Executive functioning (melanjutkan Dul)
A
A
A
BANYAK pertanyaan mengenai executive function yang sempat saya sebutkan dalam kolom pekan lalu (Dul). Karena itu, izinkan saya mengupas lebih dalam apa yang dimaksud.
Tentu saja Anda bisa me-reform sistem pendidikan kita sedari dini, karena praktik menerapkan metode ini sudah ada di beberapa sekolah. Intinya adalah bagaimana membentuk fondasi anak-anak kita. Fondasi itu harus cukup kuat, tahan gempa dan guncangan, yang kelak bisa melahirkan generasi emas yang produktif dan sukses.
Executive function melatih anak-anak fokus, mampu mengontrol diri, berpikir logis, tahan uji, dengan kelenturan-kelenturan tertentu.
Jangan lupa, anak-anak kita sejak lahir sudah hidup dalam peradaban sibuk yang membuat mereka sulit fokus, menerima begitu banyak pesan dengan level kompetisi yang jauh lebih berat daripada kita. Pendidikan pada dasarnya bukanlah menjajarkan “what to think” (seperti huruf, rumus, dan angka), melainkan “how to think”.
Abad distraction
Kasihanilah anak-anak kita! Itu barangkali pesan penting dari kolom ini. Ya, kita sering mengatakan anak-anak perlu pendidikan yang baik, tetapi fondasi dasarnya kita abaikan. Kita beri mereka pengetahuan, bahkan pelatihan-pelatihan dan kesenangan-kesenangan (musik, games, jalan-jalan, dan seterusnya), tetapi kita tidak cukup mengajarkan bagaimana kelak mereka memakai pengetahuan dan keterampilan itu.
Kita menyatakan orangtua yang bercerai adalah sudah menjadi biasa di abad ini dan anak-anak bisa menerimanya. Tetapi tahukah Anda, kejadian itu bisa saja membuat anak-anak menjadi sulit fokus? Ayah dan ibu masing-masing memberi perintah yang tak terkoordinasi, bahkan bertentangan. Sama bertentangannya antara babysitter dengan ibunda, atau ibunda dengan eyang putri.
Belum lagi bila hari-hari kosongnya ia menerima “pesan moral” yang lain lagi isinya dari guru mengaji, sosial media, televisi, guru les, dan seterusnya. Anak-anak sulit fokus. Apalagi bila sekolah hanya sibuk mengejar kurikulum, menyelesaikan paket buku, dan hanya mengacu kecerdasan seperti sebuah standar: umur kronologis.
Sementara orangtua terperangkap hanya dengan urusan “nilai” yang berhasil dicapai anak-anaknya, agar jangan malu dengan ibu-ibu yang biasa menjemput di sekolah, yang juga hanya fokus pada rapor anak-anaknya. Anak-anak itu perlu diperkuat executive function-nya, agar mereka bisa mencapai mimpi-mimpi indah mereka.
Mungkin kita mulai dulu dengan mengisi titik-titik berikut ini (dan kirimkan ke Twitter saya dengan hastag: #anakita): Bila mereka dewasa, aku ingin anakku ... ………………………. (silakan isi sendiri). Dari sana, Anda tentu dapat menerangkannya, bukan sekadar pengetahuan atau keterampilan teknis, melainkan apa-apa yang dibutuhkan untuk memperkuat anak.
Apakah mereka akan berhasil kalau pikirannya tidak bisa fokus, cepat menyerah, sulit mengendalikan diri? Bisakah anak-anak cerdas berhasil kalau mereka tak mampu membuat rencana atau mengeksekusinya? Bisakah mereka berhasil kalau selalu spontan saja berucap? Bagaimana bila mereka terlalu dogmatic dan kabur dalam berpikir?
Focus dan self control
Istilah executive functioning banyak dipakai para pendidik karena diyakini inilah modal dasar bagi anak-anak untuk memimpin dan menjadikan hidup lebih produktif. Tanpa executive functioning, anak-anak akan berhenti sekolah sebelum selesai, berhenti mendaki sebelum mencapai puncak gunung yang indah.
Executive functioning itu diaktifkan melalui tiga elemen psikologis yang bisa dilatih, yaitu inhibitory control dan self regulation, working memory, dan cognitive flexibility.
Istilahnya terdengar teknis, tetapi sesungguhnya mudah dipahami. Inhibitory control intinya adalah pengendalian diri. Kita perlu melatih anak-anak mengendalikan simpul-simpul syaraf “liarnya” dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga tidak menjadi sosok yang asal bicara, main siram dan tendang hingga mereka dewasa.
Artinya, hidup ini bukan membiarkan simpul-simpul liar itu bekerja otomatis, mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan kehadiran anak-anak lain, tempat dan waktu. Anak-anak perlu dilatih mengendalikan egonya, berpikir dulu sebelum bertindak, bukan sebaliknya. Berpikir tentang orang lain, membentuk rasa hormat sehingga terbiasa mengendalikan diri.
Apa yang harus mereka lakukan bukanlah berbalas-balasan (“tit for tat”), saat mainannya dirampas, dirinya diolok-olok, direndahkan, atau diganggu haknya. Sebaliknya, yang tak terlatih akan membiarkan dirinya makan tanpa batas, menguras sesuatu tanpa kesadaran bahaya terhadap hidupnya. Termasuk di dalamnya adalah kemahiran mengendalikan perhatian sehingga mampu fokus.
Saat menyetir mobil, fokuslah terhadap jalan, bukan terhadap hal-hal lain seperti layar TV, SMS atau social media. Anak-anak yang terlatih fokus, akan lebih menikmati “pengalaman”mencapai sesuatu, ketimbang sesuatu itu sendiri (yang telah tercapai).
Mereka kelak bisa membedakan capek fisik sehingga cepat menyerah karena ingin cepat-cepat menikmati secara duniawi, dan menjadi campers (berkemah sebelum puncak) atau bergerak terus, menjadi climbers yang menikmati perjalanan seakan tanpa letih.
Maka itu, melatih anak-anak fokus adalah melatih diri mereka agar terbiasa hidup dalam aturan yang disepakati, yaitu fokus pada kesepakatan, mengabaikan hal-hal yang tidak penting, seperti pada perbedaan, dan tak pulang sebelum selesai dan merapikan mainan.
Dulu saya pikir melatih hal-hal seperti ini sulit sekali, berkali-kali saya “dikerjai” orangtua murid untuk mengajar di depan anak TK dan SD, dan saya menyerah. Ampun, mereka tidak fokus. Saya juga pernah membawa seorang jagoan hipnotis untuk menghibur anak-anak di rumah baca kami di Rumah Perubahan. Ia pun menyerah.
Konon, anak-anak yang tak fokus itu sulit sekali dihipnotis. Mereka terlalu riang dan lepas, bicara sendiri-sendiri dengan kelompoknya, sedangkan anak-anak yang jail menjitak kepala temannya dari belakang.
Namun belakangan, saya melihat pemandangan yang berbeda di antara 80 anak-anak kampung yang diajak sekolah di Rumah Perubahan oleh Bunda Elisa. Anak-anak itu begitu fokus, bisa tetap kreatif dalam aturan yang disepakati.
Rupanya melatih anak-anak seperti itu ada metodenya. Dan setelah mendalami konsep ini, saya mengatakan pada orangtua dan guru, inilah executive functioning. Minggu depan kita lanjutkan dengan working memory dan cognitive flexibility.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Tentu saja Anda bisa me-reform sistem pendidikan kita sedari dini, karena praktik menerapkan metode ini sudah ada di beberapa sekolah. Intinya adalah bagaimana membentuk fondasi anak-anak kita. Fondasi itu harus cukup kuat, tahan gempa dan guncangan, yang kelak bisa melahirkan generasi emas yang produktif dan sukses.
Executive function melatih anak-anak fokus, mampu mengontrol diri, berpikir logis, tahan uji, dengan kelenturan-kelenturan tertentu.
Jangan lupa, anak-anak kita sejak lahir sudah hidup dalam peradaban sibuk yang membuat mereka sulit fokus, menerima begitu banyak pesan dengan level kompetisi yang jauh lebih berat daripada kita. Pendidikan pada dasarnya bukanlah menjajarkan “what to think” (seperti huruf, rumus, dan angka), melainkan “how to think”.
Abad distraction
Kasihanilah anak-anak kita! Itu barangkali pesan penting dari kolom ini. Ya, kita sering mengatakan anak-anak perlu pendidikan yang baik, tetapi fondasi dasarnya kita abaikan. Kita beri mereka pengetahuan, bahkan pelatihan-pelatihan dan kesenangan-kesenangan (musik, games, jalan-jalan, dan seterusnya), tetapi kita tidak cukup mengajarkan bagaimana kelak mereka memakai pengetahuan dan keterampilan itu.
Kita menyatakan orangtua yang bercerai adalah sudah menjadi biasa di abad ini dan anak-anak bisa menerimanya. Tetapi tahukah Anda, kejadian itu bisa saja membuat anak-anak menjadi sulit fokus? Ayah dan ibu masing-masing memberi perintah yang tak terkoordinasi, bahkan bertentangan. Sama bertentangannya antara babysitter dengan ibunda, atau ibunda dengan eyang putri.
Belum lagi bila hari-hari kosongnya ia menerima “pesan moral” yang lain lagi isinya dari guru mengaji, sosial media, televisi, guru les, dan seterusnya. Anak-anak sulit fokus. Apalagi bila sekolah hanya sibuk mengejar kurikulum, menyelesaikan paket buku, dan hanya mengacu kecerdasan seperti sebuah standar: umur kronologis.
Sementara orangtua terperangkap hanya dengan urusan “nilai” yang berhasil dicapai anak-anaknya, agar jangan malu dengan ibu-ibu yang biasa menjemput di sekolah, yang juga hanya fokus pada rapor anak-anaknya. Anak-anak itu perlu diperkuat executive function-nya, agar mereka bisa mencapai mimpi-mimpi indah mereka.
Mungkin kita mulai dulu dengan mengisi titik-titik berikut ini (dan kirimkan ke Twitter saya dengan hastag: #anakita): Bila mereka dewasa, aku ingin anakku ... ………………………. (silakan isi sendiri). Dari sana, Anda tentu dapat menerangkannya, bukan sekadar pengetahuan atau keterampilan teknis, melainkan apa-apa yang dibutuhkan untuk memperkuat anak.
Apakah mereka akan berhasil kalau pikirannya tidak bisa fokus, cepat menyerah, sulit mengendalikan diri? Bisakah anak-anak cerdas berhasil kalau mereka tak mampu membuat rencana atau mengeksekusinya? Bisakah mereka berhasil kalau selalu spontan saja berucap? Bagaimana bila mereka terlalu dogmatic dan kabur dalam berpikir?
Focus dan self control
Istilah executive functioning banyak dipakai para pendidik karena diyakini inilah modal dasar bagi anak-anak untuk memimpin dan menjadikan hidup lebih produktif. Tanpa executive functioning, anak-anak akan berhenti sekolah sebelum selesai, berhenti mendaki sebelum mencapai puncak gunung yang indah.
Executive functioning itu diaktifkan melalui tiga elemen psikologis yang bisa dilatih, yaitu inhibitory control dan self regulation, working memory, dan cognitive flexibility.
Istilahnya terdengar teknis, tetapi sesungguhnya mudah dipahami. Inhibitory control intinya adalah pengendalian diri. Kita perlu melatih anak-anak mengendalikan simpul-simpul syaraf “liarnya” dalam berhubungan dengan orang lain, sehingga tidak menjadi sosok yang asal bicara, main siram dan tendang hingga mereka dewasa.
Artinya, hidup ini bukan membiarkan simpul-simpul liar itu bekerja otomatis, mengalir begitu saja tanpa mempertimbangkan kehadiran anak-anak lain, tempat dan waktu. Anak-anak perlu dilatih mengendalikan egonya, berpikir dulu sebelum bertindak, bukan sebaliknya. Berpikir tentang orang lain, membentuk rasa hormat sehingga terbiasa mengendalikan diri.
Apa yang harus mereka lakukan bukanlah berbalas-balasan (“tit for tat”), saat mainannya dirampas, dirinya diolok-olok, direndahkan, atau diganggu haknya. Sebaliknya, yang tak terlatih akan membiarkan dirinya makan tanpa batas, menguras sesuatu tanpa kesadaran bahaya terhadap hidupnya. Termasuk di dalamnya adalah kemahiran mengendalikan perhatian sehingga mampu fokus.
Saat menyetir mobil, fokuslah terhadap jalan, bukan terhadap hal-hal lain seperti layar TV, SMS atau social media. Anak-anak yang terlatih fokus, akan lebih menikmati “pengalaman”mencapai sesuatu, ketimbang sesuatu itu sendiri (yang telah tercapai).
Mereka kelak bisa membedakan capek fisik sehingga cepat menyerah karena ingin cepat-cepat menikmati secara duniawi, dan menjadi campers (berkemah sebelum puncak) atau bergerak terus, menjadi climbers yang menikmati perjalanan seakan tanpa letih.
Maka itu, melatih anak-anak fokus adalah melatih diri mereka agar terbiasa hidup dalam aturan yang disepakati, yaitu fokus pada kesepakatan, mengabaikan hal-hal yang tidak penting, seperti pada perbedaan, dan tak pulang sebelum selesai dan merapikan mainan.
Dulu saya pikir melatih hal-hal seperti ini sulit sekali, berkali-kali saya “dikerjai” orangtua murid untuk mengajar di depan anak TK dan SD, dan saya menyerah. Ampun, mereka tidak fokus. Saya juga pernah membawa seorang jagoan hipnotis untuk menghibur anak-anak di rumah baca kami di Rumah Perubahan. Ia pun menyerah.
Konon, anak-anak yang tak fokus itu sulit sekali dihipnotis. Mereka terlalu riang dan lepas, bicara sendiri-sendiri dengan kelompoknya, sedangkan anak-anak yang jail menjitak kepala temannya dari belakang.
Namun belakangan, saya melihat pemandangan yang berbeda di antara 80 anak-anak kampung yang diajak sekolah di Rumah Perubahan oleh Bunda Elisa. Anak-anak itu begitu fokus, bisa tetap kreatif dalam aturan yang disepakati.
Rupanya melatih anak-anak seperti itu ada metodenya. Dan setelah mendalami konsep ini, saya mengatakan pada orangtua dan guru, inilah executive functioning. Minggu depan kita lanjutkan dengan working memory dan cognitive flexibility.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
(hyk)