Cacat bawaan demokrasi

Jum'at, 25 Oktober 2013 - 09:34 WIB
Cacat bawaan demokrasi
Cacat bawaan demokrasi
A A A
PEMIMPIN yang terpilih melalui proses demokrasi tidak selalu ideal mengingat sejak awal kelahirannya sistem demokrasi memiliki cacat bawaan. Namun, sebagai sebuah sistem dan etika politik, demokrasi dianggap sebagai pilihan terbaik karena jika konsep demokrasi dilaksanakan dengan benar, hal itu lebih menjanjikan bagi kelangsungan dan stabilitas hidup bernegara secara beradab.

Sayangnya, kita sering kali tidak sabar dengan sebuah proses dan prosedur demokrasi yang benar, bahkan tidak jarang mencederainya karena dorongan ambisi untuk memenangkan jago yang diusungnya sekalipun secara keji. Tidak ada ideologi dan sistem politik yang sempurna. Sejarah pernah menyaksikan beragam kekuasaan politik dengan beragam sumber legitimasi. Ada yang diperoleh melalui garis keturunan (kerajaan), ada yang melalui pemilihan umum (demokrasi), ada yang mengklaim sebagai mandat dan anugerah Tuhan (teokrasi).

Masing-masing mempunyai argumen untuk menunjukkan keunggulannya. Namun, secara historis-empiris tampaknya sistem demokrasi paling diminati, terutama oleh masyarakat majemuk yang tingkat pendidikannya sudah maju seperti halnya Amerika Serikat. Salah satu keunggulan demokrasi adalah adanya mekanisme kontrol dan partisipasi rakyat secara reguler, terlembagakan, dan terbuka melalui sistem perwakilan.

Bagi masyarakat yang pendidikan dan ekonominya telah maju, cacat bawaan demokrasi bisa diperkecil. Akan tetapi, bagi masyarakat Indonesia yang kondisi ekonomi maupun pendidikannya masih rendah, sekalipun demokrasi menjadi pilihan utama, sebaiknya jangan berharap demokrasi sebagai obat mujarab yang bisa segera menyembuhkan keterpurukan bangsa yang sudah parah ini mengingat demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan juga kultur dan sikap hidup.

Dalam konteks pemilu, hasilnya bisa sangat mengecewakan ketika mayoritas pemilih tingkat pendidikannya rendah dan lagi miskin yang kemudian dimanipulasi elite politik dengan berbagai cara. Misalnya dengan survei politik yang direkayasa, politik uang, serta tekanan atau ancaman fisik. Semakin ironis lagi, jika uang itu diperoleh dari hasil rampasan milik rakyat dengan jalan korupsi yang diambil dari kas negara.

Jebakan yang senantiasa menghadang agenda penegakan demokrasi dan pembangunan negara (state building) adalah nafsu untuk segera menuai hasilnya dalam jangka pendek. Mereka yang semula gigih memperjuangkan demokrasi, ketika sudah masuk dalam mesin pemerintahan, mudah terjangkit political myopic, yakni penyakit mental yang tidak mampu lagi melihat visi politik jauh ke depan, lalu terjebak pada sikap mumpungisme.

Dengan kata lain, mereka hanya berpikir dan mengejar kepentingan hari ini untuk membayar biaya politik yang telah dikeluarkan, lalu berusaha mencari untung dari posisinya sekalipun dengan jalan korupsi. Fenomena inilah yang tampaknya sangat menggejala, bahkan mewabah. Menguatnya egoisme pribadi juga diakibatkan tak adanya perasaan aman dan optimisme ketika membayangkan masa depan diri dan kelompoknya. Perasaan tidak aman (insecure) selalu mendorong orang untuk bersikap egoistis dan curiga kepada orang lain.

Hal ini bukan disebabkan kondisi Indonesia yang miskin sehingga takut kehabisan daya dukung alamnya, tetapi lebih disebabkan krisis kepercayaan diri bahwa besok hari mereka masih bisa bertahan dalam kekuasaan. Pembusukan mental ini diperparah ketika penegakan hukum kian lemah. Begitu kepastian hukum ambruk, prinsip keadilan ikut ambruk dan pada urutannya politisi dan pejabat negara malas berpikir rasional karena mereka melihat bahwa orangorang yang rasional dan baikbaik justru akan tergusur dari pusaran kekuasaan.

Jadi, robohnya prinsip hukum dan keadilan akan menghancurkan aset moral, sosial, dan intelektual lain serta yang akan berkuasa adalah kekuatan uang, kekuatan nyali untuk berbuat nekat. Jaringan koncoisme dan semangat berlomba menggarong uang negara kian kuat karena semuanya berpandangan bahwa pesta kenduri segera berakhir. Akhir masa jabatan berarti berakhirnya peluang untuk kenduri.

Dalam pikiran mereka, kapan lagi kalau bukan sekarang untuk memperkaya diri karena menjadi pejabat tinggi semakin sulit di masa depan karena harus melalui kompetisi dari bawah dengan biaya yang semakin mahal. Demikianlah, benih dan cita-cita besar demokrasi yang kita perjuangkan sulit tumbuh dan berbuah kalau berbagai komponen pendukungnya tidak dipenuhi. Di antaranya, pertama, kesamaan visi, cinta, dan komitmen untuk maju bersama di dalam rumah besar bernama Republik Indonesia.

Kedua, partai-partai politik yang tengah berebut mengisi kursi DPR dan kursi kepresidenan haruslah menawarkan program yang jelas bagi perbaikan bangsa dan masing-masing harus siap untuk menerima presiden terpilih dari partai mana pun datangnya. Ketiga, siap mental untuk melihat dan berpartisipasi dalam hiruk-pikuk kritik dan wacana politik dengan tetap menjaga etika serta ramburambu hukum dan sekali-kali jangan menggunakan kekuatan fisik.

Keempat, mendidik dan mengondisikan rakyat untuk terlatih bersikap kritis-partisipatif terhadap proses politik karena roh demokrasi adalah milik rakyat––bukan negara. Kelima, kebebasan pers harus dilindungi. Keenam, terbukanya akses masyarakat untuk mengetahui pemasukan dan belanja negara sehingga peluang untuk korupsi bagi pejabat negara bisa ditekan.

Ketujuh–– dan ini sangat vital–– adalah penegakan hukum yang adil, tegas, dan tuntas. Sejarah mencatat negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah mereka yang mampu memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan pendidikan, dan perbaikan ekonomi. Dari empat pilar itu, dua yang pertama akan memperkuat dua pilar berikutnya.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7465 seconds (0.1#10.140)