyoto, namun tidak memiliki komitmen untuk mengurangi emisi. Alasan negara penyumbang emisi terbesar untuk tidak ikut berkomitmen mengurangi emisi adalah karena kondisi perekonomian yang lesu. Mereka khawatir apabila memiliki komitmen menurunkan emisi maka perekonomian mereka akan semakin ambruk.
China yang menolak Protokol Kyoto pun menjadi memiliki legitimasi atas posisinya untuk perlu repot-repot pusing memikirkan emisi. Tidak heran apabila emisi karbon di masa depan akan semakin meningkat dan akan memengaruhi cuaca yang menyebabkan perubahan iklim dan bencana alam.
Fakta-fakta tersebut memberikan kita pemahaman di balik pasang-surutnya negosiasi untuk mencari jalan keluar bagi lingkungan kita, setiap negara, khususnya negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita yang besar, melihat masalah dan penyelesaian lingkungan dari untung-rugi sistem ekonomi pasar.
Dalam diplomasi yang mengedepankan logika kompetisi, solusi atas masalah lingkungan mustahil dapat dicapai karena setiap negara tersandera oleh pemikiran tersebut.
Oleh sebab itu, solusi atas perubahan iklim dan menghindarkan bencana alam yang lebih parah mungkin membutuhkan paradigma ekonomi yang lebih berpusat kepada manusia dan komunitas, yang tidak terlalu memuja persaingan ekonomi pasar yang orientasinya liberal.
Saya berharap pemimpin Indonesia di masa depan tidak hanya berlomba-lomba mencari pujian karena menyatakan dirinya sebagai yang paling ”green” di antara negara lain, tetapi juga dapat mengembangkan pemikiran dan praktik ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan berpusat pada manusia dan komunitas.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Kita dapat dibayangkan berapa kerugian yang mereka alami; tidak hanya dari segi finansial tetapi juga waktu, tenaga bahkan kesehatan. Kondisi mereka mungkin akan bertambah buruk sejalan curah hujan yang masih terus tinggi dan sulitnya mendapatkan air bersih serta sarana kebersihan. Ada ancaman serangan penyakit bagi para korban banjir. Di berbagai belahan dunia lain ada bentuk bencana lain.
Ada bencana hawa superdingin di Amerika Serikat (AS) yang mencapai minus 50 derajat Celsius, atau sebaliknya bencana hawa panas di Australia yang dapat mencapai suhu 49 derajat Celsius. Patutlah kita bertanya, apakah ada yang salah dengan cara kita merawat bumi ini? Apakah kejadian yang terjadi belakangan ini benar-benar faktor alam yang tak ada hubungannya dengan tangan manusia? Atau bila kita campur tangan, apakah suasananya akan lebih baik?
Atau sebaliknya, bencana tersebut justru terjadi karena faktor manusia yang semakin dominan atas alam dan telah mengubah tradisi atau kebiasaan alam yang telah berlangsung selama ribuan abad.
Para ahli lingkungan yang tergabung dalam panel para ahli lingkungan telah memperingatkan, suhu bumi yang kini menghangat 2 derajat Celsius dari tahun-tahun sebelumnya akan menimbulkan dampak lingkungan yang sangat serius, antara lain tidak stabilnya siklus cuaca, perubahan cuaca yang terjadi tiba-tiba, curah hujan yang lebat, kekeringan.
Suhu bumi yang menghangat 2 derajat Celsius sama halnya dengan jumlah emisi karbon yang berjumlah 1 triliun ton karbon ke udara. Dalam sejarah, bumi membutuhkan waktu 250 tahun untuk menghasilkan emisi hanya setengah dari 1 triliun ton karbon, namun kita manusia yang hidup setelah Revolusi Industri, hanya membutuhkan 30 tahun untuk mencapai batas tersebut (trilionthton.org).
Masalah ini yang menjadi pokok pembicaraan dalam diplomasi perubahan iklim yang diadakan setiap tahun secara bergilir di setiap negara. Masing-masing negara saling menuding dan melindungi diri sendiri tentang siapa yang bersalah atas keadaan tersebut. Siapa yang harus bertanggung jawab membersihkan polusi tersebut? Siapa yang harus menyumbangkan dana lebih besar untuk perbaikan lingkungan?
Apakah negara-negara maju yang sudah memulai mengotori udara dunia lewat cerobong-cerobong asappabrik-pabrik mereka ketika Revolusi Industri terjadi, ataukah negara-negara berkembang yang saat ini tengah mengupayakan pengentasan kemiskinan dengan menggalakkan industrialisasi di segala sektor termasuk di sektor kehutanan? Pada saat ini, negara yang menyumbangkan emisi karbon terbanyak menurut PBL Netherland Environmental Agency adalah China.
Sekarang total emisi global di dunia (2012) adalah 34,5 miliar ton karbon dioksida. Sebanyak 55% dari total emisi tersebut disumbangkan oleh China dan negaranegara berkembang lainnya. Emisi China sendiri lebih besar (29%) dibandingkan jumlah emisi seluruh negara-negara berkembang. Apakah dengan demikian China dapat disalahkan dan menanggung beban yang lebih besar daripada negara yang menyumbangkan emisi terkecil?
Apa yang terjadi sesungguhnya menurut PBB adalah outsourcing emisi dari negara-negara maju seperti Eropa dan AS ke China? Masyarakat Eropa dan AS menikmati murahnya produk elektronik seperti handphone, tablet, tekstil, sepatu, dan barang-barang manufaktur lain. Besarnya tekanan konsumsi tersebut mendorong pembangkit- pembangkit listrik di China untuk kehausan energi karena pabrik-pabrik di China bekerja 24 jam terus-menerus tanpa henti.
Konsumsi energi ini kemudian mendorong eksploitasi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan mineral seperti batu bara di berbagai negara yang memiliki sumber daya tersebut, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, masalah ini menjadi semakin rumit karena setiap negara memiliki kepentingan pembangunan yang harus dipertahankan. Tingginya emisi China dibandingkan dengan negara-negara maju juga tidak berarti bahwa negara maju berhasil mengurangi emisi.
Beberapa pihak menyanggah dengan menyampaikan argumen, bahwa krisis ekonomi di wilayah tersebut yang lebih menjadi faktor dominan rendahnya emisi dan bukan karena komitmen mereka pada kelestarian lingkungan.
Dari kenyataan di atas, kita dapat melihat bahwa jalan keluar perubahan iklim tidak hanya dapat diselesaikan melalui rekayasa teknik lingkungan tetapi melibatkan faktor-faktor lain seperti budaya, sosial, dan ekonomi masing-masing negara.
Masalah ini sebetulnya telah dibahas dan bahkan negaranegara bersedia mengikat diri dalam sebuah kesepakatan yang disebut Protokol Kyoto. Dalam protokol itu sendiri telah diakui beban yang paling berat adalah negara-negara maju yang telah menyumbangkan emisi selama 150 tahun sejak Revolusi Industri mendorong pertumbuhan ekonomi mereka. Para pihak yang menandatangani protokol ini sepakat bahwa tingkah laku manusia adalah penyebab utama terjadinya perubahan iklim.
Kesepakatan atau pengertian ini penting karena menjadi dasar untuk mendirikan argumen dan aturan-aturan lain yang mengikat negara maju untuk mengurangi emisi. Sebagai satusatunya kesepakatan internasional dalam mengurangi emisi karbon, nasib Protokol Kyoto pun hingga saat ini tidak jelas. Hanya 37 negara maju dan anggota Uni Eropa yang sepakat untuk mendukung komitmen-komitmen dalam protokol tersebut.
Namun sayangnya, negara tersebut bukan bagian dari negara yang menghasilkan emisi karbon terbesar. Negara-negara maju penyumbang emisi karbon terbanyak seperti AS dan Kanada enggan dan bahkan keluar kesepakatan. Tindakan tersebut yang kemudian memprovokasi negara-negara lain untuk mengikuti jejak mereka dan membuat buntunya negosiasi penanganan perubahan iklim.
Ada negara seperti Selandia Baru dan Jepang yang tetap berada di dalam kesepakatan Kyoto, namun tidak memiliki komitmen untuk mengurangi emisi. Alasan negara penyumbang emisi terbesar untuk tidak ikut berkomitmen mengurangi emisi adalah karena kondisi perekonomian yang lesu. Mereka khawatir apabila memiliki komitmen menurunkan emisi maka perekonomian mereka akan semakin ambruk.
China yang menolak Protokol Kyoto pun menjadi memiliki legitimasi atas posisinya untuk perlu repot-repot pusing memikirkan emisi. Tidak heran apabila emisi karbon di masa depan akan semakin meningkat dan akan memengaruhi cuaca yang menyebabkan perubahan iklim dan bencana alam.
Fakta-fakta tersebut memberikan kita pemahaman di balik pasang-surutnya negosiasi untuk mencari jalan keluar bagi lingkungan kita, setiap negara, khususnya negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita yang besar, melihat masalah dan penyelesaian lingkungan dari untung-rugi sistem ekonomi pasar.
Dalam diplomasi yang mengedepankan logika kompetisi, solusi atas masalah lingkungan mustahil dapat dicapai karena setiap negara tersandera oleh pemikiran tersebut.
Oleh sebab itu, solusi atas perubahan iklim dan menghindarkan bencana alam yang lebih parah mungkin membutuhkan paradigma ekonomi yang lebih berpusat kepada manusia dan komunitas, yang tidak terlalu memuja persaingan ekonomi pasar yang orientasinya liberal.
Saya berharap pemimpin Indonesia di masa depan tidak hanya berlomba-lomba mencari pujian karena menyatakan dirinya sebagai yang paling ”green” di antara negara lain, tetapi juga dapat mengembangkan pemikiran dan praktik ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan berpusat pada manusia dan komunitas.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)