Partai Golkar kini: apa yang menarik?
A
A
A
PEKAN ini Partai Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) V di Jakarta. Rapimnas yang dihadiri ketua-ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) provinsi, tetapi tidak melibatkan DPD kabupaten/kota ini peristiwa politik penting untuk mencandra seberapa jauh kesiapan Golkar berkompetisi dalam pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) 2014.
Berbagai lembaga survei memang mencatat temuan yang membuat elite-elite Golkar cukup “syur” terkait elektabilitas partai yang demikian menonjol antara di peringkat pertama atau kedua. Artinya, kalau metode penelitian lembaga-lembaga survei itu tepat dan persepsi pemilih tidak bergeser ekstrem, prospek partai beringin ini cukup cerah. Golkar memang diprediksi banyak pihak bisa memenangkan Pileg 2014, tetapi tunggu dulu dengan pilpres.
Capres Golkar yang telah diumumkan paling awal ketimbang yang lain, Aburizal Bakrie (ARB), tampaknya kurang memiliki prospek yang sangat cerah. Berbagai temuan survei menyebut, kendatipun namanya sering keluar, belum pernah secara mantap menduduki peringkat pertama. Hingga kini di sementara kalangan masyarakat bahkan masih banyak yang bertanya, kenapa Golkar mencapreskan ARB, seolaholah mereka butuh penjelasan lebih bahwa ARB memang sudah dipandang yang terbaik.
Eksperimen
Melalui strategi “one united campaign” yang menyatukan strategi pemenangan pileg sekaligus pilpres, elektabilitas ARB diharapkan bisa terdongkrak signifikan alias melambung tak terkira. Idealnya, caleg-caleg Golkar akan menjadi ujung tombak pelejitan elektabilitas ARB. Selain berkampanye untuk kemenangan masing-masing, mereka juga menyiarkan kehebatan capresnya.
Kalau efektif dan mengena, terjadilah “multiplier effect” alias efek pelipatgandaan popularitas sekaligus elektabilitas ARB. Hal demikian barangkali akan efektif kalau kondisinya “cateris paribus”, ada asumsiasumsi tetap yang tidak bergeser-geser. Tetapi, dalam politik, semua serbadinamis atau dalam istilah bahasa Jawa “owah gingsir”.
Dari sisi caleg, belum tentu mereka dapat mensyiarkan capresnya dengan tanpa beban sehingga efektif mengingat konsentrasi dan fokusnya terbagi. Kalau tokohnya kuat, tentu saja akan mempermudah tugas sampingan itu. Kalau tidak, tentu malah bisa membebani. Tentu akan muncul semacam pertimbangan, apakah sang capres lebih sebagai faktor positif atau negatif pula bagi kemenangan para caleg.
Jadi, dalam kasus Golkar, eksperimentasi strategi “one united campaign” itu ternyata juga langsung berhadapan dengan realitas politik. Ujian pokoknya bukan terletak pada realitas faksional yang lazim saja terjadi di organisasi politik mana pun, tetapi lebih pada konteks kepentingan politik para caleg yang tengah berjuang untuk menang dalam kompetisi politik yang paling rumit dibandingkan semua pemilu pada Era Reformasi.
Sistem pemilu proporsional yang berbasis dukungan suara terbanyak menghadirkan realitas kontestatif yang penuh tanggungan psikologis karena caleg tidak saja bersaing dengan caleg dari partai berbeda, tetapi juga dari partai yang sama. Belum lagi ditambah dengan tidak ada tanda-tanda tradisi pragmatisme-transaksional akan berkurang, alih-alih hilang, pada pemilu ke depan. Hingga kini banyak caleg yang mengeluh dengan realitas absurd masyarakat yang banyak mengondisikan jalan pintas pragmatis.
Para caleg idealis susah masuk ke tengah-tengah mereka apabila kemampuan finansialnya cekak. Finansial memang bukan segalanya, melainkan logika yang terbentuk sudah hampir baku bahwa tanpa kemampuan finansial yang banyak, hanya manusia-manusia ajaiblah yang bisa terpilih. Banyak yang mengeluh ihwal sedemikian sebagai kelemahan.
Para elite partai merasa bahwa sistem pemilu kita tidak memberikan ruang pada mereka untuk berperan optimal dalam pemenangan para caleg, kecuali sekadar memfungsikan partai sebagai kendaraan politik formal penyusunan daftar caleg. Sering yang mengemuka keluhan-keluhan tagih-menagih. Caleg menagih partai berperan optimal, di mana mesin partai harus bergerak efektif. Tetapi, partai juga tidak segan-segan menagih para caleg untuk lebih banyak kreatif dan mandiri.
Untuk membuat sinergi caleg dan partai yang efektif, bukanlah sesuatu yang sangat mudah, apalagi apabila hubungannya ahistoris. Dalam kasus Golkar, pencalegan tampak sudah berjalan sistematis dan baik kendati setelah itu mereka segera berhadapan pula dengan caleg-caleg partai lain yang sebelumnya kader-kader Golkar pula.
Pada Pemilu 2009 partai-partai menonjol yang membelah suara Golkar, terutama Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Pada Pemilu 2014 banyak pula yang hijrah ke Partai Nasdem. Karena itu, prospek kemenangan Golkar dalam pileg akan terjawab dari pencermatan kalkulatif kekuatan-kekuatan personal para caleg. Kalau yang ada di benak pemilih adalah memilih tokoh, tampaknya hasil-hasil survei yang memformat pertanyaan, “partai mana yang akan dipilih kalau pemilu dilakukan saat ini”, menjadi kurang relevan.
Daya tarik
Golkar sebagai merek politik, meskipun masih kuat dan menonjol kini, akan benar-benar memperoleh tantangan yang tidak ringan. Bagi yang pernah punya pengalaman ikut pemilu sejak era Orde Baru, tentu memiliki pemahaman terhadap Golkar sebagai merek politik ketimbang para pemilih pemula yang membutuhkan referensi politik khusus untuk bisa memahami Golkar masa kini.
Simbol kebesaran, kiprah, dan integritas para tokoh, kebijakan di legislatif dan di pemerintahan khususnya di daerah-daerah, penting untuk menjadi pertimbangan sebelum masuk ke wilayah persepsi. Golkar juga akan dicermati publik, juga pemilih pemula, soal dinamika internalnya, kekuatan ikon-ikon utamanya, dan semua itu selalu terkait dengan konteks perbandingan dengan yang lain.
Mereka akan berupaya mencari jawaban: apa yang menarik dari Golkar kini? Apakah lebih karena posisi dan kontribusinya di pemerintahan? Atau sebaliknya, gebrakan-gebrakannya di lembaga legislatif? Atau kesuksesan para kepala daerah kader Golkar dalam memimpin dan memajukan daerahnya? Ataukah kekuatan sosok capres yang diusungnya? Tentu Golkar masa kini akan dinilai ada yang menarik, ada pula yang tidak.
Kalau yang terjadi lebih banyak kurang menariknya alias tekor positivitas politiknya, kondisi demikian tidak akan menguntungkan bagi masa depan Golkar. Karena itu, lazim dan wajar saja manakala Rapimnas Golkar juga memikirkan strategi-strategi alternatif agar kemenangan di atas kertas survei-survei bisa mewujud.
Sebagaimana partai-partai lain, Golkar juga menghadapi berbagai dilema, tetapi prospeknya ke depan tetap akan ditentukan oleh strategi dan langkah-langkah elite-elitenya.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
Berbagai lembaga survei memang mencatat temuan yang membuat elite-elite Golkar cukup “syur” terkait elektabilitas partai yang demikian menonjol antara di peringkat pertama atau kedua. Artinya, kalau metode penelitian lembaga-lembaga survei itu tepat dan persepsi pemilih tidak bergeser ekstrem, prospek partai beringin ini cukup cerah. Golkar memang diprediksi banyak pihak bisa memenangkan Pileg 2014, tetapi tunggu dulu dengan pilpres.
Capres Golkar yang telah diumumkan paling awal ketimbang yang lain, Aburizal Bakrie (ARB), tampaknya kurang memiliki prospek yang sangat cerah. Berbagai temuan survei menyebut, kendatipun namanya sering keluar, belum pernah secara mantap menduduki peringkat pertama. Hingga kini di sementara kalangan masyarakat bahkan masih banyak yang bertanya, kenapa Golkar mencapreskan ARB, seolaholah mereka butuh penjelasan lebih bahwa ARB memang sudah dipandang yang terbaik.
Eksperimen
Melalui strategi “one united campaign” yang menyatukan strategi pemenangan pileg sekaligus pilpres, elektabilitas ARB diharapkan bisa terdongkrak signifikan alias melambung tak terkira. Idealnya, caleg-caleg Golkar akan menjadi ujung tombak pelejitan elektabilitas ARB. Selain berkampanye untuk kemenangan masing-masing, mereka juga menyiarkan kehebatan capresnya.
Kalau efektif dan mengena, terjadilah “multiplier effect” alias efek pelipatgandaan popularitas sekaligus elektabilitas ARB. Hal demikian barangkali akan efektif kalau kondisinya “cateris paribus”, ada asumsiasumsi tetap yang tidak bergeser-geser. Tetapi, dalam politik, semua serbadinamis atau dalam istilah bahasa Jawa “owah gingsir”.
Dari sisi caleg, belum tentu mereka dapat mensyiarkan capresnya dengan tanpa beban sehingga efektif mengingat konsentrasi dan fokusnya terbagi. Kalau tokohnya kuat, tentu saja akan mempermudah tugas sampingan itu. Kalau tidak, tentu malah bisa membebani. Tentu akan muncul semacam pertimbangan, apakah sang capres lebih sebagai faktor positif atau negatif pula bagi kemenangan para caleg.
Jadi, dalam kasus Golkar, eksperimentasi strategi “one united campaign” itu ternyata juga langsung berhadapan dengan realitas politik. Ujian pokoknya bukan terletak pada realitas faksional yang lazim saja terjadi di organisasi politik mana pun, tetapi lebih pada konteks kepentingan politik para caleg yang tengah berjuang untuk menang dalam kompetisi politik yang paling rumit dibandingkan semua pemilu pada Era Reformasi.
Sistem pemilu proporsional yang berbasis dukungan suara terbanyak menghadirkan realitas kontestatif yang penuh tanggungan psikologis karena caleg tidak saja bersaing dengan caleg dari partai berbeda, tetapi juga dari partai yang sama. Belum lagi ditambah dengan tidak ada tanda-tanda tradisi pragmatisme-transaksional akan berkurang, alih-alih hilang, pada pemilu ke depan. Hingga kini banyak caleg yang mengeluh dengan realitas absurd masyarakat yang banyak mengondisikan jalan pintas pragmatis.
Para caleg idealis susah masuk ke tengah-tengah mereka apabila kemampuan finansialnya cekak. Finansial memang bukan segalanya, melainkan logika yang terbentuk sudah hampir baku bahwa tanpa kemampuan finansial yang banyak, hanya manusia-manusia ajaiblah yang bisa terpilih. Banyak yang mengeluh ihwal sedemikian sebagai kelemahan.
Para elite partai merasa bahwa sistem pemilu kita tidak memberikan ruang pada mereka untuk berperan optimal dalam pemenangan para caleg, kecuali sekadar memfungsikan partai sebagai kendaraan politik formal penyusunan daftar caleg. Sering yang mengemuka keluhan-keluhan tagih-menagih. Caleg menagih partai berperan optimal, di mana mesin partai harus bergerak efektif. Tetapi, partai juga tidak segan-segan menagih para caleg untuk lebih banyak kreatif dan mandiri.
Untuk membuat sinergi caleg dan partai yang efektif, bukanlah sesuatu yang sangat mudah, apalagi apabila hubungannya ahistoris. Dalam kasus Golkar, pencalegan tampak sudah berjalan sistematis dan baik kendati setelah itu mereka segera berhadapan pula dengan caleg-caleg partai lain yang sebelumnya kader-kader Golkar pula.
Pada Pemilu 2009 partai-partai menonjol yang membelah suara Golkar, terutama Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Pada Pemilu 2014 banyak pula yang hijrah ke Partai Nasdem. Karena itu, prospek kemenangan Golkar dalam pileg akan terjawab dari pencermatan kalkulatif kekuatan-kekuatan personal para caleg. Kalau yang ada di benak pemilih adalah memilih tokoh, tampaknya hasil-hasil survei yang memformat pertanyaan, “partai mana yang akan dipilih kalau pemilu dilakukan saat ini”, menjadi kurang relevan.
Daya tarik
Golkar sebagai merek politik, meskipun masih kuat dan menonjol kini, akan benar-benar memperoleh tantangan yang tidak ringan. Bagi yang pernah punya pengalaman ikut pemilu sejak era Orde Baru, tentu memiliki pemahaman terhadap Golkar sebagai merek politik ketimbang para pemilih pemula yang membutuhkan referensi politik khusus untuk bisa memahami Golkar masa kini.
Simbol kebesaran, kiprah, dan integritas para tokoh, kebijakan di legislatif dan di pemerintahan khususnya di daerah-daerah, penting untuk menjadi pertimbangan sebelum masuk ke wilayah persepsi. Golkar juga akan dicermati publik, juga pemilih pemula, soal dinamika internalnya, kekuatan ikon-ikon utamanya, dan semua itu selalu terkait dengan konteks perbandingan dengan yang lain.
Mereka akan berupaya mencari jawaban: apa yang menarik dari Golkar kini? Apakah lebih karena posisi dan kontribusinya di pemerintahan? Atau sebaliknya, gebrakan-gebrakannya di lembaga legislatif? Atau kesuksesan para kepala daerah kader Golkar dalam memimpin dan memajukan daerahnya? Ataukah kekuatan sosok capres yang diusungnya? Tentu Golkar masa kini akan dinilai ada yang menarik, ada pula yang tidak.
Kalau yang terjadi lebih banyak kurang menariknya alias tekor positivitas politiknya, kondisi demikian tidak akan menguntungkan bagi masa depan Golkar. Karena itu, lazim dan wajar saja manakala Rapimnas Golkar juga memikirkan strategi-strategi alternatif agar kemenangan di atas kertas survei-survei bisa mewujud.
Sebagaimana partai-partai lain, Golkar juga menghadapi berbagai dilema, tetapi prospeknya ke depan tetap akan ditentukan oleh strategi dan langkah-langkah elite-elitenya.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
(nfl)