Polri dan kepemimpinan integratif

Jum'at, 23 Agustus 2013 - 09:18 WIB
Polri dan kepemimpinan integratif
Polri dan kepemimpinan integratif
A A A
DI TENGAH sorotan publik terkait dengan aksi penyerangan kepada anggota Polri dan sejumlah kasus yang belum tuntas, Polri tengah bersiap mengganti pucuk pimpinannya.

Beberapa waktu lalu wakapolri telah berganti dari Nanan Sukarna yang memasuki masa pensiun, kepada Oegroseno. Keduanya merupakan jenderal bintang tiga dari Akpol tahun yang sama, 1978. Pergantian wakapolri tersebut juga mengundang tanya publik, mengingat Oegroseno akan pensiun juga dalam enam bulan ke depan. Padahal idealnya, perwira yang menjabat setidaknya lebih muda dari segi angkatan dan usia.

Padahal apabila dikaji lebih dalam masih banyak perwira bintang tiga yang jauh lebih muda dan layak, namun tidak masuk bursa kandidat Kapolri, sebut saja misalnya Imam Sudjarwo atau Supeni Parto. Namun sebagai bagian dari kewenangan Kapolri, adalah hak Timur Pradopo menempatkan rekan angkatannya menjadi wakapolri, setidaknya ini dilihat sebagai upaya Timur Pradopo mengawal agar proses pergantian kepemimpinan di Polri dapat berjalan dengan baik hingga awal 2014.

Karena bukan tidak mungkin Oegroseno akan diperpanjang hingga pelaksanaan hajat politik 2014 selesai, bila dirasa perlu untuk melakukan pendampingan pada perwira yang lebih muda memimpin Polri, menggantikan Timur Pradopo yang akan diganti dalam waktu dekat. Ada sembilan calon kapolri yang diajukan oleh Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) dan kemudian menjadi sebelas calon kapolri yang diajukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Sejumlah permasalahan dan pekerjaan rumah yang ditinggalkan duet Timur Pradopo-Nanan Sukarna membutuhkan penyelesaian yang serius. Di samping itu, hajat politik 2014 menjadi tantangan tersendiri bagi Kapolri yang akan datang.

Kepemimpinan terintegratif

Salah satu kritik mendasar dari kepemimpinan Timur Pradopo selama hampir tiga tahun adalah yang bersangkutan lebih mendahulukan kepentingan penguasa dari pada kepentingan internal dan memfokuskan proses penataan dan Reformasi Polri. Salah satu kefatalan yang dilakukan oleh Timur Pradopo adalah ketika yang bersangkutan menyetujui draf RUU Keamanan Nasional (Kamnas) untuk dibahas tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan internal Polri, yang mana tiga kapolri sebelumnya kukuh menolak draf yang diajukan oleh Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI tersebut.

Berkaca pada kepemimpinan Timur Pradopo, maka seharusnya kepemimpinan Polri memiliki karakteristik kepemimpinan yang terintegratif. Keberadaan Oegroseno sebagai Wakapolri, jika memang diharapkan mengawal proses regenerasi kepemimpinan di Polri menjadi sangat strategis, yang mana memastikan bahwa Polri secara institusi akan diarahkan pada profesionalisme.

Atau justru sebaliknya, keberadaan Oegroseno hanya memastikan kepentingan penguasa tetap melekat sebagaimana Timur Pradopo lakukan selama memimpin Polri, khususnya dalam menghadapi hajat politik 2014 nanti. Dengan kata lain, kepemimpinan Polri yang baru sangat tergantung dari keberanian Kapolri terpilih untuk memutus kepentingan eksternal di dalam Polri. Kepemimpinan integratif dalam pandangan penulis setidaknya dipahami dalam empat perspektif, yakni: Pertama, kepemimpinan integratif Polri adalah kepemimpinan yang mampu menyinergikan kepentingan internal Polri dengan kepentingan penguasa.

Dengan kata lain, kepentingan internal Polri tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan penguasa. Pada konteks ini, kepentingan internal harus pula menggambarkan komitmen yang besar dalam melakukan pembenahan di internal dalam bingkai Reformasi Polri. Kedua, kepemimpinan integratif adalah kepemimpinan Polri yang responsif dengan harapan publik.

Dan, indikator yang paling utama terkait dengan hal tersebut adalah peran dan fungsi Polri harus selaras dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat akan kondusifnya keamanan dan ketertiban. Ketiga, kepemimpinan integratif juga dimaksudkan untuk mampu membawa Polri sebagai institusi agar dapat bersinergis dengan institusi lain, terutama TNI, yang dalam pengamatan penulis hingga saat ini masih ada perasaan inferior dan penolakan berlebihan yang mengancam efektivitas koordinasi kedua institusi keamanan tersebut.

Keempat, kepemimpinan integratif dimaksudkan sebagai upaya modernisasi dan profesionalitas Polri untuk tidak terlibat dukung mendukung dalam hajat politik 2014 mendatang. Godaan terbesar bagi beberapa oknum perwira yang tidak sabar masuk dalam lingkaran kekuasaan Polri adalah dengan mencoba memainkan peran dalam dukung mendukung dalam kontestasi politik.

Langkah tersebut terbuka lebar manakala ada mutual interest antara penguasa maupun politisi dengan oknum perwira tinggi yang mengupayakan masuk ke lingkaran kekuasaan secara instan. Dengan mengacu pada kepemimpinan integratif tersebut, keberadaan pimpinan Polri menjadi penting untuk digarisbawahi, bahwa menjadi Kapolri bukan hanya sekedar memenuhi persyaratan administrasi belaka.

Tapi juga memiliki komitmen kuat yang dalam perspektif kepemimpinan lebih pada kepiawaian meramu kepentingan internal, penguasa, harapan publik, maupun koordinasi antar institusi keamanan dalam irama yang tidak saling menegasikan.

MURADI
Staf Pengajar Sarjana dan Pascasarjana FISIP Unpad, Bandung, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK), Universitas Padjadjaran
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.0953 seconds (0.1#10.140)