Pembuktian terbalik TPPU

Rabu, 06 November 2013 - 07:06 WIB
Pembuktian terbalik TPPU
Pembuktian terbalik TPPU
A A A
KEBERHASILAN tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara pencucian uang dalam perkara tipikor selain karena penyadapan, tidak lain karena menggunakan pembuktian terbalik UU Pencucian Uang Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78. Pasal 77 berbunyi:

”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”; secara a contrario, dapat dibaca, “terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya adalah berasal dari tindak pidana”. Ketentuan tersebut menyisakan persoalan hukum, yaitu apakah harta kekayaan terdakwa dimaksud terkait kedudukan atau jabatan selaku PNS/penyelenggara negara tertentu dalam bidangnya atau bukan pada kedudukan tersebut.

Hal ini secara hukum penting untuk mencegah “abuse of power” dan “selfincriminating evidence” terhadap terdakwa yang ditentang secara universal. Rumusan kalimat Pasal 77 UU Pencucian uang 2010, bersifat “memaksa” terdakwa untuk tidak lain harus membuktikan harta kekayaannya ada kaitan dengan tindak pidana yang hanya dipersangkakan kepadanya. Sedangkan negara (penuntut) yang sangat berkepentingan tidak wajib membuktikan tindak pidana (asal) nya (Pasal 69 UU TPPU 2010).

Kalimat Pasal 69 harus dimaknai bahwa, bagi negara, hanya mementingkan “merampas” harta kekayaan terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana, bukan memberikan perlindungan hukum yang sama seperti terhadap kepentingan negara. Jika kepentingan perampasan aset/harta kekayaan terdakwa yang diutamakan, persoalan ini merupakan masalah moralitas hukum pidana (the morality of the criminal law).

Persoalan moralitas hukum di dalam praktik hukum di negara maju seperti AS, Inggris, dan Belanda adalah terkait sikap dan perilaku negara dalam menjalankan hak eksklusif di bidang penyidikan dan penuntutan yang bertanggung jawab dan transparan bahkan menyangkut kredibilitas negara di dalam menjalankan kekuasaan tersebut.

Pembuktian terbalik dalam konvensi internasional merupakan kewajiban negara yang bersifat “non-mandatory obligation”; dan telah diakui dan diterima baik dalam UNTOC 2000, UNCAC 2003, maupun dalam konvensi internasional pemberantasan narkotika tahun 1988. Dalam pandangan masyarakat internasional, ketentuan yang bersifat “non-mandatory obligation” mencerminkan “penolakan” (refusal) terhadap metode pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) dengan alasan metode tersebut sangat rentan terhadap pelanggaran atas hak tersangka/terdakwa untuk dianggap tidak bersalah dan bertentangan dengan prinsip peradilan yang “fair and impartial”.

Metode itu juga dianggap bertentangan dengan hak seseorang untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan dirinya di persidangan. Kajian hukum terhadap penerapan metode pembuktian terbalik dalam UU TPPU 2010 menunjukkan, bahwa hakim pengadilan tipikor memerintahkan terdakwa untuk membuktikan profil harta kekayaan terdakwa yang mencurigakan atau sangat signifikan dibandingkan dengan perolehan harta kekayaannya yang sah selaku PNS atau penyelenggara negara.

Hakim pengadilan tipikor tidak berwenang memberikan perintah dimaksud karena tidak memiliki kewenangan berdasarkan UU Tipikor dan UU TPPU. Proses pembuktian tersebut hanya berlaku dan dapat diterapkan pada tindak pidana memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau “illicit enrichment”. Sampai saat ini, illicit enrichment belum ditetapkan (diundangkan) sebagai salahsatutindakpidanadalam UU Tipikor Tahun 1999 atau Tahun 2001.

Bunyi Pasal 20 UNCAC 2003 adalah,”subject to its constitution and fundamental principles of its legal system, Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary as a criminal offence, when committed intentionally , illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income” . Bagian kalimat terakhir dari pasal tersebut inilah yang telah dipraktikkan oleh majelis hakim pengadilan tipikor dan telah “telanjur” diterapkan pada kasus Bahasyim, Wa Ode, dan lain-lain.

Dalam konteks praktik pembuktian terbalik, pengamatan dan kajian penulis menunjukkan bahwa KPK telah terbiasa melakukan penyitaan harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait dengan tindak pidana yang didakwakan (tipikor), dengan alasan bahwa kewenangan KPK berlaku surut dengan merujuk pada Putusan MKRI dalam perkara Abdullah Puteh.

Jika diteliti, Putusan MK RI atas pengajuan uji materiil kewenangan KPK diberlakukan surut. Ketika itu memang dibenarkan dalam perkara Puteh, dengan pertimbangan bahwa perkara Puteh adalah proses pengambilalihan perkara tipikor yang tidak dapat diselesaikan Polri sebelum pembentukan KPK (Pasal 68 UU KPK); bukan perkara baru.

Jika “pemberlakuan surut kewenangan KPK dalam penyitaan harta kekayaan terdakwa tetap dilaksanakan dengan dakwaan TPPU, KPK wajib secara hukum menemukan bukti permulaan cukup bahwa harta kekayaan terdakwa berasal dari tindak pidana korupsi lain, selain tindak pidana korupsi yang telah didakwakan terhadap terdakwa yang bersangkutan.

Dalam praktik persidangan, masalah-masalah hukum yang saya anggap strategis dan penting dalam menciptakan peradilan yang “fair and impartial” yang didukung akuntabilitas penyidikan dan penuntutan dalam pemberantasan korupsi; telah terbukti diabaikan baik oleh hakim dan penuntut; bahkan oleh penasihat hukum. Saya berpendapat bahwa dalam proses peradilan sedemikian yang penting bukan hasilnya, melainkan caracara yang digunakan untuk mencapai hasil dimaksud; itulah inti dari “the morality of the criminal law in action”.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6277 seconds (0.1#10.140)