Capres dan kepemimpinan distributif
A
A
A
KITA semua sepakat bahwa demokratisasi politik harus memastikan adanya kesetaraan hak di atas perbedaan, perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Pada kenyataannya, persoalan-persoalan tersebut masih membelit Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono di ujung masa kepemimpinannya.
Dalam banyak kasus, konflik-konflik sosial disulut oleh ketimpangan ekonomi yang selalu bertaut dengan perebutan pengaruh dan kuasa. Pelembagaan nilai-nilai pluralisme merupakan bagian tak terpisahkan dari demokratisasi politik dan ekonomi yang bersumbu pada pemerataan dan keadilan.
Seperti diingatkan Briggs (1961), diskursus negara kesejahteraan demokratis tidak sebatas mendaulat negara sebagai juru pelayan sosial, namun juga harus tunduk pada prinsip persamaan perlakuan dan aspirasi politik semua warga negara karena mereka sederajat, sama-sama pemilik kekuatan elektoral.
Pelbagai prestasi Pemerintahan SBY di level internasional yang membanggakan tidak selalu berkorelasi positif dengan realitas di dalam negeri, baik pada isu pembangunan ekonomi maupun kehidupan toleransi umat beragama. Banyak pihak percaya bahwa munculnya aneka persoalan yang mendera kehidupan bangsa berakar pada krisis kepemimpinan, miskin keteladanan dan minus ketegasan.
Namun, sejauh mana kebenaran pendapat ini? Tesis ini tidak mendapat tempat dalam pikiran Vaclav Havel, mantan presiden Ceko yang dihormati sebagai pemimpin intelektual dunia. Menurutnya, ada beberapa alasan kuat untuk menyadarkan bahwa dunia modern menuju titik akhir. Banyak hal yang mengindikasikan bahwa kita semua sedang memasuki masa transisi yang sulit bahkan menyakitkan.
Muaranya, nilainilai tradisional tergerus arus perubahan yang sedemikian cepat dan struktur sosial masyarakat global dihantam guncangan-guncangan hebat. Havel meyakini bahwa krisis kita hari ini bukan semata mengenai seorang pemimpin, organisasi, negara, ataupun konflik, namun justru krisis ini seharusnya membuka mata kita bahwa struktur sosial dan cara berpikir model lama sedang menjemput ajalnya.
Perspektif ini membawa kesadaran baru bahwa persoalan kepemimpinan nasional hari ini tidak bisa dicandra melalui kesadaran masa lalu. Harus ada perubahan mentalitas dalam berpikir dan bertindak, termasuk model kepemimpinan yang menjawab panggilan zamannya. Inilah abad yang akan mengubur model kepemimpinan tertutup, tidak peka terhadap aspirasi rakyat, dan masih meyakini absoluditas kekuasaan. Kuasa rakyat, meminjam bahasa Saiful Mujani dkk, telah berdampak pada perubahan prilaku kekuasaan.
Perkembangan ini menuntut kecakapan kepemimpinan distributif yang akan sangat berperan dalam mengelola pemerintahan secara efektif seperti dirumuskan Malone, yaitu visioning, sense-making, inventing, and relating (2004: 163). Visi seorang pemimpin politik harus menyentuh kebutuhan sekaligus menyertakan nilai-nilai rakyatnya. Visi yang baik bukanlah instrumen komando terhadap orang lain untuk melakukan yang diinginkannya, namun menggerakkan mereka untuk melakukan apa yang mereka mau.
Adapun sense-making merupakan kecakapan seorang pemimpin untuk memahami apa yang sedang berlangsung di sekitarnya, tidak terkecuali peka terhadap ketidakpastian. Kecakapan ini akan menguji daya sensitivitas dalam mencandra suara-suara “minoritas” dan terpinggirkan dari sistem dan budaya mainstream. Inventing merupakan kreativitas pemimpin menemukan cara untuk mewujudkan visi dan hasil candraannya terhadap realitasrealitas yang tidak jamak.
Memimpin memerlukan seni dan kreativitas! Ketiga kecakapan ini hanya mungkin diasah dan dimatangkan oleh dan dalam kepribadian pemimpin yang secara sukarela menghibahkan waktunya untuk bersentuhan, berinteraksi, dan mendengar suara-suara rakyatnya. Yang menarik, model kepemimpinan politik distributif senapas dengan nilai-nilai filantropis yang berporos pada semangat kedermawanan, menegasikan kerakusan. Politik adalah pengorbanan, kata IJ Kasimo.
Sangat jelas, orientasi dari kepemimpinan politik distributif adalah kesejahteraan dan keadilan sosial. Konsepsi negara kesejahteraan dalam pergulatan para pendiri bangsa merujuk pada suatu pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Etika politik negara kesejahteraan Indonesia tidak berorientasi pada penghapusan hak milik individu, tetapi hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum (Latif, 2011: 584).
Ini bertolak belakang dengan diktum Ronald Reagan yang di kemudian hari menyokong ideologi pasar bebas, “government is not the solution, government is the problem.” Model kepemimpinan distributif merupakan kepemimpinan yang digerakkan oleh semangat kreativitas dan terobosan.
Kesadaran kepemimpinan distributif semacam ini berakar pada realitas dan lokalitas, namun visinya memiliki daya jangkau yang luas bahkan jauh ke depan. Era ini membutuhkan kepe-mimpinan yang cakap mendengar, tidak mudah menghakimi, tidak terjatuh pada sinisme, dan tidak takut untuk keluar dari zona nyaman meski tidak populer.
Perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara yang disertai dukungan rasa tanggung jawab dan kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga (Latif, 2011: 607).
Integritas dan kualitas pelayanan publik akan sangat ditentukan oleh penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang berpijak pada prinsip-prinsip universal dari tradisi Barat, seperti akuntabilitas dan transparansi. Secara politik, rendahnya integritas dan kualitas layanan publik berdampak pada kekuatan elektoral dari partai yang sedang berkuasa.
Studi Mujani dkk (2011) tentang perilaku pemilih pasca-Orde Baru memperlihatkan bahwa faktor kinerja pemerintah dan penilaian rakyat terhadap pemimpinan nasional yang sedang berkuasa memiliki pengaruh penting terhadap pilihan politik, baik atas partai maupun calon presiden. Fenomena ini melemahkan tesis tentang dominasi faktor-faktor sosiologis (suku, agama, dan kelas sosial) dalam membentuk perilaku pemilih.
Munculnya tokoh-tokoh muda dalam bursa calon presiden dan wakil presiden pada 2014 seperti Joko Widodo, Gita Wirjawan, Hary Tanoesoedibjo, Anies Baswedan, dan Dino Patti Djalal diharapkan tidak hanya mengembuskan asa regenerasi, namun juga menyumbangkan gagasan-gagasan radikal nan inovatif.
Inovasi kebijakan sangat diperlukan guna memecah kebuntuan penyelesaian persoalan- persoalan yang belum tuntas, mendorong percepatan pemerataan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, dan perlindungan sumber daya alam. Kita membutuhkan pemerintahan yang tidak hanya melayani, namun juga yang lebih berani memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang berbeda.
FAJAR RIZA UL HAQ
Sekretaris Jenderal DPP BARINDO
Dalam banyak kasus, konflik-konflik sosial disulut oleh ketimpangan ekonomi yang selalu bertaut dengan perebutan pengaruh dan kuasa. Pelembagaan nilai-nilai pluralisme merupakan bagian tak terpisahkan dari demokratisasi politik dan ekonomi yang bersumbu pada pemerataan dan keadilan.
Seperti diingatkan Briggs (1961), diskursus negara kesejahteraan demokratis tidak sebatas mendaulat negara sebagai juru pelayan sosial, namun juga harus tunduk pada prinsip persamaan perlakuan dan aspirasi politik semua warga negara karena mereka sederajat, sama-sama pemilik kekuatan elektoral.
Pelbagai prestasi Pemerintahan SBY di level internasional yang membanggakan tidak selalu berkorelasi positif dengan realitas di dalam negeri, baik pada isu pembangunan ekonomi maupun kehidupan toleransi umat beragama. Banyak pihak percaya bahwa munculnya aneka persoalan yang mendera kehidupan bangsa berakar pada krisis kepemimpinan, miskin keteladanan dan minus ketegasan.
Namun, sejauh mana kebenaran pendapat ini? Tesis ini tidak mendapat tempat dalam pikiran Vaclav Havel, mantan presiden Ceko yang dihormati sebagai pemimpin intelektual dunia. Menurutnya, ada beberapa alasan kuat untuk menyadarkan bahwa dunia modern menuju titik akhir. Banyak hal yang mengindikasikan bahwa kita semua sedang memasuki masa transisi yang sulit bahkan menyakitkan.
Muaranya, nilainilai tradisional tergerus arus perubahan yang sedemikian cepat dan struktur sosial masyarakat global dihantam guncangan-guncangan hebat. Havel meyakini bahwa krisis kita hari ini bukan semata mengenai seorang pemimpin, organisasi, negara, ataupun konflik, namun justru krisis ini seharusnya membuka mata kita bahwa struktur sosial dan cara berpikir model lama sedang menjemput ajalnya.
Perspektif ini membawa kesadaran baru bahwa persoalan kepemimpinan nasional hari ini tidak bisa dicandra melalui kesadaran masa lalu. Harus ada perubahan mentalitas dalam berpikir dan bertindak, termasuk model kepemimpinan yang menjawab panggilan zamannya. Inilah abad yang akan mengubur model kepemimpinan tertutup, tidak peka terhadap aspirasi rakyat, dan masih meyakini absoluditas kekuasaan. Kuasa rakyat, meminjam bahasa Saiful Mujani dkk, telah berdampak pada perubahan prilaku kekuasaan.
Perkembangan ini menuntut kecakapan kepemimpinan distributif yang akan sangat berperan dalam mengelola pemerintahan secara efektif seperti dirumuskan Malone, yaitu visioning, sense-making, inventing, and relating (2004: 163). Visi seorang pemimpin politik harus menyentuh kebutuhan sekaligus menyertakan nilai-nilai rakyatnya. Visi yang baik bukanlah instrumen komando terhadap orang lain untuk melakukan yang diinginkannya, namun menggerakkan mereka untuk melakukan apa yang mereka mau.
Adapun sense-making merupakan kecakapan seorang pemimpin untuk memahami apa yang sedang berlangsung di sekitarnya, tidak terkecuali peka terhadap ketidakpastian. Kecakapan ini akan menguji daya sensitivitas dalam mencandra suara-suara “minoritas” dan terpinggirkan dari sistem dan budaya mainstream. Inventing merupakan kreativitas pemimpin menemukan cara untuk mewujudkan visi dan hasil candraannya terhadap realitasrealitas yang tidak jamak.
Memimpin memerlukan seni dan kreativitas! Ketiga kecakapan ini hanya mungkin diasah dan dimatangkan oleh dan dalam kepribadian pemimpin yang secara sukarela menghibahkan waktunya untuk bersentuhan, berinteraksi, dan mendengar suara-suara rakyatnya. Yang menarik, model kepemimpinan politik distributif senapas dengan nilai-nilai filantropis yang berporos pada semangat kedermawanan, menegasikan kerakusan. Politik adalah pengorbanan, kata IJ Kasimo.
Sangat jelas, orientasi dari kepemimpinan politik distributif adalah kesejahteraan dan keadilan sosial. Konsepsi negara kesejahteraan dalam pergulatan para pendiri bangsa merujuk pada suatu pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Etika politik negara kesejahteraan Indonesia tidak berorientasi pada penghapusan hak milik individu, tetapi hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum (Latif, 2011: 584).
Ini bertolak belakang dengan diktum Ronald Reagan yang di kemudian hari menyokong ideologi pasar bebas, “government is not the solution, government is the problem.” Model kepemimpinan distributif merupakan kepemimpinan yang digerakkan oleh semangat kreativitas dan terobosan.
Kesadaran kepemimpinan distributif semacam ini berakar pada realitas dan lokalitas, namun visinya memiliki daya jangkau yang luas bahkan jauh ke depan. Era ini membutuhkan kepe-mimpinan yang cakap mendengar, tidak mudah menghakimi, tidak terjatuh pada sinisme, dan tidak takut untuk keluar dari zona nyaman meski tidak populer.
Perwujudan negara kesejahteraan sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara yang disertai dukungan rasa tanggung jawab dan kemanusiaan yang terpancar pada setiap warga (Latif, 2011: 607).
Integritas dan kualitas pelayanan publik akan sangat ditentukan oleh penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang berpijak pada prinsip-prinsip universal dari tradisi Barat, seperti akuntabilitas dan transparansi. Secara politik, rendahnya integritas dan kualitas layanan publik berdampak pada kekuatan elektoral dari partai yang sedang berkuasa.
Studi Mujani dkk (2011) tentang perilaku pemilih pasca-Orde Baru memperlihatkan bahwa faktor kinerja pemerintah dan penilaian rakyat terhadap pemimpinan nasional yang sedang berkuasa memiliki pengaruh penting terhadap pilihan politik, baik atas partai maupun calon presiden. Fenomena ini melemahkan tesis tentang dominasi faktor-faktor sosiologis (suku, agama, dan kelas sosial) dalam membentuk perilaku pemilih.
Munculnya tokoh-tokoh muda dalam bursa calon presiden dan wakil presiden pada 2014 seperti Joko Widodo, Gita Wirjawan, Hary Tanoesoedibjo, Anies Baswedan, dan Dino Patti Djalal diharapkan tidak hanya mengembuskan asa regenerasi, namun juga menyumbangkan gagasan-gagasan radikal nan inovatif.
Inovasi kebijakan sangat diperlukan guna memecah kebuntuan penyelesaian persoalan- persoalan yang belum tuntas, mendorong percepatan pemerataan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, dan perlindungan sumber daya alam. Kita membutuhkan pemerintahan yang tidak hanya melayani, namun juga yang lebih berani memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang berbeda.
FAJAR RIZA UL HAQ
Sekretaris Jenderal DPP BARINDO
(nfl)