Boediono di panggung KPK

Rabu, 04 Desember 2013 - 14:09 WIB
Boediono di panggung...
Boediono di panggung KPK
A A A
SIAPA pun yang memiliki cita rasa hukum yang sehat, tak mungkin tak merindukan Boediono diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus bailout Bank Century.

Boediono, sosok berpembawaan sangat tenang itu, yang saat ini berstatus hukum sebagai wakil presiden, ketika terjadi peristiwa bailout Bank Century, yang menghebohkan itu, berstatus hukum gubernur Bank Indonesia. Bukan saja tahu, Boediono, seperti tergambar dalam teater konstitusi yang bernama hak angket di DPR tiga tahun lalu, aktif dalam serangkaian rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI).

Rapat demi rapat itulah, yang, seperti terungkap dalam panggung angket DPR, memunculkan argumen tentang hal ihwal bahaya mencengkeram ekonomi Indonesia. Bersama jagoan-jagoan ilmu ekonomi keuangan dalam rapat itu, bahaya ini dinilai akan menimpa Indonesia sebagai dampak domino krisis keuangan Eropa.

Sikap KPK
Pemeriksaan penyidik KPK terhadap Boediono untuk tersangka Budi Mulya, harus diakui, memiliki nilai hukum. Nilainya ganda. Di satu sisi pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Boediono, sebagaimana warga negara lainnya, memiliki derajat, juga harga konstitusional yang sama di hadapan hukum. Nilai ini begitu penting untuk bangsa ini. Letak pentingnya nilai itu adalah pemeriksaan Boediono berlangsung saat bangsa ini sedang tertatihtatih melatih diri untuk memastikan tumbuhnya nilai-nilai berbangsa dan bernegara berdasar mimpi-mimpi indah para founding fathers tentang kesamaan derajat.

Di sisi lain, pemeriksaan itu memberi nilai hukum lumayan hebat kepada penyidik-penyidik KPK. Penyidik-penyidik KPK akan sangat terbantu dalam membuat terang peta penyidikan kasus ini lebih lanjut. Dalam istilah teknis penyidikan, pemeriksaan itu bertujuan membuat terang tindak pidana korupsi, yang pada saat ini dibebankan tanggung jawabnya kepada Budi Mulya. Kecuali bila penyidik KPK tidak memiliki hasrat, gairah, dan fokus dalam menyidik kasus ini, tidak mungkin keterangan Boediono tidak memiliki nilai dalam skema penyidikan untuk dikenali, didalami dan dikembangkan.

Masalahnya apa yang hendak diperoleh penyidik KPK dari seorang Boediono, yang ketika terjadinya peristiwa bailout itu berstatus sebagai gubernur BI itu? Penyidiklah yang lebih tahu. Satu hal yang pasti adalah KPK tidak mungkin sekadar membuat terang perkara yang sedang dipikulkan tanggung jawabnya itu kepada Budi Mulya. Sekali lagi, tidak mungkin. Selain hal ihwal standar penyidikan, terlalu berisiko untuk tidak menduga bahwa penyidik KPK tidak menggoda Boediono dengan pertanyaan-pertanyaan khas penyidik.

Tipikal penyidik adalah kenali, dalami, dan kembangkan. Bukan penyidik kalau tidak memiliki penilaian dasar dan proyeksi awal tentang skema peristiwa, lengkap dengan modus dan siapa saja yang dimasukkan dalam daftar calon orang yang harus diperiksa. Pemeriksaan Boediono adalah hasil tipikal itu. Soalnya adalah apakah memiliki kemauan mendalami secara sungguh-sungguh derajat tindakan Boediono dalam peristiwa bailout itu.

Terus dalami
Betapapun manisnya cita rasa peristiwa pemeriksaan terhadap Boediono itu, harus diakui bahwa pemeriksaan itu datangnya begitu cepat secepat kilat di siang bolong. Itu sebabnya cukup masuk akal memahami kekecewaan para pewarta yang setia mewartakan setiap denyut nadi di KPK. Andai para pewarta dan sebagian anak negeri tercinta merasa terluka dengan pemeriksaan Boediono yang tiba-tiba sebagai pertanda adanya rencana gelap menyelamatkan Boediono, itu hak mereka.

Toh, peristiwa pemeriksaan yang tiba-tiba memang menyisakan luka di tubuh hukum kita. Padahal mungkin saja pemeriksaan yang tiba-tiba itu, merupakan siasat paling taktis KPK untuk menenggelamkan Boediono pada saatnya. Menariknya di tengah luka itu, KPK dan bangsa ini dipaksa untuk memikirkan lebih jauh makna, mungkin tak disadari, dari satu kata dalam pernyataan pers Boediono seusai menjalani pemeriksaan. Apa kata itu? Pengambilalihan Bank Century, itulah katanya. Sekali lagi, dilihat dari sudut hukum, pernyataan ini sangat bernilai. Umumnya publik mengenal bailout, mengapa tiba-tiba ada pengambilalihan?

Siapa yang memerintahkan dilakukan pengambilalihan? Siapa yang memberi gagasan ambil alih? Samakah nilai hukum bailout dengan ambil alih? Bila ambil alih, mengapa kata itu tak muncul dalam panggung angket yang gegap gempita itu? Diambil alih oleh siapa? Apakah ambil alih itu merupakan akibat hukum langsung dari besarnya uang sebesar Rp6,7 triliun yang diberikan kepada Bank Century? Sebagai penyidik, tidak mungkin mereka tidak mencurigai peristiwa pengambilalihan itu.

Rasanya tidak mungkin penyidik tidak mencurigai peristiwa itu, ambil alih, sebagai modus menyamarkan jejak-jejak hitam, yang tersisa atau terakumulasi dari serangkaian peristiwa janggal, sebagaimana terungkap dalam sidang angket DPR tahun 2010 lalu itu. Bukankah dengan mengambil alih, akan menimbulkan konsekuensi peralihan manajemen? Peralihan manajemen inilah yang mesti dikenali, didalami, dan dikembangkan. Cukup masuk akal menanti langkah taktis KPK mengenali, mendalami, dan menguliti apa yang dilontarkan oleh Boediono itu.

Tak mungkin kata ambil alih itu bernilai atau bermakna sekadar sebagai cerita batu badaong, batu la batangke (batu memiliki daun, batu memiliki tangkai), khas cerita pengantar tidur di Ambon Manise dulu kala. Kata itu, ambil alih, adalah kata bernas hukum, dalam kerangka penyidikan. Membiarkannya sama dengan melecehkan nalar hukum kita. Menariknya, Boediono merasa mulia dapat menangani keadaan kala itu, sehingga ekonomi kita tak terjerembap ke kehancuran.

Sesuatu yang mulia, jelas tidak menyisakan jejak hitam. Namun, lompatan jumlah uang yang digelontorkan dari Rp600 miliar lebih menjadi Rp6,7 triliun, terus terang memukul akal sehat kita. Lain soalnya bila lompatan itu disertai argumen-argumen yang sehat. Ini penting dikenali, sehingga bangsa ini, khususnya KPK tak salah pilih hukum untuk diberikan kepada Boediono. Akankah kelak, di suatu hari nanti, mungkin setelah pemerintahan ini berakhir, KPK mengubah status Boediono dari saksi menjadi tersangka? KPK punya standar jelas.

Tak usah merindukannya, tapi mari menantikannya. Rindukanlah itu dengan rindu yang bernas, agar kelak bangsa ini bisa berhukum dengan cita rasa hukum yang sehat. Satu hal, KPK dan Boediono telah membuat panggung hukum bangsa ini bergairah.

MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9596 seconds (0.1#10.140)